Bukan Pelukan Terakhir

Untuk pertama kalinya aku dan Nindy sama-sama terdiam saat makan pagi. Tak seperti biasanya memang. Aku hanya memandangnya lekat-lekat tepat ke bola matanya yang bulat. Bisa jadi sebulat tekadku untuk tidak berlama-lama lagi berdiam di kedalamannya.

Aku bangkit hendak merapikan meja yang kotor saat tangan Nindy tiba-tiba menyentuh lembut tanganku. Mataku jatuh tepat di jemari lentiknya, tertunduk. Jemari yang tampak lemah, namun senantiasa menguatkanku. Dalam keadaan apa pun. Sesekali kuperhatikan telunjuknya yang digerak-gerakkan di punggung tanganku. Kubalikkan telapak tanganku dan segera menggenggamnya erat-erat.

Aku masih enggan untuk berdiri, bahkan saat perlahan dia melepaskan genggaman. Kudengar langkah kakinya semakin mendekat ke arahku. Aku masih diam membisu saat kurasakan sepasang tangan menyentuh pundakku. Perlahan turun hingga dadaku yang berdegup kencang. Dan, kedua tangan itu pun membentuk sebuah pelukan hangat.

Secara refleks, tangan kananku menyentuh bagian siku. Kuelus untuk sekadar menenangkan tangannya yang sedikit bergetar.

“Arion… .”

Kudengar suara lembut itu tepat di telingaku. Bulu kudukku spontan berdiri. Secara refleks aku meraih kedua tangannya, lalu berdiri. Berhadapan dengan bersandar pada kursi.

“Ada apa lagi, Nin?” tanyaku penuh selidik.

“Kamu hati-hati, ya.”

Ada ketulusan dalam suaranya yang membuatku mengangguk kecil. Aku menyadari, hari-hariku akan berat saat harus berpisah dengan Nindy. Pun dengan Nindy. Aku yakin dia merasakan hal yang sama.

“Tenang aja, Nin. Aku bisa jaga diri, kok.”

Mendengar kata-kataku, mendadak Nindy menghambur ke pelukanku. Aku pun berlaku sama. Kupeluk erat tubuh perempuan berhati emas ini penuh rasa sayang. Tak lama, pelukannya merenggang. Kulihat cairan bening menetes dari sudut matanya. Hatiku menuntun jemari untuk menyekanya.

“Nin… Enggak perlu nangis. Darimu aku pergi, kepadamu aku akan kembali.”

Nindy tersenyum lalu melepaskan diri dari pelukanku. Sepertinya dia sudah bisa memahami perpisahan ini. Entah sementara atau selamanya. Bahkan, aku sendiri saja tidak yakin dengan semua ini.

“Aku pergi, ya, Nin?” pintaku padanya, “titip Tuan Antonio.”

Kali ini Nindy mengangguk lalu mengantarkan aku ke kamar belakang. Sementara aku membereskan barang-barang, Nindy mengamatiku dari pintu kamar. Pandangannya tak lepas sekalipun dari gerak-gerikku.

Aku mengemasi beberapa lembar pakaian dan tak lupa memasukkan kotak cincin ke dalam tas. Kubawa tas ransel itu dan kugandeng Nindy keluar.

“Kamarnya enggak aku kunci, ya, Nin. Siapa tahu Tuan Antonio mengangkat sopir baru,” kataku menatap ke arah kamar berisi perabotan sederhana sebelum menutup pintunya.

Aku mengajak Nindy keluar melewati kamar Tuan Antonio. Aku sengaja tidak berpamitan padanya karena aku tahu akan sia-sia. Aku memutuskan berhenti sejenak di depan pintu kamar Tuan Antonio. Sepi. Sepertinya dia sedang tidur. Aku dan Nindy saling pandang dalam diam.

Belum dua langkah aku beranjak dari tempat itu, mendadak terdengar suara orang histeris. Aku tahu itu suara Tuan Antonio.

“Pergilah, Arion! Biar aku yang mengurus Ayah.”

Aku masih ragu-ragu berdiri di tempatku. Sementara Nindy berusaha mendorong-dorong tubuhku untuk segera berlalu. Kutarik tangan Nindy, lalu memeluk tubuhnya erat-erat. Dalam hati aku berharap ini bukan pelukan terakhir. Sebab aku yakin, aku pasti akan kembali.

“Pembunuh! Pembunuh!”

Suara Tuan Antonio semakin keras terdengar membuat Nindy semakin panik. Kulepas pelukanku dan setengah berlari meninggalkan Nindy yang masih termangu.

“Aku pasti kembali membawa kabar baik untukmu, Nin!” teriakku di depan pintu.

Aku segera melanjutkan langkah. Di beranda rumah, airmataku tumpah.

“Selamat tinggal, Nindy.”

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *