13 DAYS
[11]
“Janji punya cara sendiri untuk menepati”
Pagi yang cerah. Padang rumput masih basah. Beberapa bagiannya merunduk lemah saat langkah berusaha menjejak tanah. Embun yang masih enggan pergi oleh matahari hangat, menempel di sepatu sport berwarna putih. Beberapa daun kering menempel pada bagian bawahnya. Jejak itu merundukkan rumput basah berbentuk sepatu.
Setelah melewati beberapa toko dan restoran yang sedang bersiap menyambut pelanggan, Tobias menghentikan langkah kakinya di depan sebuah rumah di sebelah kanan Aurora Coffee Shop. Kedatangannya kali ini untuk tujuan yang berbeda. Sebelumnya jelas hanya untuk Aurora, tetapi kini untuk dia sendiri dan impiannya.
“Masuklah!”
Terdengar suara berat seorang laki-laki dari dalam rumah bercat putih itu. Gagang pintu metalik itu perlahan bergerak ke bawah saat tangan Tobias menekannya. Pintu kayu itu pun terbuka dengan derit yang cukup keras. Tobias langsung masuk begitu saja. Dari balik kaca jendela belakang, pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang sedang sendiri di teras belakang, Pak Bernard.
“Selamat pagi, Pak.”
Tobias menyapa Pak Bernard dengan sopan, seperti biasa. Dia pun menjawab dengan sebuah senyuman. Langkah kaki Tobias melewati telapak kaki Pak Bernard yang terjulur. Dia kemudian duduk di kursi kayu di samping Pak Bernard yang dibatasi oleh meja kecil. Di atas meja itu dua cangkir balck coffee tersaji dengan asap yang masih mengepul. Pak Bernard masih memandang lepas ke arah kanal yang mulai riuh. Pun dengan Tobias. Keduanya terdiam cukup lama, seolah ingin menghanyutkan sisa luka di aliran kanal.
“Minumlah, Tobias!”
“Terima kasih, Pak.”
Keduanya asyik menikmati kopi dari cangkir masing-masing. Hampir lima belas menit berlalu, pembicaraan belum mengarah pada pokok permasalahan. Basa-basi dan tawa renyah di pagi itu masih mendominasi percakapan mereka. Sesekali, Tobias dengan teliti memperhatikan petak halaman belakang rumah Pak Bernard yang tertata rapi. Ditanami aneka sayuran dan berpagar kayu bercat putih. Di sudut kanan, sebatang pohon konifer dengan daun menyerupai jarum mulai menua. Tidak berubah.
“Jadi bagaimana dengan rencana kita kemarin, Pak?”
Tobias mengawali lagi percakapan dengan hati-hati. Dilihatnya Pak Bernard masih termangu tanpa reaksi. Tobias paham, sebab ini mungkin keputusan tersulit baginya.
“Aku sudah memikirkannya, Tobias. Aku setuju demi Aurora. Aku yakin tidak salah pilih orang.”
Bibir tipis Tobias melengkung. Ada rasa yang ingin diteriakkan. Setelah penantian beberapa hari, akhirnya saatnya telah tiba. Dia akan lebih dekat dengan Aurora. Dada Tobias terasa lega. Sekarang dia tinggal menunggu kedatangan Jonas, partner barunya dalam melanjutkan bisnis coffee shop.
Keduanya mengakhiri pembicaraan setelah diperoleh kesepakatan-kesepakatan yang harus dipatuhi bersama. Nanti pada waktunya akan disahkan dengan bantuan pengacara.
Tobias menutup pintu rumah Pak Bernard. Dengan setengah berlari dia menuju ke depan Aurora Coffee Shop. Dipandanginya papan nama yang terlihat megah itu cukup lama. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mengelola coffee shop itu dengan bantuan Pak Bernard. Setelahnya, Tobias melepaskan pandangan ke arah sisi kanan bangunan. Terpasang sebuah sepeda mini berwarna pink sebagai aksesori, kepunyaan Aurora. Ingatan membawanya kembali saat mereka memutuskan untuk menjalin hubungan.
***
“Setelah lulus kuliah, aku akan menjemputmu, Aurora.”
“Mungkin tidak akan semudah itu, Tobias. Aku masih punya cita-cita yang harus kuwujudkan.”
“Apa kita tidak bisa mewujudkannya bersama-sama?”
“Tidak mungkin, Tobias. Cita–citaku sejak dulu adalah mengelilingi dunia seorang diri.”
“Tapi, Aurora….”
Aurora tidak memberikan penjelasan apa pun pada Tobias. Dia hanya mau, Tobias menghargai keputusannya sebagai salah satu konsekuensi telah mengajaknya menjalin hubungan. Beruntung Tobias akhirnya menyerah.
“Iya. Aku menghargaimu, Aurora. Tapi, janji saat berkeliling dunia, hatimu tidak ikut berkeliling juga.”
Aurora tertawa renyah.
“Janji ya kamu tidak akan ke mana-mana, di hatiku saja.”
***
Butiran bening jatuh di sudut mata Tobias. Kenyataannya Aurora tidak pernah berhasil mewujudkan mimpinya. Pun dengan Tobias yang tidak akan pernah berhasil membawa Aurora ke kota asalnya, Oslo. Diam-diam Tobias mengutuk dirinya sendiri yang waktu itu sangat lemah. Memutuskan hubungan hanya karena ketakutan akan jarak. Dan, kini ketakutan itu hanya membuahkan penyesalan. Aurora telah menepati janjinya untuk tetap tinggal di hati Tobias dengan cara yang sudah ditentukan olehNya, kematian.
***
//
aaaaaaaaaakkk…
aku tersesaaaaaaaaaaaaaat…..disini 😐