
Berdasarkan berita dari website VOA pada hari Rabu tanggal 7 Maret 2012 yang berjudul Pemerintah Diminta Serius Tangani Kasus Kekerasan terhadap Perempuan” disebutkan bahwa berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukan terdapat sekitar 119 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga pengada layanan sepanjang tahun 2011. Dan, perempuan dalam usia 25 hingga 40 tahun yang paling rentan terhadap kekerasan.
Kenyataan yang ada, kekerasan terhadap perempuan itu tidak mengenal usia. Bentuk kekerasannya pun bermacam-macam. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, dan bahkan seksual. Bukan saja terjadi pada perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak.Anak perempuan termasuk sosok yang sangat rentan terhadap perlakuan kekerasan.
Mengingat anak adalah masa depan bangsa, maka diperlukan tindakan nyata untuk melindungi anak dari segala bentuk tindak kekerasan. Dan, seringkali anak perempuan menjadi sosok yang kadang terlupakan. Sehingga, dalam tulisan saya ini, saya fokus menuliskan tentang anak perempuan. Tulisan saya kali ini tentang anak perempuan, setidaknya merupakan gambaran kondisi nyata di lapangan yang masih menjadi PR besar bagi penjabat pembuat kebijakan terkait dengan perempuan dan anak.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk yang masih dalam kandungan. Lahirnya Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak serta merta anak bebas dari kekerasan. Orang dewasa yang seharusnya melindungi, justru seringkali menjadi pelaku utama tindak kekerasan terhadap anak.
Pada dasarnya setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai potensinya. Secara berlapis dimulai dari tingkat keluarga dan kerabat, masyarakat sekitar, pemerintah lokal hingga pemerintah pusat, hingga masyarakat internasional berkewajuban untuk menghormati, melindungi, dan mengupayakan pemenuhan atas hak-hak tersebut. Hanya jika setiap lapisan pemangku tugas tersebut dapat berfungsi dengan baik dan mampu menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka anak akan dapat memiliki kehidupan berkualitas yang memungkinkannya tumbuh–kembang secara optimal sesuai potensinya.
Meskipun banyak upaya yang telah dilakukan, masih banyak anak Indonesia yang hidup dalam beragam situasi sulit yang membuat kualitas tumbuh kembang, bahkan kelangsungan hidupnya terancam, bahkan sejak dalam kandungan. berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 jiwa dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600 jiwa pada tahun 2009.
Kekerasan pada anak sebagai bentuk pelanggaran hak anak di NTB terjadi setiap hari dan hampir setiap anak pernah mengalami tindak kekerasan, kejadian kekerasan dapat terjadi dimana saja dalam berbagai bentuk, sekalipun mengeliminasinya hampir tidak mungkin tetapi upaya untuk meminimalkan kekerasan pada anak harus dilakukan, upaya yang dapat dilakukan diantaranya yaitu penyadaran terhadap masyarakat tentang upaya pemenuhan hak-hak anak.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Lembaga Perlindungan Anak Nusa Tenggara Barat (LPA NTB) tahun 2011, setidaknya telah membantu penanganan kasus sebanyak 60 (enam puluh) kasus. Dari 60 (enam puluh) kasus yang ditangani oleh LPA NTB, 75% -nya adalah berjenis kelamin perempuan. Berarti dalam satu tahun, ada 45 orang anak yang menjadi korban tindak kekerasan. Dan, yang membuat miris, bahwa 84%-nya (38 orang) adalah anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Sedangkan sisanya adalah korban trafficking sebanyak 1 (satu) orang, perebutan hak asuh anak sebanyak 3 (tiga) kasus, dan penelantaran sebanyak 2 (dua) orang anak.
Data tersebut diatas hanya sedikit dari kasus yang terjadi di NTB. masih banyak kasus tindak kekerasan terhadap anak yang tidak terlaporkan maupun yang tidak tertangani secara optimal. Guna optimalisasi penanganan kasus anak korban tindak kekerasan diperlukan upaya bersama secara komprehensif oleh semua pihak terkait. Sosialisasi pemahaman tentang hak-hak anak secara holistik dan berkesinambungan pada segenap lapisan masyarakat dan penguatan keluarga merupakan upaya yang bisa dilakukan.
Kelahiran produk hukum saja tidak cukup tanpa disertai upaya nyata untuk menangani secara optimal. Undang Undang tentang anak masih belum diimplementasikan dengan berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Beberapa peraturan daerah yang telah disusun, kadang hanya sekadar formalitas saja, karena belum bisa menjamin sepenuhnya hak-hak anak di daerah. Bahkan peraturan di beberapa desa juga belum bisa menjamin seutuhnya hak-hak anak. Sehingga, harus ada pengawasan terhadap implementasi produk hukum untuk menjamin optimalisasi perlindungan anak. Dengan demikian pemerintah harus serius menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk yang masih dalam kategori anak. Agar bisa lahir generasi yang kuat menjadi tiang negara.
Kepedulian orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara sangat dibutuhkan karena perlindungan anak adalah tanggung jawab kita bersama. Semoga peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret tidak hanya menjadi acara seremonial semata, tetapi menjadi tonggak untuk terus melanjutkan perbaikan nasib perempuan, termasuk anak-anak. Kalau bukan kita, siapa lagi?