13 DAYS
[5]
“Hati tidak bisa dibohongi, tetapi bisa dimanipulasi”
Seminggu setelah kejadian siang itu, Jonas dan Elvira memutuskan untuk mempercepat masa liburannya. Dia lebih dulu meninggalkan Tobias, Sebastian, danĀ Josefine di Forsand untuk kembali ke Oslo. Tekadnya sudah bulat. Dia telah berhasil cuti dari rasa sakit hatinya karena Elvira memilih putus setelah tahu Jonas menceritakan perasaannya pada Tobias. Meskipun begitu Elvira tetap mau menemani Jonas pulang lebih dulu mengingat kondisi kesehatannya.
Tobias bersama Sebastian dan Josefine melepas kepergian mereka berdua di dermaga. Setelah perahu menjauh, mereka bertiga memutuskan untuk singgah di Aurora Coffee Shop. Alunan musik instrumental menggema di telinga mereka saat melangkahkan kaki masuk pintu. Mereka bertiga duduk di meja yang sama, nomor 7. Pak Bernard menghampiri mereka, lalu duduk di sebuah kursi yang tersisa. Obrolan hangay pun tercipta.
“Hei… Sepertinya sudah hampir seminggu kalian di sini, tapi kenapa tidak pernah berkunjung ke sini? Kalian pasti sedang sibuk menikmati kota ini, kan?”
Pak Bernard terkekeh dan disambut oleh yang lainnya. Tobias berusaha tidak menceritakan bahwa selama seminggu mereka hanya di rumah sakit saja dan belum sempat ke mana-mana. Sebastian dan Josefine pun mengiyakan apa yang diucapkan Tobias.
“Oke… Kalau begitu selamat menikmati kopinya,” kata Pak Bernard yang kemudian menjauh dari mereka dan kembali ke meja kasir.
Pelan-pelan mereka menyeruput kopi hitam pekat yang ada di hadapannya. Ketiganya masih belum bisa melupakan kejadian yang seperti baru saja menimpa mereka. Liburan yang buruk.
“Sayang ya, liburan kita harus seperti ini,” kata Sebastian.
Tobias hanya mengangguk mengiyakan. Dia sedang tidak ingin membahas lagi tentang permasalahan yang baru saja mereka hadapi.
Sementara Josefine hanya bisa berucap lirih, “Iya, Darl. Terlebih kondisi Jonas yang masih sakit.”
Hati Tobias sedikit bergetar mendengar kata-kata Josefine. Tapi, kemudian ketiganya kembali menyelam dalam ingatan masing-masing. Jemari Sebastian tak pernah lepas dari genggaman Josefine. Tobias sendiri hanya menyandarkan tubuhnya di kursi kayu coffee shop itu. Sesekali dia menghela napas panjang. Pikirannya menerawang saat Elvira bercerita langsung pada Tobias tentang perasaannya. Saat itu Tobias berhasil menemuinya di bukit, tempat favorit Tobias dan Aurora.
***
“Tobias… Maafkan aku. Aku sudah membuat liburan kita kali ini kacau,” kata Elvira datar.
“Kamu tidak perlu meminta maaf. Toh semuanya sudah terjadi,” kata Tobias berusaha menenangkan Elvira, “asal kamu tahu, El. Namanya perasaan tidak bisa dipaksakan.”
“Aku tahu, kok. Kalau saja aku bisa mencintai Jonas sepebuhnya, mungkin kejadian ini tidak akan pernah terjadi,” kata Elvira menahan sesak di dadanya.
“Sudah… Sudahlah, El. Tidak perlu mengungkit hal itu lagi. Sekarang kita pikirkan bagaimana caranya supaya Jonas cepat pulih,” kata Tobias meraih pundak Elvira yang semakin tergugu dalam tangis penuh penyesalannya.
***
“Apa yang kamu pikirkan, Tobias?”
Suara Josefine membuat tubuh Tobias tergerak sedikit dan membuat wajahnya kembali fokus pada kopi yang sedang mereka nikmati. Tobias tidak memedulikan pertanyaan Josefine. Mereka tidak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Baginya cukup dia saja yang merasakannya, tidak perlu dibagi. Biar mereka berdua menikmati liburan kali ini.
“Bukan apa-apa, Jos. Tenang saja. Kalian nikmati saja liburan ini, ya?”
Mereka berdua mengangguk setuju. Setelah itu, kaki Tobias perlahan menjejak lantai kayu dan beranjak menuju meja kasir. Setelah berbasa-basi dengan Pak Bernard, mereka memutuskan kembali ke penginapan.
Matahari masih bersinar keemasan saat mereka tiba di pintu masuk penginapan. Mereka pun berpisah menuju kamar masing-masing. Di kamarnya, Tobias tidak langsung mandi, tetapi justru asyik berkutat dengan gadget-nya hendak mengirim email. Merangkai kata untuk seseorang yang tiba-tiba dirindukan kehadirannya tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh niat untuk bisa memulainya.
Satu per satu huruf pun akhirnya terangkai menjadi kalimat pembuka. Bibir tipis Tobias sedikit tertarik ke atas saat memulai kalimat awal itu. Ini untuk pertama kalinya dia mengirimkan email yang tidak terkait dengan tugas kampus, tetapi tentang hati yang saat ini terpisah oleh jarak. Tobias meletakkan kedua tangannya menyangga kepalanya setelah meng-klik tombol kirim. Lengkung di bibirnya semakin jelas.
“Tinggal menunggu balasan dari Jonas.”
***
//
jadi?