Suara langkah kaki terdengar susul-menyusul. Jelas terdengar saat melewati lorong yang diapit kursi duduk. Ada yang tergesa-gesa dan ada pula yang biasa saja. Ini adalah kebiasaanku, memperhatikan setiap detail sebagai bagian dari risetku. Aku sangat suka dengan hal ini. Sumpah serapah, tawa lepas, dengusan-dengusan kecil, dan obrolan yang entah selalu saja menyertai langkah-langkah itu.
Di sampingku, seorang lelaki dengan bekas cukuran kumis, melingkarkan pelukan di leherku. Dia adalah Tommy, kekasihku. Enam tahun bersamanya sejak dari zaman kuliah sampai sekarang membuat Tommy memahami betul duniaku. Dunia yang serius aku geluti sejak tiga tahun lalu, tulis-menulis. Dia adalah pembaca yang baik. Dia juga menjadi orang pertama yang memberikan masukan untuk draft naskah novel sebelum kukirim ke penerbit. Bahkan dia juga yang mengusulkan tentang nama pena untukku. Nama pena yang membuat pembaca tidak pernah tahu tentang aku. Setidaknya sampai nanti saatnya tepat untuk menunjukkan jati diriku.
“Kamu enggak papa, Va?”
Belum sempat menjawabnya, lorong itu sudah sepi. Aku mengangguk lalu menggandeng tangannya mengajak keluar. Aku dan Tommy menjadi penumpang yang terakhir turun. Selalu seperti itu.
Aku dan Tommy mengikuti sekumpulan orang yang mulai bergerak ke arah conveyor belt. Aku dan Tommy sengaja berdiri jauh dari kerumunan orang yang menunggu bagasinya. Dari jarak sekian meter mataku masih bisa melihat monitor dengan jelas. Kugamit lengannya dan kusandarkan kepala di bahunya.
Sesekali aku mengamati aktivitas orang-orang yang sedang menunggubagasinya. Aku tak memedulikan mereka. Toh, aku juga tak mengenal mereka. Saat ini aku hanya peduli dengan hidupku ke depannya.
Sebulan bersama Tommy di Singapura cukup membawa harapan baru bagiku. Setidaknya aku bisa semakin mengetahui ketulusan cinta Tommy. Terlebih keluarga Tommy yang meskipun pengusaha kaya bisa menerimaku apa adanya. Hal itu bukanlah kekhawatiran. Masalahnya adalah keluargaku.
“Kamu kok dari tadi diem aja? Kenapa?”
Aku tidak segera menjawab pertanyaan Tommy. Airmataku lebih dulu menderas. Seperti biasa, dia berusaha menghapusnya.
“Kenapa lagi? Kamu takut?”
“Aku cuma belum siap aja, Tom. Setelah setengah tahun lalu, Ayah menolakmu, aku enggak yakin kali ini Ayah bisa menerimamu.”
“Kamu enggak usah pikirin itu. Itu urusanku, Sayang. Aku akan berusaha untuk mendapatkan restu orang tuamu. Kamu tenang aja, ya.”
Kata-kata Tommy yang sejuk membuatku merasa tenang. Tak salah jika aku memilihnya. Keraguan pun sirna saat dia mengecup keningku dengan mesra. Ini jalan hidupku dan ini pilihanku. Disetujui atau tidak, aku akan tetap menikah dengan Tommy.
Jarum pendek di jam tanganku terus bergerak. Tak bisa kucegah bergulirnya waktu, sampai saat yang tepat bagiku membuka cerita baru hidupku. Tentang bahagia maupun kesedihan yang bisa hadir kapan saja. Bersama Tommy, aku telah siap.
“Nah! Itu koper kita. Aku ambil dulu, ya. Kamu tunggu di sini aja.”
Aku mengangguk pelan. Senyuman yang hilang beberapa saat setelah pesawat landing, kini kembali kutemukan. Tak ada lagi ketakutan, sebab ketulusan cinta telah mengajarkan keberanian. Kali ini aku siap bertarung.
Tommy mendorong troli ke arahku. Senyum lelakiku terlukis sempurna di wajahnya. Pun di wajahku yang merona.
“Kamu siap?”
“Iya, Tom. Aku udah siap,” jawabku mantap.
Dua senyum beradu. Dua pelukan menjadi satu.
“Untuk sementara kamu tinggal di rumahku aja. Entar segera mungkin kita ke Pengadilan Negeri untuk mengurus semuanya. Setelah beres, baru kita ke rumah orang tuamu. Lalu, kita menikah, Sayang.”
“Iya, Tom.”
Kutenggelamkan wajahku dalam pelukan Tommy. Airmata tak bisa kubendung lagi. Bahagia. Kini, aku dan Tommy bisa hidup bersama bahagia selamanya. Selain itu, aku juga siap tampil ke depan pembaca setiaku, karena aku telah ‘sempurna sebagai seorang perempuan’, sesuai nama penaku — Diva, singkatan dari Diansyah Valentino.
~ mo ~