[BILIK CURHAT] ~ Korban Perasaan Oleh Si Anak Mama

IMG_0344.JPG

“Korban, sih. Tapi korban perasaan, Mas.”

Klasik, ya? Cenderung basi malah kalau menurut saya, sih. Hari gini lho masih ada yang jadi korban perasaan. Awalnya saya menanggapi dingin. Paling cuma becanda doang, batin saya. Tapi cerita demi cerita darinya membuat saya akhirnya serius menanggapi.

Awalnya sih ngobrolnya sambil jalan pas pulang dari salat Iduladha di masjid. Obrolan pun enggak neko-neko. Sekadar basa-basi biasa gitu, deh. Menjadi serius ketika saya silaturahmi ke rumahnya. Selesai salam-salaman sama keluarganya, saya pun duduk berdua dengannya di berugaq, gazebo khas Lombok, di sudut halaman rumahnya.

Dengan nyender pada salah satu tiangnya, saya to the point pada pokok masalah yang dihadapinya. Sebuah pertanyaan singkat, tapi jadi bahan obrolan yang panjang.

“Gimana korban perasaannya? Masih?”

“Masih lah, Mas. Sebenernya udah lama, sih. Tapi baru akhir-akhir ini kerasa nyeseknya. Saya juga sih yang salah.”

“Maksudnya?”

“Gini, Mas. Mas udah tau kan si Budi?”

Saya mengangguk. Setelahnya, ia melanjutkan ceritanya.

“Jadi selama hampir setahun ini, sebenernya ada yang saya pendem, Mas. Enggak tahu mau cerita sama siapa. Baru sekarang ini dah saya cerita. Asal Mas tau aja, ya. Budi ini anak mama banget, deh.”

“Bagus, dong!”

“Kok bagus, sih?”

“Seenggaknya dia sayang banget sama ibunya. Biasanya, cowok yang sayang banget ibunya itu sayang banget juga sama pasangannya. Gitu.”

“Iya sih, Mas. Tapi rasa-rasanya udah kelewatan, deh. Lha ya masak pas dinner ulang tahun saya, dia ngajakin pulang tiba-tiba setelah ditelpon ibunya.”

“Ya terus? Kamu enggak nanya ada apa gitu?”

“Enggak, Mas. Kayak biasanya gitu. Saya hanya nurutin aja biasanya. Gimana, ya? Rasanya enggak enak juga kalau dia nganggep saya kepo atau apalah. Mending saya diem, Mas. Bukan kali itu aja sebenernya. Seringkali saat kita pergi hangout, ada aja gangguan dari ibunya Budi. Minta dianter ke salon lah. Ke pasar lah. Enggak tau ke mana lagi. Dan kayak biasanya, saya diem aja. Enggak pernah komplain. Tapi lama-lama dipendem akhirnya nyesek juga. Mau ngomong ke dia enggak enak. Takut dia salah tanggep terus jadi masalah besar. Gimanapun juga, saya sayang banget sama Budi, Mas.”

“Saya tau kok, Nin. Terlalu lama mendem perasaan bisa bikin nyesek. Tapi bukan berarti enggak ada solusi, kan?”

Ia, sebut saja Nina, mengangguk. Sementara saya menunggu tanggepannya, ia justru milih untuk mengetuk-ngetuk papan kayu pada berugaq dengan ujung jarinya. Saya lihat ia menekuk kedua kakinya. Mendekatkannya ke dada, dan menenggelamkan kepala di sela-selanya. Rambut hitam panjangnya tampak terjurai hingga di papan kayu alas berugaq. Saya memahami perasaannya.

Hingga sesaat berikutnya, ia mengangkat kepala.

“Terus saya harus gimana, Mas?”

Kali ini giliran saya yang diem. Saya hanya ngelurusin kaki sambil mikirin solusi yang tepat untuk cewek berusia 20-an tahun yang duduk bersandar di depan saya, Nina. Butuh waktu cukup lama hingga saya menemukan solusi untuk membantunya.

“Nin… Pertama, bagus kamu udah mau cerita masalah ini. Seenggaknya kamu bisa lebih lega. Kedua, bagus juga kamu udah nyadari kalau dalam hal ini kamu juga salah. Ketiga, yang perlu kamu lakuin sekarang adalah ngomong jujur sama Budi… .”

“… Saya tahu, Mas. Tapi gimana memulainya. Itu yang saya pusing.”

Saya enggak langsung menanggapi Nina yang memotong pembicaraan saya. Saya menyadari, butuh waktu untuk membuat Nina benar-benar nyaman bercerita sama saya.

Hingga akhirnya…

“Nin… Untuk memulai sesuatu emang enggak mudah. Tapi bukan berarti enggak bisa dilakuin. Pertama, kamu harus bisa menerima kenyataan bahwa Budi itu anak mama. Ini penting. Sebab dengan gitu kamu bisa memahami Budi. Kedua, kalau selama ini kamu memahami Budi, saya yakin dia pun akan memahamimu. Ketiga, mulailah ngomongin hal ini pada saat kalian berdua bener-bener berada pada kondisi sebaik-baiknya. Maksudnya, carilah suasana yang tenang dan nyaman. Ngobrol di pantai, misalnya. Nah! Masalah pembukaannya kayak gimana, kamu tanya dulu ke dia tentang sosok seorang ibu. Biarkan dia cerita banyak tentang ibunya. Pelan-pelan, baru deh kamu singgung tentang yang kamu pendem selama ini. Inget! Jangan sekali-kali kamu suruh Budi milih antara kamu sama ibunya. Cowok enggak akan pernah bisa digituin. Pacar sama ibu itu bagi beberapa cowok sama penting. Bahkan enggak jarang, ada cowok yang nganggep ibu itu jauh lebih penting dari ceweknya. Makanya harus hati-hati bener kamu ngomongnya. Kurang lebih kayak gitu, Nin.”

“Kalau misalnya saya udah ngomong baik-baik, tapi dia tetep kekeuh gimana, Mas?”

“Itu kemungkinan terburuknya, kan? Kamu harus siep. Caranya, bikin dia sadar kalau kamu juga penting baginya. Kasih tahu kalau apa yang kamu omongin itu bukan berarti dia enggak boleh nurut lagi sama ibunya. Bukan kayak gitu. Kasih tahu baik-baik kalau keinginanmu itu hanya sekali dari beberapa kali yang kamu inginkan. Maksudnya gini. Saat sedang berdua, dalam lima kali keharusan Budi menuhin permintaan ibunya, kamu minta satu kali aja dia menuhin permintaanmu. Istilahnya kamu ngalah dulu. Selama ini aja sanggup ngalah terus, ya masak udah dipenuhin satu kali kamu malah nyerah. Nah! Ke depannya, baru deh dinaikin level pemenuhan permintaanmu. Pelan-pelan aja sambil jalan. Gimana?”

“Iya, Mas. Insya Allah saya bisa. Thanks, ya,” kata Nina dalam sebuah senyuman manis.

Dan, pagi itu sesi curhat pun kelar saat ibunya Nina datang bawain opor daging lengkap sama lontongnya. Sikaattt! 🙂

– mo –

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *