Aku menangis mengetahui ada cincin melingkar di jari manis. Cincin Ibu yang telah hilang hampir seminggu. Tapi, kenapa bisa di jari manisku? Apa selama ini aku memakainya? Lalu, siapa laki-laki yang tidur di sampingku ini? Tunggu dulu! Aku sepertinya mengenal laki-laki ini.
***
Rumahku siang ini ramai sekali. Tamu undangan mulai berdatangan memberikan doa. Kedua mempelai tampak bahagia di tengah acara diiringi gending Jawa. Aku mempelai itu. Atas desakan Ibu, akhirnya aku memutuskan mau menikah dengan lelaki ini. Lelaki yang sebenarnya tidak aku cintai. Tapi, demi Ibu, aku berusaha mengubur rasa itu. Aku yakin akan bisa mencintainya seiring berjalannya waktu.
“Kamu tidak usah khawatir. Hanya dengan begini, Ibu bisa melunasi hutang. Dan, dengan begini, Ibu bisa tetap jualan untuk membiayai sekolah adik-adikmu dan itu berarti dia akan berhenti mengejar Ibu. Maafkan Ibu, Ranti.”
Untuk pertama kalinya, aku melihat Ibu menangis. Tanpa perlu meminta maaf, aku sudah memaafkannya. Sebab dengan begini aku bisa membalas pengorbanan Ibu.
“Tapi, Bu. Dia pernah bilang ke aku, dia tidak jadi menikahiku karena dia tidak punya cincin kawin. Dia tidak mampu membeli setelah usahanya bangkrut.”
“Kamu tenang saja. Biar Ibu yang mengurusnya.”
Kali ini Ibu tersenyum, aku pun ikut bahagia melihatnya. Aku yakin pilihan Ibu tidak salah. Semua demi kebaikan keluarga, aku rela.
Sampai suatu hari, seminggu yang lalu, aku bertanya,”Cincin kawin Ibu mana?”
“Sudahlah, Ranti. Kamu enggak usah mikirin itu. Nanti tiba saatnya kamu akan tahu.”
Aku terdiam. Perlahan kuusap airmataku. Make up di wajahku sedikit luntur. Di sampingku, suamiku menatapku berusaha menegarkan hatiku. Aku kembali tersenyum palsu pada undangan yang hadir.
***
Malam ini aku ingat. Laki-laki ini adalah suamiku. Dia mau menikahiku setelah bisa memberikan cincin kawin untukku. Cincin milik Ibu, pemberiannya lima belas tahun lalu saat dia menikahi Ibu yang seorang janda. Dia memang mantan suami Ibu.
***
wow…mantan suami menikahi putri tirinya….menarik banget 🙂
Woh! Terima kasih atas kunjungan dan apresiasinya. 🙂
kalimat ini, rasanya nggak konsisten : Kedua mempelai tampak bahagia di tengah acara diiringi gending Jawa. Aku adalah salah seorang mempelai itu.
kalau kedua mempelai, harusnya nggak usah disebutinkata ‘salah seorang’. cukup dengan kalimat, ‘aku mempelai itu’
keep writing ya..
Iya juga, sih. Kurang teliti saya kemarin. Terima kasih masukannya, Mbak Rohmah. Insya Allah tetap semangat! 🙂 *salaman*
Hehe, keren! Tapi itu gak boleh menurut agama… 🙂
Hehe… Makasih apresiasinya. Hmm… Gitu, ya? Waduh! Jadinya gimana, nih? Biarin dah, ya. Namanya juga fiksi. 🙂
huwah….menikahi anak tiri ya? *tak terbayangkan*
Iya. Begitulah. Makasih kunjungan dan apresiasinya, Rin. 🙂
iya, gak bisa kebayang 😀