13 DAYS
[3]
“Penolakan seharusnya bukanlah senjata untuk menjatuhkan”
Gerimis sepanjang sore dan malam kemarin mendadak berhenti. Memberikan kesempatan kepada matahari untuk menghiasi musim semi di bulan Mei. Matahari pagi yang cukup hangat berlomba untuk menunjukkan pesonanya. Tak terkecuali menerobos juga lewat celah kaca jenndela yang tidak tertutup sempurna oleh gorden coklat di sebuah kamar penginapan. Semburat sinar matahari jatuh tepat mengenai seraut wajah yang pucat kelelahan, Tobias.
Lelaki muda itu menggerak-gerakkan bola matanya untuk beberapa lama. Dia masih malas untuk bangun. Terlebih kejadian semalam, dia merasa malas bertemu dengan teman-temannya, terutama Jonas. Tetapi, akhirnya Tobias memutuskan untuk membuka matanya. Dia berusaha menahan silau dengan berusaha menutup gorden jendela kamarnya.
Dengan malas dia menyeret kakinya yang tanpa alas ke kamar mandi. Diperhatikannya dengan saksama wajahnya. Kumis dan cambang berwarna pirang kecoklatan mulai tumbuh di sekitar wajahnya. Dia memutuskan untuk menncukurnya. Setelah selesai dia kembali mengamati cermin. Rambut gelapnya tampak acak-acakan, warna hitam menghiasi kelopak bawah matanya. Dia terlalu lelah. Dua kejadian berturut-turut telah membuatnya shock.
Dengan nanar dia menatap lebih dalam ke cermin di hadapannya. Kedua tangannya bertumpu pada tepi wastafel. Semakin dalam menatap, dia menemukan bayangan wajah cantik Aurora sedang tersenyum. Wajahnya yang cantik kembali membuatnya terpana. Dia membalas senyum Aurora dengan senyum khasnya. Senyum yang mampu membuat siapapun terpikat padanya.
Tobias kembali menelusuri cermin lebih dalam lagi. Mendadak dia terkejut saat menemukan wajah Jonas sedang menangis.
“Damn!”
Tobias mengalihkan pandangannya dari cermin besar itu. Dia segera menyalakan keran berwarna metalik itu. Seketika air mengucur dengan deras. Dengan kedua tangannya, Tobias membasuh mukanya lalu menyambar handuk yang ada di gantungan dan mengeringkannya.
Tobias duduk di tepi ranjangnya dengan napas terengah-engah. Dia masih tidak habs pikir kenapa mendadak wajah Jonas muncul dalam pikirannya. Dia merutuk kesal. Sesekali dia mengacak-acaknya rambutnya yang bahkan belum rapi. Sejenak menunduk, sesaat kemudian menengadah sambil mengumpat.
“Sial!”
Tobias akhirnya menyerah. Dia harus menyelesaikan masalah ini dengan Jonas tentang insiden semalam. Dia bergegas merapikan diri. Kaos lengan pendek dipadu dengan celana tiga perempat cocok untuk cuaca seperti pagi ini. Setelah merapikan rambut, dia bergegas keluar kamar dan menuju kamar teman-temannya. Kosong.
Tobias memutuskan untuk sarapan. Kakinya menjejak jalan setapak yang terbuat dari beton itu menuju restoran. Restoran dengan ornamen klasik itu tampak sepi. Dia hanya melihat seorang gadis memakai atasan tank top berwarna abu-abu dipadu dengan hotpants berwarna biru dongker sedang duduk di sudut restoran.
Gadis itu sedang menikmati sarapan paginya. Sepertinya dia juga terlambat bangun sama halnya dengan dirinya. Merasa mengenalnya, Tobias mendekat ke arahnya lalu mengambil duduk tepat di depannya. Dia menatap dalam-dalam seperti hendak menembus kaca mata hitam yang dipakai gadis itu.
“Hei… Elvira. Kamu kok sendirian? Yang lain mana?”
Gadis bernama Elvira itu hanya diam saja. Dia masih asyik menikmati potongan roti bakar yang masih tersisa tinggal setengah. Pelan-pelan dia mengunyah roti itu tanpa memedulikan kehadiran Tobias. Hal itu membuat Tobias merasa salah tingkah. Dia pun menggeser duduknya hendak mengambil sarapan.
“Kamu mau ninggalin aku juga, Tobias?” Hampir tersedak, gadis itu bertanya pada Tobias yang akhirnya mengurungkan niatnya untuk beranjak.
“Enggak. Aku cuma mau ngambil kopi aja kok. Kamu mau?”
Elvira mengangguk mengiyakan. Setelah Tobias pergi, dia memutuskan untuk menghentikan menggigit roti yang tersisa. Dia mengamati Tobias yang melangkah menjauhinya. Dia terkesan dengan penampilan lelaki itu. Tubuh tinggi tegap dengan pembawaan yang tenang. Elvira menghela napas panjang.
“Ah! Seandainya saja aku bukan pacar Jonas.”
Elvira bergegas menundukkan kepala saat dilihatnya Tobias mendekat ke arahnya membawa dua cangkir kopi. Asap mengepul dari kedua kopi panas itu. Tobias melangkah dengan pasti sambil tersenyum ke arahnya.
“Ini kopinya. Harum kan? Hehe….”
“Makasih, Tobias,” jawab Elvira datar.
Setelah memasukkan sebungkus kecil gula putih, Tobias mulai menikmati kopinya. Pun dengan Elvira. Keduanya saling diam dalam kebersamaan itu.
“Elvira….”
“Iya, Tobias.”
“Kamu kok mendadak berubah sih? Enggak kayak kemarin pas tiba di sini. Kamu kenapa?”
Elvira tidak menjawab pertanyaan Tobias. Dia memilih memainkan sendok kopinya. Setelah tegukan kesekian, Elvira beranjak dari duduknya hendak meninggalkan Tobias.
“Tobias… Maafin aku. Aku sudah tahu semuanya antara kamu dan Jonas tadi malam. Sekarang aku tahu alasanmu menolakku dulu.”
“Elvira… Kamu salah paham!”
“Cukup, Tobias! Aku enggak butuh penjelasanmu,” kata Elvira menjauh dari Tobias.
Tobias terdiam saat menyadari semua telah berubah.
***
//