Baca juga: Sepotong Roti dan Kenangan yang Menyertai (Bagian 1)
“Kamu mau main-main sama aku, ha?! Kamu kira aku enggak tahu semua perbuatanmu, Noura?!”
Brak!
Terdengar suara barang dibanting ke lantai. Tak lama kemudian disusul dengan suara pecahan kaca. Berkali-kali. Bertubi-tubi. Suara-suara itu berebut dengan isak seorang perempuan dengan rambut acak-acakan yang terduduk di sudut ruangan.
“Masih untung aku mau angkat kamu jadi pegawai. Kalau tidak, mau jadi apa kamu? Pelacur jalanan! Iya?!”
Sekali sentak, kepala perempuan yang sebagian dasterny sudah sobek tak keruan itu hampir menyentuh lantai. Isak kembali terdengar.
Sementara di luar, tak ada seorang pun tetangga yang keluar rumah. Bagi mereka, itu bukanlah urusannya.
Pria berusia 55 tahun itu makin beringas. Jerit kesakitan yang terdengar bukanlah alasan baginya untuk menghentikan tindakan. Kali ini dia menendang tubuh perempuan itu hingga terkulai.
“Percuma aku melihara kamu selama ini! Dasar perempuan pengkhianat!”
Baca juga: Sepotong Roti dan Kenangan yang Menyertai (Bagian Terakir)
Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan pria itu sebelum akhirnya melangkah menuju kamar. Secara hati-hati, dia memasang kembali pakaiannya dan melangkah ke meja rias yang kacanya tinggal setengah.
“Noura… Noura… Apa lagi yang kamu cari dari cecunguk macam dia?” Dia melontarkan sebuah pertanyaan retoris sambil membetulkan letak dasinya.
Dia pun akhirnya melangkah keluar kamar meninggalkan Noura yang masih terisak dikelilingi pecahan benda yang berserakan. Tubuh perempuan itu terlihat menggigil ketika pria itu berdiri di depan pintu dan membalikkan badan.
“Yakin kamu bisa dapet duit dari dia? Yakin kamu bisa dapet kedudukan dari dia?”
Pria itu masih berdiri di pintu saat Noura berusaha mengangkat kepalanya. Pria itu menempelkan jarinya di bibir berusaha mencegah Noura yang hendak membuka suara.
“Ssttt! Aku tahu. Kamu dapetin kehangatan darinya. Okay! Aku kalah. Aku memang tak lagi seperkasa dirinya.”
Hening menyergap seisi ruangan. Tak ada lagi isak dan jerit kesakitan. Pun kata-kata atau makian terlontar. Keduanya membisu.
Hingga akhirnya, pria itu benar-benar pergi dari hadapan Noura sambil berkata, “Aku pulang. Selain kamu, istriku juga membutuhkan duit. Dan… kehangatan.”
Pria itu terlihat membuka tas kerjanya lalu berkata, “Ini!”
Segepok uang pun tergeletak begitu saja di atas seprai yang acak-acakan.
Pria itu akhirnya benar-benar pergi dari rumah Noura. Untuk selama-lamanya. Sementara Noura masih bergeming di tempatnya semula. Dia berusaha menyeka sisa-sisa darah dari bibir dan mukanya yang terluka. Dia terdiam setelahnya.
Cukup lama lengang merajai di berbagai sudut ruangan. Seolah sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Semuanya hilang tanpa bekas. Termasuk harga diri Noura.
Noura akhirnya berusaha untuk bangun. Dengan bantuan pinggir tempat tidur, dia pun berhasil merebahkan tubuhnya yang lelah di sekujurnya. Sementara dering telepon samar terdengar di bagian ruangan lainnya. Dia tak memedulikan itu. Kelelahan menghadapi kejadian telah lebih dulu merenggut kesadarannya.
Dia tertidur. Tidak untuk selamanya.
Sementara tanpa sepengetahuannya, di luar rumahnya telah menunggu perempuan penjual sayur keliling langganannya. Dia terlihat menggigit bibir sekeluarnya pria yang berlalu dengan mobil mewahnya. Dengan hati-hati, dia memasuki gerbang yang sedikit terbuka. Di sebuah jendela, dia menghentikan langkahnya. Pandangannya tertuju pada sepotong roti yang tadi dilihatnya dilemparkan begitu saja oleh seorang pria.
(Bersambung)
0 Comments