“Kamu masih mencintaiku, kan, Len? Atau udah ada lelaki lain yang kamu cintai? Siapa, Len? Siapa?! Kak Tobikah? Jawab, Len?! Jawab!”
Mendengar pertanyaanku, Alena bangkit dari duduknya di bangku taman itu. Dia berlalu begitu saja setelah sebelumnya menoleh ke kiri dan ke kanan. Sementara aku, sendirian termangu menatap rinai yang semakin lama menjelma hujan.
Aku bergeming ketika tetes demi tetes air hujan bergulir dari permukaan daun mahoni yang selalu menaungiku selama ini. Aku memang menyukai bangku ini. Gurat ingatan jelas tergambar di setiap papannya. Di sini, aku mengenal Alena. Seorang kutu buku yang setiap senja melakukan aktivitas yang sama berulang-ulang. Repetisi yang akhirnya membuatku jatuh hati dan akhirnya memberanikan diri untuk mendekati. Lima tahun yang lalu.
“Sendirian aja, Neng?”
Tanpa menoleh ke arahku yang sudah berusaha semanis mungkin, gadis berambut panjang dengan kacamata tebal itu bergeming. Bahkan sampai aku kembali mengulang pertanyaan yang sama.
“Sendirian aja, Neng?”
Matanya tetap lekat pada buku yang sedang dibacanya. Sama sekali tidak terpengaruh olehku yang perlahan mendekatinya. Hanya sekadar menjawab pertanyaan buku apa yang sedang dia baca. Sesekali aku berusaha melihat sampul buku itu dengan saksama. Gagal. Aku tidak tahu buku apa yang sedang dibacanya.
Dan, lima tahun pun berlalu. Mengantarkanku pada suatu masa yang sebelumnya penuh cinta bersama Alena.
Seminggu pertama sejak dia membisu oleh sapaku, dia mulai membuka diri. Sedikit demi sedikit dia bercerita tentang buku yang tidak pernah bosan dibacanya. Aku terkejut sekaligus bahagia ketika dia menunjukkan padaku sebuah buku. Aku mengenalinya meskipun tanpa harus mengeja judul dan nama pengarangnya.
“Kamu mengenal penulisnya? Kenalin, dong! Aku suka sama tulisannya. Enggak bosen baca buku ini.”
Iya. Aku hanya sekadar tahu dan belum begitu mengenalnya karena aku kesulitan untuk melakukannya. Benar adanya. Mengenali diri sendiri adalah hal tersulit yang kualami. Sebab aku yang telah menyelesaikan buku itu dalam rentang waktu lama. Mungkin paling lama di sepanjang karirku sebagai penulis.
Sebulan pertama sejak aku mengenalkan diri sebagai orang di balik buku yang tidak pernah bosan dibacanya. Dia perlahan menunjukkan rasa suka.
“Nggg… Maaf kalau selama ini aku udah cuek sama kamu. Aku enggak tahu kalau selama ini kamu yang sering mengganggu aktivitas membacaku adalah penulis idolaku.”
Aku hanya tertawa tanpa membalas kata-kata dalam senyumnya. Aku terlalu bahagia, hingga kata-kata hanya menjelma tawa.
“Memang apa menariknya buku itu?”
“Selain isinya mengajarkan cara bertahan dari sebuah kehilangan, juga karena buku ini hadiah khusus dari seseorang plus tanda tangan kamu.”
Tanpa bertanya siapa seseorang itu, aku bisa langsung menebak kalau dia adalah Kak Tobi. Aku ingat betul dengan tanda cinta kecil yang kugambar di samping tanda tanganku. Itu satu-satunya persembahan untuk kakak lelakiku yang selama ini mendukungku. Termasuk menampungku di rumahnya sendiri saat aku menyelesaikan naskah buku. Hanya saja aku masih bertanya-tanya tentang bagaimana cara Kak Tobi memberikan buku itu pada Alena.
“Aku dapet dari seseorang itu lewat kuis di Facebook. Aku enggak nyangka aja, sih, akhirnya aku bisa memiliki buku karangan penulis idolaku, Lentera Biru. Dan, perlahan aku mulai jatuh cinta. Serius.”
Ah! Terima kasih, Kak Tobi. Kamu telah menjadi jalan bagi sebuah pertemuan dua hati.
Setahun sejak rasa suka berubah menjadi cinta. Menggebu dalam harum tumpukan buku. Selalu begitu caraku dan Alena menghabiskan waktu berdua dalam rasa saling menghormati perbedaan.
“Kamu enggak harus jadi kutu buku juga kayak aku. Yang penting kamu menghargai kebiasaanku.”
“Pun aku, Len. Aku juga enggak akan maksa kamu untuk bisa nulis kayak aku. Kamu mau membaca buku yang kutulis tanpa bosan adalah penghargaan terbesar bagiku.”
Hanya sesederhana itu cintaku dan Alena menjadi satu. Sebab aku tahu, mencintai bukan berarti harus menyamakan perbedaan, tetapi sama-sama menghargai perbedaan itu.
Dua tahun sejak ikrar saling setia diucapkan. Tidak ada lagi ketakutan untuk menjalani kehidupan. Alena adalah kekuatan bagiku. Pun aku baginya. Meskipun belum sempat menyentuh bibir pelabuhan bernama pelaminan, tetapi aku bahagia merajut cinta dalam kehidupan bersamanya.
Tiga tahun sejak Alena tahu kalau Kak Tobi adalah kakak kandungku. Dia semakin terkejut saat mengetahuinya. Sebuah buku telah jauh membawanya ke sebuah keluarga baru yang hangat baginya — keluargaku, aku dan Kak Tobi.
Sejak saat itu, hampir tidak ada gelombang besar selama bahtera cinta mengarungi samudera kehidupan dalam kurun waktu lima tahun. Tepatnya lima tahun sebelas bulan. Hari ini.
Di bangku taman kota yang dipenuhi pijar lampu malam selepas senja ini, aku masih duduk sendiri dalam sepi. Tangan kananku merentang hingga ujung bangku. Seolah-olah Alena ada di situ. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Alena tidak lagi sama denganku. Alena sudah memiliki dunia baru setelah sebelas bulan berlalu sejak gelombang pasang tiba-tiba datang menerjang. Serta merta membalikkan biduk sesaat sebelum aku melemparkan sauh saat mendekati pelabuhan.
Aku dan Alena sama-sama terempas jauh. Bukan pertengkaran menuju tujuan bersama penyebabnya. Bukan pula perbedaan yang tidak lagi bisa disatukan. Ini semata-mata karena kecerobohan saat aku mengantarkannya ke sebuah butik untuk memilih dan membeli gaun pengantin. Seratus meter dari butik itu, sebuah motor gede menabrak sepeda motorku. Aku dan Alena terpelanting dan jatuh. Dan, sebelum akhirnya gelap menyergap, samar aku mengenali wajah pengendara motor gede yang tergeletak di dekatku itu sebagai Kak Tobi. Itu saja yang aku tahu. Selebihnya, aku sama sekali tidak tahu. Yang aku tahu aku masih duduk di bangku taman kota ini. Hari ini.
Aku melepaskan tangan kanan dari sandaran bangku taman. Di bangku taman bawah pohon mahoni rindang selepas hujan itu, aku mengeluarkan sebuah buku dari balik jaket tebal. Di sampulnya, tercetak judul 5:11 dan juga namaku dengan tinta biru.
“Sesaat lagi Alena pasti akan kembali mengambil buku ini.”
Dan, benar saja. Tepat saat aku meletakkan buku itu di tempat semula, Alena tiba. Kali ini tidak sendiri, tetapi bersama Kak Tobi. Raut bahagia jelas tercetak lewat tawa keduanya. Apa adanya, tanpa pura-pura. Tangan Kak Tobi tak pernah lepas dari pinggang Alena. Seolah-olah tidak ingin ada yang merenggut dia dari sisinya. Kak Tobi melepaskan pelukan saat Alena ingin mengambil buku itu sendirian. Kak Tobi menurut dan memilih menunggu Alena di dekat tiang lampu. Cukup jauh dari bangku tempat dudukku.
Alangkah bahagianya mereka.
Alena pun akhirnya mengambil buku itu. Memasukkannya ke dalam tas biru, lalu berbisik padaku, “Aku masih mencintaimu, Biru. Jangan lagi menungguku. Bagaimanapun juga, Kak Tobi adalah harapan hidupku. Aku harap kamu bisa ngerti itu. Aku pulang dulu, ya.”
Selesai kata terakhirnya, Alena langsung membalikkan tubuhnya. Perlahan menjauh tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Di kejauhan, dia disambut oleh sebuah kecupan.
“Iya, Len. Pulanglah dan wujudkan harapan hidupmu bersama Kak Tobi. Aku juga pamit pulang, Len. Tapi, maaf aku enggak bisa menuhin permintaanmu agar aku enggak nunggu kamu. Aku akan selalu nunggu kamu di rumah baruku bersama kedua orang tuaku — surga.”
~ mo ~
Terima kasih kunjungannya, Gan. Sukses, ya! 🙂
bagus bahasanya gan, terucap dari hati paling dalam menuliskannya