#13HariNgeblogFF [10] Bangunkan Aku Pukul 7

13 DAYS

[10]

“Kadang tanpa disadari, orang yang tidak disukai akan menjadi landasan meraih mimpi”

Seberkas cahaya berbentuk bundar jatuh tepat di atas permukaan sebuah meja kayu. Titik cahaya sedikit menyilaukan pandangan sebab permukaan kayu yang mengilat. Enam pasang tangan terlipat rapi di tepi meja. Dua pasang tangan terlihat memakai jam tangan dengan merek yang sama, modelnya saja yang berbeda. Sepasang tangan lainnya tampak anggun dengan gelang yang terbuat dari tali. Mereka bertiga terlibat perbincangan yang hangat.

“Jadi, gimana kelanjutan rencanamu, Tobias?” Sebastian penasaran dengan kelanjutan cerita dari Tobias hari sebelumnya.

Dada Tobias sedikit membusung, kemudian kembali mengempis saat udara terhembus dari kedua lubang hidungnya. Dia membutuhkan sedikit waktu untuk bisa menjelaskan tentang hal yang akan dilakukannya dalam waktu dekat ini. Sebagai sahabat, dia tidak akan menutupi apa rencananya.

“Sudah mendapat lampu hijau dari Pak Bernard, Bas.”

“Terus bagaimana kelanjutannya?” Josefine yang dari tadi hanya menjadi pemerhati, kini berusaha terlibat dalam percakapan.

“Pak Bernard sudah meminangku untuk ikut mengelola Aurora Coffee Shop, karena sedang colaps.”

“Orang tua kamu sendiri? Mereka mendukungmu, kan?”

“Iya, Bas. Mereka memahami keinginanku.”

“Wuih! Hebat kamu Tobias. Aku bangga sama kamu,” kata Josefine dengan wajah berbinar.

Suara musik instrumen yang terdengar di seluruh restoran tak menyurutkan niat ketiganya untuk terus berbincang hangat. Sebastian dan Josefine hanya bisa tersenyum. Sementara Tobias merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi. Kedua tangannya menahan kepalanya. Bibirnya terkatup rapat dengan pandangan kosong ke langit-langit tanpa plafon.

“Kamu kenapa, Tobias?” Raut keheranan tampak jelas di wajah Josefine.

Mendengar pertanyaan Josefine, kedua tangan Tobias secara refleks turun dan berpindah ke depan dadanya, terlipat erat. Pandangan matanya mengarah ke kedua orang yang duduk tepat di depannya.

“Lima hari lagi Jonas akan kembali.”

“Ka… Ka… Kamu serius, Tobias?”

“Iya, Bas. Dia ingin meminta maaf atas kejadian malam itu. Sebenarnya aku sudah tidak mempermasalahkannya, tetapi itu kemauannya dia sendiri. Dan, kamu tahu sendiri, kan? Aku tak pernah bisa menolaknya. Terlebih permintaan sahabat kita sendiri.”

“Lhah! Hari itu kan saat aku sama Sebastian mau pulang ke Oslo. Kamu yakin meu menunggu dia? Atau jangan-jangan kamu punya perasaan yang sama seperti perasaan Jonas ke kamu?” Josefine mencecar Tobias dengan pertanyaan yang terpendam di kepalanya.

“Hush! Kamu ini bicara apa sih, Jos?” Sebastian berusaha menegur Josefine karena dia tidak ingin Tobias tersinggung.

Tobias yang mendengarkan perdebatan sepasang kekasih itu hanya tersenyum. Dia salut dengan kekompakan kedua sahabatnya itu. Sungguh pasangan yang cocok. Yang satu tampak gagah dengan polo bergaris merah, dan yang satunya tampak cantik dengan baju hangat coklat tua. Sementara dia sendiri, sampai saat ini belum tahu ke mana hendak melabuhkan hati. Terlebih sejak dia menerima kenyataan bahwa Aurora telah meninggal dunia.

Sebastian dan Josefine masih menatap Tobias. Kali ini dengan tatapan yang lebih heran lagi. Tidak biasanya Tobias semudah ini memaafkan saat mereka berdua berbuat salah padanya. Terlebih kesalahan Jonas waktu itu adalah kesalahan yang fatal.

“Kalau iya, memang kenapa? Kalian keberatan?” tanya Tobias menggoda keduanya.

Tawa ketiganya mendadak pecah. Mereka menganggap itu hanya lelucon saja.

Restoran mulai sepi, saat ketiganya melangkah meninggalkannya menuju kamar masing-masing. Di jalan setapak mereka masih melanjutkan obrolan.

“Besok jam berapa mau ketemu Pak Bernard?” tanya Sebastian.

“Jam delapan.”

“Yakin bisa bangun pagi?” tanya Josefine meledek Tobias.

Tobias hanya nyengir kuda, “Bangunkan aku pukul tujuh, ya.”

Mereka berpisah menuju kamar masing-masing. Tobias melelapkan penatnya dengan mencoba terpejam setelah mengabarkan tentang pertemuan besok pagi pada Jonas. Sesat kemudian kesadaran Tobias sampai pada batasnya. Dia terlelap.

Sampai akhirnya, di pagi yang cerah, ada suara mengejutkannya. Dengan berat, dia berusaha bangkit. Diraihnya handphone yang diletakkan di atas nakas. Dengan mata setengah terbuka, dia mengaktifkan handphone-nya.

“Bangun! Sudah pukul tujuh, nih!”

Tobias tersenyum membaca pesan singkat itu. Matanya berbinar saat membaca nama pengirimnya, Jonas.

***

//

0 Comments

  1. fiiuuuhh…..sampai disini,aku masih akan menunggu yang selanjutnya….
    udah lama banget aku gak pernah baca cerpen apalagi novel. Padahal dulu banget,sangat suka membaca hihihi….baiklah,sekarang dimulai dari membaca blog ini dulu mungkin ya hehehe

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *