“Kalau gini mending putus aja, Kak Mo!”
“Hei! Tunggu! Apa-apaan, deh. Pagi-pagi udah ngomongin putus aja.”
“Ya abisnya capek, Kak.”
“Kalau capek ya istirahat. Terpenting adalah istirahat mikirin yang enggak-enggak.”
“Maunya, sih. Tapi … Berat!”
“Halah! Kamunya aja yang ngerasa kayak gitu.”
“Kakak sih enggak pernah ngerasain.”
“Gayamu! Lima tahun tauk!”
“Serius, Kak?!”
“Iyalah. Tapi ya gitu…”
“Ya gitu gimana, Kak? Putus?”
Saya hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaanya. Bagaimanapun juga, sepandai-pandainya saya ngasih masukan pada beberapa teman yang membutuhkan, saya tetaplah seseorang yang sama kayak mereka. Namun, saya yang sudah terbiasa memberi masukan, lebih mudah dalam menerapkannya untuk diri sendiri. Meskipun enggak dipungkiri tetap butuh orang lain juga, sih.
Namu pagi ini bukan saya yang akan melacur lho, ya. Kebetulan ada seorang temen saya yang bernasib sama kayak saya. Mungkin hal itu yang bikin dia enggak canggung untuk bercerita. Emang nasib apa, sih? Biasalah, Gaes. Nasib anak muda zaman sekarang. Apa, deh? Itu tu yang ada kaitannya sama jarak. Udah tahu, dong! Enggak perlu diperjelas lagi juga, dong! Ya iyalah. Siapa sih yang enggak kenal sama LDR. Anak-anak kecil yang belum bisa ganti pampers sendiri juga udah tahu kali, ya.
LDR bagi sebagian orang itu enggak kalah horornya sama ketemu mantan bareng gebetan barunya di jalan. Lhoh?! Iya. Sama-sama nyeremin. Bagi sebagian orang lho, ya. Ujiannya berat, Gaes! Hanya orang kuat hatinya aja yang bisa bertahan hingga akhirnya bisa bersama. Namun saya yakin, di antara pembaca yang budiman banyak yang sanggup ngejalanin LDR, kok.
Keyakinan saya bisa aja salah, dong! Pastinya. Namun menurut saya ya mending positive thinking to daripada nuduh pembaca yang budiman gagal dalam LDR. Hayoo?!
Kebetulan temen saya yang baru masuk ke ruangan ini juga bawa permasalahan yang sama. Apalagi kalau bukan LDR yang sedang dijalaninya sejak setahun lalu hingga pagi ini. Bayangin aja, Gaes! Baru setahun LDR lha ya masak dia mau nyerah. Enggak banget, kan?
Ya udah sih. Itu kan pilihannya dia. Saya hanya bisa ngasih masukan aja. Seenggaknya saya berpikir, cukup saya aja yang punya pengalaman pahit dalam urusan LDR. Temen-temen yang lain sih kalau bisa ya jangan.
“Waduh! Sayang banget, ya. Padahal udah lima tahun, lho!”
“Ya mau gimana lagi. Namanya belum jodoh, kan? Sekuat apa pun berusaha ya beginilah akhirnya. Berpisah baik-baik demi kebaikan bersama di masa depan. Oya, kamu sendiri gimana?”
“Ya gitu deh, Kak. Kayaknya saya udah nyerah, deh. Kakak aja kuat lima tahun akhirnya putus juga.”
“Eits! Tunggu dulu! Kalau belum-belum kamu ngomongin putus, ngapain dulu jadian?”
Cowok berambut cepak itu diam di kursinya. Enggak ada komentar atas pertanyaan saya. Cukup lama dia mematung kayak gitu. Saya sih kayak biasanya, nunggu pelacur cerita lebih lanjut.
Tuh, kan! Bener! Setelah sekian diam, dia pun membuka suara, merespon pertanyaan saya.
“Iya juga sih, Kak.”
“Nah, kan! Sebab kamu udah mutusin untuk jadian, tugasmu selanjutnya ya jagain agar jangan sampai putus.”
“Terus gimana coba, Kak. Setahun lho jauh-jauhan.”
“Masih ada komunikasi, kan?”
“Masih, Kak.”
“Itu! Itu kuncinya. Selama komunikasi masih berjalan baik, artinya masih bisa dipertahanin.”
“Tapi, Kak. Saya kan juga khawatir kalau dia selingkuh di sana.”
“Khawatir atau enggak percaya dia setia?”
“Ngg… Keduanya sih, Kak.”
“Itu sebenernya yang bikin kamu enggak tenang. Berkurangnya kepercayaan.”
“Ya terus gimana dong biar bisa nambah?”
“Dimulai dari dalam hatimu sendiri sih semuanya. Positivie thinking. Sebab bisa jadi justru ketidakpercayaanmu itu adalah keinginan terdalam hatimu untuk melakukan hal yang sama.”
“Ya enggaklah! Masak saya selingkuh.”
“Siapa tahu, kan? Bukannya kamu juga bisa melakukan hal yang sama dengan dia di sini? Apa kamu enggak mikir kalau bisa aja cewekmu punya pemikiran yang sama?”
“Waduh! Iya, ya.”
“Begitu. Enggak usah kamu hanya mikir dari sudut pandang dirimu sendiri. Harus fair, dong! Bukankah saling mencintai itu menguatkan dari dua sisi?”
“Bener itu, Kak. Tapi masalahnya dia itu cewek. Sedikit aja dia membuka hati untuk cowok lain, terjadilah.”
“Enak aja kamu! Terus mentang-mentang kamu cowok kemungkinan selingkuhnya lebih kecil. Gitu?”
“Iya sih, Kak. Kalau misalnya saya ingin selingkuh, tapi enggak ada cewek yang mau membuka hatinya. Enggak jadi kan saya selingkuh.”
“Emang, sih. Tapi bukan perselingkuhan terjadi bukan karena faktor ceweknya doang, dong! Cowok pun punya peran yang sama dalam kejadian ini. Coba kalau cowok enggak ada niat selingkuh, adakah cewek yang membuka hatinya untuk selingkuh? Enggak, kan?”
Dia terdiam. Saya tahu kalau saat ini dia sedang memikirkan tentang kata-kata saya. Itu artinya saya telah berhasil membuatnya berpikir ulang untuk bisa mempertahankan keutuhan cintanya.
Enggak salah! Dia akhirnya menutup curhat pagi ini dengan sebuah kalimat yang men(y)enangkan.
“Enggak sih, Kak. Oke, deh! Enggak lagi-lagi deh saya mikir putus. Saya akan menjalani semampunya. Yang penting udah berusaha sebaik-baiknya dalam menjaga, kan? Perkara akhirnya kayak apa, ya tergantung sama yang di atas. Berdoa untuk yang terbaik aja, semoga jarak bukanlah sebuah penghalang.”
“Nah! Gitu lebih baik.”
– mo –
AKU AKU AKU! Udah hampir sepuluh bulan LDR. Komunikasi lagi gak bagus, tapi nyoba buat paham aja. Sama-sama sibuk. Semoga ujungnya baik. Aamiin 🙂
Aamiin. 🙏
aku nangis ajalah, lagi LDR ama pacar masa depan
*puk-puk* :’D