
“Apa coba maunya dia itu, Pak?!”
“Hei! Sabar! Duduk dululah!”
Ia pun akhirnya duduk di kursi kayu tanpa sandaran yang ada di sebelah kanan meja kerja saya. Demi menyadari keberadaannya, saya pun merapikan beberapa lembar daftar nilai yang akan disalin ke ijazah. Setelah menyimpan kembali berkas-berkas pekerjaan, saya pun menatapnya.
“Kamu kenapa, Ri?”
“Gitu dah pokoknya.”
“Gitu gimana? Ya mana saya bisa bantu masalahmu kalau kamu enggak mau cerita.”
Ia menunduk. Saya masih menatapnya. Kedua tangannya tampak sibuk memainkan ujung jas almamater birunya. Sesekali ia membetulkan posisi duduknya. Setelah mengembuskan napas pendek, ia pun melanjutkan perkataannya.
“Iya deh, Pak. Jadi gini… cewek saya itu akhir-akhir ini beda.”
“Cewekmu yang mana, nih? Anak Hukum itu, ya?”
“Bukan, Pak. Yang itu sih udah almarhumah. Beda lagi, nih. Baru dua minggu jadian.”
Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Cewek saya itu baru semester satu. Ketemunya sih pas OPSPEK gitu. Terus beberapa kali ketemuan akhirnya jadian. Nah! Selama dua minggu kemarin itu adem ayem aja. Sampai akhirnya ada seorang temen yang ngasih tahu kalau cewek saya jalan sama cowok lain. Ya gimana ya, Pak. Saya pasti panaslah, ya. Akhirnya saya selesein saat tu juga. Saya temui cewek saya lalu saya tanya baik-baik. Dan, Pak tahu siapa cowok yang jalan bareng dia itu?”
“Emang siapa cowok itu, Ri?”
“Ngg… ”
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Mahasiswa semester lima itu memandang kosong ke permukaan meja di hadapannya. Saya pun memilih untuk mencerna setiap kata-katanya. Dalam hati saya membenarkan apa yang telah dilakukannya. Namun, saya juga tidak menyalahkan ceweknya.
“Cowok itu mantan pacar cewek saya di SMA, Pak. Gimana cobak?!”
Hanya seperti itu saja ia mengakhiri ceritanya. Melihat kegundahan di bola matanya, saya berusaha merangkai kata demi kata.
“Ri… Apa yang kamu lakukan menurut saya enggak salah. Udah bener itu. Kamu ajak cewek kamu ngomong baik-baik. Tapi ya itu… Satu hal yang harus kamu tahu, saya juga enggak nyalahin cewek kamu.”
“Kok gitu, Pak?”
“Gini lho, Ri. Saya yakin kamu tahu kalau setiap orang berhak untuk berteman dengan siapa saja…”
“Tapi, Pak! Enggak harus sama mantan juga. Gimana, sih?!”
“Sabar dulu, dong! Gini lho, Ri. Sekarang kamu udah tahu kalau cewekmu masih berhubungan sama mantannya. Dia pun juga udah minta maaf sama kamu dan mengakui kesalahannya. Apa itu enggak cukup bagi kamu?”
Cowok berusia dua puluhan itu tak segera menjawab. Ia memilih untuk membuang muka atas sikap saya yang tidak mendukungnya untuk menyalahkan ceweknya. Saya memahami dari bahasa tubuhnya.
“Ri… Kita enggak bisa dong maksain kehendak sama cewek kita. Kamu tahu enggak kalau mencintai itu bukan berarti harus maksain semua keinginan hati?”
Ia masih bergeming. Tatapannya masih jatuh ke sudut ruangan. Entah apa yang ada dalam pikirannya, saya sama sekali tidak mengetahuinya.
“Pak… Saya paham tentang hal itu. Tapi… Kalau mendadak mereka balikan lagi, gimana?”
“Ri… Itu adalah sebuah kemungkinan terburuk. Ingat, ya. Di samping kemungkinan terburuk, ada juga kemungkinan terbaik. Kamu pernah memikirkan tentang itu?”
“Enggak pernah sih, Pak. Emang ada kemungkinan terbaiknya?”
“Oh… Jelas ada. Kemungkinan terbaiknya adalah cewekmu udah menyadari, kalau mantannya lebih cocok dijadiin temen daripada pacar. Itu menurut saya lho, ya.”
Cowok berambut cepak itu diam. Saya yakin kalau dia sedang memikirkan kata-kata saya.
Dan, benar adanya.
“Jadi, saya harus gimana sekarang, Pak?”
“Gampang, Ri. Gampang banget. Menurut saya, kamu hanya harus percaya sama cewek kamu. Itu aja.”
“Tapi, Pak. Apa itu menjamin kemungkinan terburuk enggak akan terjadi?”
“Tergantung gimana kamu ngomong baik-baik sama cewekmu tentang masalah ini. Apa perlu saya yang harus ngomong sama dia?”
“Kayaknya enggak usah deh, Pak. Saya bisa sendiri, kok.”
“Nah! Gitu, dong! Ajak dia ngomong lagi baik-baik tentang sejauh apa kedekatan mereka berdua. Kalau emang ternyata cuma temenan, ya kamu jangan segan-segan untuk minta maaf. Gimana?”
Ia pun akhirnya bisa menjawab pertanyaan saya dengan sebuah senyuman.
– mo –
Yah, masalah hati emang rumit ya pak
Bener, tuh. 🙂