#13HariNgeblogFF [12] Tunggu di Situ, Aku Sedang Menujumu

13 DAYS

[12]

“Kerinduan adalah lupa untuk melupakan”

Papan nama itu semakin jauh tertinggal di belakang punggungnya. Langkah kaki itu semakin cepat kemudian belok kanan saat tiba di sebuah tikungan. Dengan cekatan dia membelah jalanan kota Stravangar Forsand yang riuh, seperti biasanya. Pagi ini dia akan langsung mengabarkan berita baik ini pada Sebastian dan Josefine.

“Kalian mau ke mana?” tanya Tobias saat melihat Sebastian sedang mengepak beberapa snack dan minuman.

“Aku mau mengajak Josefine ke Preikestolen nih. Kamu mau ikut?”

“Sepertinya tidak, Bas. Yakin kalian kuat mendaki sampai puncak tebing?”

“Yakin dong!” Josefine tak mau dianggap remeh oleh Tobias.

Tobias hanya tersenyum mengagumi jiwa petualang sepasang kekasih itu. Mereka selalu kompak, bahkan hampir tidak pernah ada konflik yang berarti dalam hubungan mereka yang sudah berjalan hampir satu tahun.

“Awas jangan sampai kalian menceburkan diri ke Danau Lysefjordan Fjord ya!” Tobias terkikik.

Sebastian dan Josefine menanggapi dengan tawa renyah. Persis seperti saat Tobias dan Sebastian saat mereka hendak ke tebing mematikan itu tiga tahun yang lalu.

“Oya, Tobias. Bagaimana hasil pertemuan dengan Pak Bernard? Sukses?”

Jempol Tobias teracung tinggi bersamaan dengan senyum lebar di bibirnya. Melihat kode dari Tobias, kedua tangan Sebastian refleks meraih tubuh sahabatnya itu. Pelukan yang selama ini selalu menguatkannya.

“Selamat, ya! Kamu hebat!” kata Josefine membuyarkan mereka berdua yang sedang berbagi kebahagiaan.

Pelukan Sebastian sedikit demi sedikit merenggang saat dia menyalami tangan kanan Tobias. Josefine tahu persis keduanya sedang merayakan pesta dengan cara sederhana.

“Ya sudah. Aku tinggal dulu. Kalian hati-hati, ya.”

“Beres, Bos!”

“Eh… Bagaimana kabar Jonas dan Elvira?”

Tobias tercenung mendengar pertanyaan Josefine yang tiba-tiba. Tobias menyurutkan langkah yang hendak meninggalkan mereka berdua. Dia duduk di kasur Sebastian. Sebastian dan Josefine menghentikan aktivitas mereka, lalu menghampiri Tobias. Bagi Tobias, sekarang adalah saat yang tepat untuk menceritakan sebuah kejujuran, sebab besok mereka sudah harus kembali ke Oslo.

Kata demi kata meluncur deras dari bibir Tobias. Sebastian dan Josefine terdiam di kiri dan kanannya mendengarkan dengan saksama. Mereka berdua sama sekali tidak berusaha menyela cerita Tobias.

“Oh! Jadi gitu, ya.” Sebastian menganggukkan kepala tanda memahami, “jadi besok Jonas akan kembali ke sini menebus kesalahannya?”

“Iya, Bas. Sudah aku bilang itu tidak perlu, tetapi dia memaksa. Akhirnya, aku mengalah.”

“Elvira ikut juga, kan?” tanya Josefine tidak kalah penasaran.

“Entahlah, Jos. Aku tidak yakin elvira akan ke sini bersama Jonas. Ya… Kalian tahu sendiri kan alasannya apa.”

Hampir setengah jam Tobias berada di kamar Sebastian. Dia merasa lebih lega dari sebelumnya. Akhirnya, dia pun berpamitan pada keduanya. Sebastian dan Josefine hanya saling pandang saat Tobias berlalu menjauh naik sepeda. Mereka tahu ke mana Tobias akan pergi.

“Tunggu di situ, aku sedang menujumu.”

Tak sampai setengah jam, Tobias sampai di pemakaman. Dengan bekal petunjuk dari Pak Bernard, perlahan-lahan Tobias melewati beberapa batu nisan berukir nama. Ini untuk pertama kalinya setelah dua belas hari dia di sini. Terlambat memang, tetapi bagi Tobias, mengingat seseorang dengan mengujunginya tidak mengenal kata terlambat.

Setelah melewati nisan dengan nama terukir tinta emas, dia belok kiri. Tinggal lima makam lagi dia akan berhasil mengantarkan rindunya ke tempat yang seharusnya dia kembali. Sesaat lagi, rindu yang menyesakkan dadanya itu akan menemukan tempatnya dilapangkan.

Tobias bersimpuh di depan bangunan persegi berlapis marmer putih itu. Tangannya tak henti-henti mengusap deretan tiap aksara yang tertulis di nisannya, Aurora Valentina Ivannova. Rindu yang ditahannya mendadak pecah bersama cairan hangat yang mengalir di sudut matanya. Untuk kesekian kalinya dia kembali rapuh saat mengingat cinta pertamanya yang hilang begitu saja.

“Aurora… Kamu mendengarku, kan? Meskipun kamu diam, tapi aku yakin kamu  di situ, menungguku bercerita tentang pencapaianku.”

Tubuh Tobias menggigil. Kerinduan yang tak tertahankan membuatnya kembali jatuh.

“Aurora… Jawab aku!”

Terdengar sesenggukan di tengah pemakaman yang sepi itu. Tangan Tobias tak lepas dari nisan dari batu marmer hitam mengilat itu. Sampai-sampai seikat bunga semak ungu, kesukaan Aurora, terjatuh dan tergeletak begitu saja.

Angin musim semi berhembus menjatuhkan daun kering pohon konifer yang banyak tumbuh di sana. Beberapa diantaranya berderit lirih. Setidaknya tangisan Tobias tidak sendirian. Selain derit pohon, masih ada suara burung kittiwake berkaki hitam di sela-sela rantingnya, menunggu mangsa lengah di kanal sebelah kanan pemakaman.

Tobias masih belum beranjak dari posisinya. Terdiam dalam doa dan tangisan. Sedikit demi sedikit Tobias berhasil meninggalkan kesedihan bersamaan dengan jatuhnya cahaya matahari di permukaan rambut lebatnya. Hujan kesedihan telah usai untuk saat ini, sekarang dia tinggal menunggu terbitnya pelangi yang mendadak hadir dalam sebuah pesan singkat di handphone-nya, dari Elvira.

“Tunggu di situ, aku sedang menujumu.”

***

//

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *