Ayah, Aku Kuat

⌣·̵̭̌✽̤̥̈̊·̵̭̌⌣

Jarum detik berdetak perlahan menggigit malam di sebuah ruangan suram. Setiap detiknya adalah detak jantungnya yang berpacu dengan malam. Tak beraturan. Tidak seperti detak jarum detik malam itu. Raga lelah menggeliat dalam gundah.

Tangannya lemah tersambung dalam sebuah selang infus. Ruangan itu seketika berubah menjadi terasa pengap dan bau obat kian menusuk. Berkecamuk rasa yang akhirnya menumbangkan batas kesadaran.

“Bangun Nak!”

Suara berat seorang laki-laki singgah di gendang telingaku yang tertutup bantal. Dengan berat aku berusaha membuka kelopak mataku. Kesadaranku belum terkumpul sempurna saat aku bangkit dari kasur busa.

“Ada apa Ayah?” tanyaku sambil berusaha mengembalikan kesadaran di pelupuk mataku.

“Aku tahu kegelisahanmu malam ini,” kata ayahku sambil menggandeng tanganku ke sebuah ruangan.

“Tanpa kamu cerita Ayah sudah tahu, karena Ayah dulu juga pernah merasakan hal yang sama,” kata ayahku lagi.

“Iya Yah, aku bingung dengan keadaanku saat ini,” kataku.

“Satu hal yang harus kamu tahu, peran kamu sekarang tidak segampang dulu. Kamu sekarang adalah seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin kamu harus kuat,” kata ayahku sambil mengusap kepalaku.

“Bagaimana mau kuat Yah, kalau sampai saat ini aku belum mengerti tentang siapa yang aku pimpin,” jawabku datar.

“Tenang saja anakku, setelah hari ini kamu akan tahu siapa yang akan kamu pimpin,” jawab ayahku singkat.

“Satu hal kamu harus yakin pada dirimu sendiri bahwa kamu bisa jadi pemimpin yang baik,” kata ayahku lagi.

“Iya Yah. Aku janji aku akan berusaha jadi pemimpin yang baik seperti Ayah,” jawabku sambil memeluk raga renta ayahku.

“Ayah yakin kamu pasti bisa. Sekarang Ayah harus pergi. Waktu Ayah sudah habis. Jadilah pemimpin yang lebih baik dari Ayah,” kata ayah yang kemudian melepaskan pelukan rentanya dan berlalu.

Aku terdiam di depan ruangan berpintu yang berpadu dengan dinding bercat putih. Kata-kata ayahku membuat aku lebih kuat dalam menjalani peranku sebagai seorang pemimpin. Tiba-tiba ruangan itu menghilang bersama suara tangisan seorang bayi.

Suara tangisan itu membuatku terbangun dari alam tak sadarku. Sebelum beranjak, kupandangi foto almarhum ayahku yang tergeletak di sampingku. Senyum seorang ayah yang telah mengajarkan tentang arti kepemimpinan. Bergegas aku melangkah setengah berlari tertatih dari ruang tempat aku dirawat menuju ruang persalinan. Aku angkat tinggi-tinggi botol infus itu untuk segera menemui suara tangis anak itu, tangis buah hati pertamaku.

Di depan pintu tempat ayah meninggalkanku aku termangu. Berharap semoga buah hatiku seperti yang aku harapkan. Seorang anak laki-laki penerus keluarga. Aku segera merangsek maju. Di dalam aku lihat adik perempuanku yang tengah menemani istriku yang habis berjuang mempertahankan hidup dan kehidupan. Hidup istriku dan kehidupan buah hatiku.

Kenyataan aku tengah sakit di saat istriku tengah berjuang demi dirinya dan buah hatiku adalah kenyataan yang sungguh pahit. Lebih pahit lagi saat aku temui kenyataan bahwa istriku tidak terselematkan. Kondisi yang sama seperti yang dialami ibuku saat melahirkan aku. Aku teringat pesan ayahku dalam mimpiku untuk menjadi seorang pemimpin yang kuat. Pemimpin bagi anak laki-lakiku, sesuai harapanku. Kini aku telah menjadi seorang ayah, seperti ayahku yang harus membesarkan anaknya seorang diri, tanpa ibu.

⌣»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̈♡̬̩̃̊‎_m.a.z.m.o_♡̬̩̃̊‎✽̤̈·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *