Masanya sudah dekat. Setelah sekian lama menanti, akhirnya hari ini saatnya tiba. Di sebuah ruangan bercat putih, sesosok tubuh terkulai lemas. Dalam penantian panjang hampir seminggu lamanya. Belum ada tanda-tanda.
Di samping ranjang, aku mondar-mandir. Sesekali kuusap keningnya yang berkeringat. Entah mengapa saat tiba saatnya justru semua terasa melambat. Kukecup keningnya, lalu kutinggalkan dia. Aku meninggalkan kamar berukuran 3 x 4 meter itu dengan langkah gontai. Tanda tanya memenuhi segenap penjuru kepalaku. Berat.
Langkah kaki membawaku ke sebuah kedai yang berderet di samping bangunan berlantai tiga itu. Aku memesan segelas kopi pahit kesukaanku. Di sela-sela minum kopi, kusempatkan diri mengobrol banyak hal dengan pemilik kedai. Seorang tua berambut putih menyimak dengan saksama ceritaku.
“Mungkin Bapak pernah melakukan kesalahan sama seseorang sebelumnya.”
Deg!
Hampir tak percaya aku mendengarnya. Aku sama sekali tidak pernah memercayai hal seperti itu. Tapi, kemudian ingatan membawaku kembali ke masa lalu.
“Kenapa, Mas? Kenapa? Bukankah kamu udah janji mau nikahin aku?”
“Maafin aku Retha. Aku enggak bisa nikahin kamu. Aku udah dijodohin sama rekan bisnis ayahku.”
“Setelah apa yang kamu lakukan padaku? Dasar laki-laki biadab! Tega kamu, Mas! Tega!” Dia berteriak sambil melempar cincin emas yang pernah kuberikan.
Aku mengusap airmata penyesalan. Satu-satunya kesalahan yang kuperbuat sembilan bulan yang lalu. Sepertinya bapak ini benar. Dan, aku harus menuruti kata-katanya untuk meminta maaf pada seseorang yang pernah kusakiti, Retha.
Kusodorkan uang lima ribuan, lalu kembali memasuki area gedung. Aroma obat menguar menusuk hidung saat aku mulai menjejak lorong menuju ruangan semula.
Belum sampai ruangan semula, mataku tertuju pada sesosok perempuan duduk di kursi ruang tunggu, bersama seorang lelaki. Mungkin suaminya. Dari penampilannya, aku mengenalinya sebagai Retha.
“Kebetulan,” pikirku.
Aku bergegas menghampirinya. Dia tampak terkejut, tapi dia bisa segera mengendalikan diri. Kuutarakan maksudku dan beruntung dia mau memaafkan.
“Toh semuanya udah berlalu, Mas. Aku udah ikhlasin semua,” katanya menggenggam erat tangan lelaki di sampingnya.
Suara panggilan suster membuat obrolanku terhenti. Dengan sabar lelaki itu memapah Retha yang perutnya membuncit menuju ruang konsultasi. Sekilas dia tersenyum. Senyum yang tak pernah aku pahami.
Dengan perasaan lega aku bergegas menemui istriku. Aku melihat hal yang sangat berbeda di ruangan itu. Cahaya kuning keemasan berpendar dari tubuh istriku menyilaukan mata. Aku berteriak memanggil dokter yang segera datang membantu persalinan. Seketika cahaya meredup. Dengan bantuan dokter, perut istriku mengempis. Dia berhasil melahirkan dengan lancar. Aku tak mendengar suara tangisan. Aku dan dokter yang sudah membuka cadarnya bersitatap dalam keheranan.
“Maaf, Pak. Saya tidak bisa membantu banyak.”
Seketika sendi-sendi lututku seakan lepas. Lemas. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Istriku terbaring lemah, sementara dokter menunjukkan sesuatu padaku. Anakku, seharusnya, sebuah cincin emas pertunangan mirip dengan yang kuberikan pada Retha dulu.
~ mo ~
***
Berdasarkan #topikfiksimini hari Sabtu, tanggal 15 Juni 2013: SILAU