“Aku kurang apa, Pah?!”
Pak Soni tak menjawab pertanyaan istrinya. Dia memilih bergegas masuk mobil dan berangkat kerja. Hari ini, dia berangkat kerja lebih pagi. Ada hal yang harus segera dia selesaikan. Dia bahkan tak sengaja hampir saja menabrak gerobak sayur.
Di depan jalan utama depan kompleks, dia melambatkan laju mobilnya. Ingatan-ingatan mendadak berkelindan di kepalanya. Sesekali dia terlihat menarik napas panjang. Terlebih saat dia mengaitkan ingatan demi ingatan tentang istrinya dan gadis penjual sayur itu.
“Papah sama sekali enggak ada apa-apa, Mah. Cuma ngobrol doang di warung kopinya. Salah?!”
“Tapi Papah kan bisa minta tolong saya untuk buatin kopi. Kenapa harus ngopi di warung dia, sih? Kenapa?! Karena dia jauh lebih muda dan cantik daripada saya? Iya?!”
Baca juga: Seikat Sayur dan Harapan yang Hancur (Bagian Terakhir)
Percakapan terhenti sejenak ketika seekor kelinci terlihat melompat di bawah meja makan mereka. Demi melihat kelinci jantan yang dipelihara sejak kecil itu, perempuan berdaster motif bunga itu mencoba memungutnya. Gagal. Kelinci itu melompat menjauh menuju dapur. Perempuan itu akhirnya bisa membaca keinginan kelinci. Dia bergegaa membuka lemari es dan mengeluarkan seikat kangkung segar. Dengan cekatan, tangannya mencuci sayur itu di air yang mengalir dari wastafel.
Akhirnya setelah dikandangkan, kelinci itu mulai memakan kangkung dengan gigitan-gigitan kecil. Sayur itu belum juga habis saat kelinci itu tiba-tiba memandang penuh harap ke arah gerbang pintu. Sepagi ini seharusnya waktunya, pikirnya.
Sementara di meja makan, adu mulut antara suami-istri itu kembali berlanjut.
“Apa Papah bosen sama saya karena gak kunjung punya anak?!”
Kali ini lelaki yang sebagian rambutnya memutih mendengar istrinya berbicara dengan bergetar dalam isak. Dia tak bisa melakukan apa-apa selain menenangkannya. Ini memang salahnya. Dia tak menduga kalau istrinya akan semarah ini hanya gara-gara dia sering nongkrong dan berbincang dengan gadis bunga warung kopi depan kompleks. Dia selama ini berpikir, toh hanya sesekali apa salahnya. Namun dia mengakui kecantikan gadis itu. Tak heran jika banyak lelaki kompleks yang tergila-gila padanya.
“Sudahlah, Mam. Enggak perlu diperpanjang lagi. Sekarang kamu maunya apa?”
Isak tak lagi terdengar. Perempuan berambut ikal itu menegakkan kepalanya.
“Mulai sekarang Papah janji enggak akan nongkrong di warung kopi gadis itu lagi.”
Pak Soni menganggukkan kepala. Dia pun berpindah posisi. Kali ini dia memeluk istrinya dalam-dalam.
Semua ingatan itu mendadak sirna saat dia hampir tiba di kantornya. Kesibukannya membuatnya lupa, bahwa waktu pulang sudah tiba. Dia tak bergegas keluar kantor. Dia justru membiarkan angannya melayang pada sosok seorang gadis. Gadis itu adalah Rani.
(Bersambung)