Aku (Mungkin) Kau

Bruk!

Otak kecilku saat ini tidak berfungsi. Hampir sama sekali. Hanya samar menyisakan kata ‘aduh’ disusul serentetan racauan. Kau bisa membayangkan seperti apa keadaanku tanpa perlu aku beri tahu. Sudah banyak ditampilkan dalam adegan film yang menggambarkan lelaki sedang berada dalam tekanan. Atau mungkin juga kau pernah mengalaminya sendiri. Tiba-tiba menjadi orang asing bagi diri-sendiri. Terlebih setelah aku sengaja lupa bagaimana rasanya memiliki keluarga.

Aku tahu, sebenarnya jalan terbaik ketika dalam situasi seperti ini adalah mendekatkan diri pada Tuhan. Seharusnya. Tetapi, bukankah aku, mungkin juga kau, diciptakan dalam hidup yang penuh pilihan? Iya. Tentu saja. Dan, ini adalah pilihanku. Mungkin juga kau jika berada dalam posisi yang sama seperti aku. Pastinya bukan pilihan yang benar, tetapi ketika sesuatu sudah tidak bisa dinalar, apa saja akan bisa menjadi benar. Setidaknya menurutku pribadi. Bukan begitu?

Dan, lihatlah! Aku, seorang pejabat. Dulunya. Iya. Setahun yang lalu sebelum akhirnya aku harus pensiun. Sendirian. Mungkin kau bertanya-tanya kenapa hingga pensiun aku tetap sendirian? Ke mana keluargaku? Baiklah. Mari kuceritakan, agar kau tidak bingung sendirian.

Begini. Tiga puluh lima tahun yang lalu, aku menjelma lelaki dewasa. Sangat dewasa. Seseorang yang sudah berhak menentukan pilihan sendiri. Seharusnya. Kenapa aku bilang seharusnya? Karena kenyataannya aku bukanlah tipe lelaki ‘pemberontak’. Aku seorang penurut, terlebih jika menyangkut keluarga. Sebab bagaimanapun juga, keluarga adalah salah satu hal yang berharga. Pun bagiku. Bagimu juga tentunya.

Tetapi, semua akan berbeda ketika pilihan tidak bisa ditolak. Kukorbankan rasa, lalu setelahnya berusaha merasa pada cinta yang tidak kukenal sebelumnya. Demi keluarga, terutama ibu. Meskipun akhirnya aku memilih mengajaknya tinggal jauh dari keluargaku. Begitu caraku menyamarkan luka. Sampai tak pernah menemui ibu di akhir embusan napasnya.

Awalnya tidak ada tawa saat bersamanya. Hingga akhirnya, setahun, dua tahun, hingga lima belas tahun pernikahan, aku dan dia memiliki frekuensi tawa dalam kesedihan yang sama. Luka nyeri tersebab tidak kunjung melahirkan buah hati.

Dia. Perempuan yang aku terima dengan terpaksa akhirnya pergi juga justru saat dia berhasil mengenalkanku pada cinta. Tak ada tangisan pelepas kepergian. Sebab air mata telah kering lebih dulu saat aku tahu dia lebih memerhatikan laki-laki yang tinggal satu atap di kamar sebelah kiri. Kau pasti bisa menebak yang selanjutnya terjadi. Benar. Dia memilih pergi dengan laki-laki yang sengaja kusewa untuk menghamili.

Kau pasti ingin bilang kalau aku bodoh, kan? Iya. Aku memang bodoh. Kalau tidak bodoh mungkin aku dan dia akan berjodoh.

Kini, semua telah berlalu. Tidak ada lagi yang merawat luka hatiku. Bukan karena dia saja, tetapi power syndrome ikut berperan di dalamnya. Aku tak lagi punya kuasa atas siapa-siapa, bahkan diriku sendiri. Lemah dalam resah yang akhirnya ditenangkan oleh botol berisi cairan setan yang kadang hingga membuat muntah.

Seperti halnya malam ini. Temaram lampu jalanan pusat surga dunia di tanah kelahiranku, jejak langkah tidak lagi beraturan. Keinginan tidak sesuai dengan kenyataan. Ada niat segera menemui rumah, tetapi sisa-sisa kesenangan sesaat berusaha merobohkan langkah. Siapapun tahu, rumah adalah tempat ternyaman melepas kepenatan. Kau pasti juga, kan? Apalagi jika ada keluarga menyambutnya dan bukannya kesendirian.

Aku pun demikian. Semalaman mencumbu bergelas-gelas minuman setan hanya dengan satu alasan. Tidak ada kekuatan menjalankan roda kehidupan yang perlahan berputar ke titik terendah. Sebenarnya ingin marah.
Tapi, tidak tahu pada siapa. Hingga gumpalan amarah berubah menjadi racauan dalam gundah.

“Arghhh!”

Tangan kananku mengepal, lalu memukul-mukul permukaan kasar di depanku. Aku tak peduli dengan beberapa langkah kaki yang lewat di sisi kiri dari deru kendaraan tanpa henti.

Setelahnya aku adalah kecoak yang rebah. Berputar tak tentu arah dengan mata menyalang merah. Pada akhirnya kekuatan akan menjumpai pasrah di titik kesadaran terendah. Diam tak bergerak dalam lubang mata yang tidak mau diajak terbuka seiring jantung yang berdetak. Gelap pun datang menyerupai awan pekat berarak.

Aku membuka mata saat samar terdengar suara ayat-ayat suci dilantunkan. Ah! Kesyahduan mendadak terasa menenangkan.

“Kamu siapa?”

Seorang perempuan tua diam saja. Tangannya hanya bergerak pelan menyeka keringat di dahiku. Refleks tangan kananku mencengkeram pergelangan tangannya. Ada niat untuk menghentikannya. Berhasil. Kekuatanku tidak sebanding dengan sisa-sisa yang dimilikinya waktu masih muda. Dia berlalu saat aku mengendurkan cengkeramanku. Dia pergi, meninggalkan bayangan panjang dari lampu tempel yang menerangi.

Lantunan ayat suci telah berhenti. Berganti dengan langkah kaki mendekati. Seorang lelaki kecil berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun datang membawakan segelas air putih hangat. Aku menghabiskannya setelah berhasil bersandar di ujung dipan beralas kasur kapuk. Tunggu! Kenapa dia tahu kalau aku suka minum air putih hangat? Aku tidak lagi mampu berpikir lagi.

Lelaki kecil itu duduk di sampingku. Dia melakukan hal yang sama dengan perempuan tua sebelumnya. Kau masih ingat apa yang dilakukannya barusan, kan?

Kali ini aku tidak mencegahnya. Kasihan kalau aku menolaknya, pikirku. Dengan telaten dia membersihkan bekas debu atau entah kotoran lain yang menempel di wajahku. Selalu ada senyuman.

“Kamu siapa?”

Aku memberanikan diri untuk bertanya. Hanya saja, dia diam saja. Aku sungguh tidak mengenalinya. Pijar temaram lentera tidak mampu menunjukkan tanda di wajah yang membuat aku mengenalinya.

Aku tidak memaksa dia untuk memperkenalkan dirinya. Bagiku cukup merasa aman saja di sini untuk sementara.

Semua usai sudah. Lelaki kecil itu kini berpindah. Setelah menyimpan baskom berisi air hangat di belakang, dia kembali datang.

“Tuan mau saya bacakan sebuah cerita?”

Dua senyuman lelaki berbeda usia itu pun beradu. Aku mengangguk sambil membetulkan posisi duduk bersandarku. Dia lalu membelakangiku. Di sebuah meja kayu, dia meletakkan sesuatu. Mungkin buku. Dengan lampu minyak tanah, perlahan kata-kata meluncur dari bibir mungilnya. Dia membacakan cerita tentang pernikahan paksa di pulau Sumatera.

Tunggu! Bukankah itu kisah Siti Nurbaya? Sepertinya aku tidak salah. Kenapa dia bisa tahu itu adalah bacaan kesukaanku waktu masih di sekolah dasar? Siapa dia?

Belum selesai membacakan cerita, dia pergi begitu saja. Tanpa pamit padaku. Sepertinya kantuk telah lebih dulu menutup cerita dalam buku.

Temaram lampu tempel merangsang saraf optikku untuk memandang sekeliling. Saat ini aku sedang berada di sebuah ruang persegi dengan dinding papan kayu jati.

“Ini bukan rumahku. Rumahku berdinding tembok bercat biru, bukan kayu,” pikirku.

Aku mengedarkan pandangan, lalu bangun dan mulai melangkah. Tidak ada lagi rasa lelah saat jejak tapak kakiku mulai menapak lantai tanah. Keinginan menyeretku untuk mengintip kamar sebelah lewat sebuah celah. Di mataku, samar terlihat seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh atau sebelas tahun sedang tertidur. Di sampingnya seorang perempuan tertidur pulas. Tangan kanannya merengkuh penuh tubuh kurus anak lelaki yang tampak rapuh. Aku benar-benar terpaku hingga benar-benar lahir air mata buah persetubuhan nyeri dan ingatan masa lalu. Kepalaku mendadak berputar dalam pusaran kesedihan. Tentang melupa dengan sengaja yang justru menyebabkan timbulnya kawah luka. Bergejolak. Menggelegak. Menjilat bola mataku yang basah dan membuatnya seketika terbelalak. Lelaki kecil dan perempuan tua lenyap mendadak. Ini membuatku tersedak.

Tak ada lagi rumah papan kayu jati itu. Tinggal kotak kayu melingkupiku. Sendiri. Menunggu seseorang mengantarkanku menemui akhir kesendirian dalam kehangatan sebuah pelukan, dari seseorang yang pasti telah memaafkan, ibuku.

Jadi, kau sudah tahu siapa lelaki kecil itu, kan? Dia adalah aku. Mungkin juga kau kelak di suatu waktu.

~ mo ~

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *