(Bukan) Anakku

20131011-113653.jpg

“Udah dulu, ya, Sayang. Besok aku harus berangkat pagi-pagi.” Setelah mengecup kening, Dean membalikkan posisi badannya memunggungi Tina, istrinya.

Sementara Tina, memandang langit-langit kamar dalam senyuman. Ini memang bukan untuk pertama kalinya sejak menikah, lima tahun lalu. Tapi, kali ini berbeda. Hal ini terjadi setelah Dean menuruti kemauan Tina. Dean mau melakukan serangkaian proses pengobatan oleh seorang ahli pengobatan tradisional. Dan, berhasil. Sepertinya.

Sepagi itu, Tina telah menyiapkan sarapan untuk suaminya. Semuanya telah siap. Selama seminggu, suaminya akan ke luar negeri. Praktis dia hanya akan ditemani oleh ahli pengobatan tradisional yang selama ini juga tinggal di rumahnya.

***

Pandangan Tina tertuju pada test pack yang dipegangnya. Seketika dia tersenyum.

“Akhirnya.”

Sesaat kemudian, senyuman itu hilang berganti dengan airmata. Dia terduduk selonjor dan bersandar di tembok kamar mandi. Sesekali dia mengacak-acak rambut hitam panjangnya, lalu menggigit bibirnya kuat-kuat untuk membendung airmata yang hendak tumpah. Dia akhirnya memutuskan melipat kedua kakinya, lalu membenamkan kepala di atas kedua lututnya.

Hari ini Dean pulang.

***

“Tur… Mas berangkat. Kamu jangan lupa sama tugasmu, ya?” Dean mengulurkan tangan pada pemuda yang telah membantunya selama ini.

“Iya, Mas.”

Namanya Guntur. Seorang pemuda tetangganya di kampung yang ahli pengobatan tradisional. Dean mengajaknya tinggal bersama dan menyediakan ruang praktik baginya, jauh sebelum dia memutuskan menikah dengan Tina. Kini, lima tahun sudah lamanya mereka bertiga tinggal bersama. Dean dan Tina memperlakukannya sebagai anggota keluarga sendiri. Bahkan, kedekatan Guntur dengan keduanya lebih dari sekadar hubungan antara pemilik rumah dan penyewa. Dean memang menggratiskan sewa ruangan, hanya saja, konsekuensinya, Guntur harus siap membantu urusan rumahnya. Guntur pun tidak keberatan.

Dean selalu percaya, Guntur bisa menjaga Tina saat dia dinas luar; sesuai kesepakatan mereka. Pun Tina yang percaya, Guntur bisa melayani kebutuhan suaminya selama dia tidak ada di rumah.

***

Guntur beringsut dari kursi di teras belakang. Dia berjalan mondar-mandir sambil menggenggam kuat-kuat handphone-nya. Pandangannya jatuh pada lantai keramik yang dipijaknya. Kali ini ada yang berbeda pada dirinya. Detak jantungnya tak beraturan karena munculnya bayangan seorang perempuan berambut panjang. Curi-curi kesempatan selama ini, membuatnya telanjur jatuh cinta.

Setengah jam lagi Dean sampai di rumah.

***

“Dean Sayang… Aku hamil.” Sambil tersenyum, Tina memainkan kancing baju suaminya yang baru saja masuk kamar.

“Serius?” Dengan mata agak terbelalak, Dean mendorong tubuh Tina agak menjauh dari pelukannya .

“Maafin aku, Sayang. Baru sekarang ngasih tahu kamu. Kamu bahagia, kan?”

“Pasti, dong, Sayang. Sebentar lagi aku akan jadi seorang Ayah.” Dean menghela napas. Sekali sentakan, tubuh Tina tenggelam dalam pelukannya. Airmata Tina membasahi baju kerja biru mudanya. Dean hanya bisa diam menekan kepala Tina dengan dagunya. Tak ada hal lain yang bisa dilakukannya saat ini, selain memeluk Tina erat seolah tak mau kehilangan.

Dean tersenyum mengusap kepala Tina dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya bergerak perlahan meraih handphone di saku celananya. Dan, kalimat demi kalimat pun tertulis di layarnya.

Di teras belakang, handphone Guntur berbunyi. Bergegas dia membuka dan membaca pesan tersebut, dari Dean.

“Makasih bantuannya. Kamu udah boleh pindah tempat praktik… .”

Guntur tak melanjutkan membacanya. Dia menatap kosong pagar tembok di depannya. Pandangannya membentuk bayangan seorang perempuan berambut hitam panjang yang telanjur sangat dicintainya.

Akhirnya, Guntur memutuskan membaca lanjutan pesan dari Dean.

“… Oya, uang segera aku transfer sesuai kesepakatan awal kita. Setelah itu, bayi dalam kandungan Tina akan sah menjadi anakku, bukan anakmu.”

~ mo ~

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *