Hangat itu masih menjalar. Sama persis dengan yang pernah kurasakan sebelumnya, dulu. Bukan dengan Nindy, tapi entah dengan siapa. Yang pasti, kelembutannya sama.
Saraf halus di bibirku mengirimkan rangsang ke otakku. Mengubahnya menjadi sesuatu. Bukan kepuasan tetapi rasa bersalah dengan masa lalu. Masa lalu yang telah menjebakku tanpa seorang pun yang tahu. Termasuk Nindy dan bahkan Tuan Antonio sekalipun.
“Inikah yang kuinginkan?”
“Apakah ini benar-benar cinta? Ataukah nafsu semata? Atau apa memang setipis itu antara cinta dan nafsu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba berkecamuk dalam pikiranku. Menggerogoti keyakinan akan perasaanku sendiri. Kulepaskan kecupan lembutku. Kecupan sekilas dan dalam yang meruntuhkan pertahananku menjadi rasa bersalah. Aku mengenalinya sebagai air mata.
“Maafin aku, Ar.”
‘Bukan kamu, tapi seharusnya aku.’
Aku menghela napas sejenak untuk mengumpulkan kesadaranku. Kuraih dan kudekap tubuh Nindy. Untuk pertama kalinya aku bisa merasakan detak jantungnya dalam detak jantungku. Kepalanya bersandar di dadaku. Menyatu dengan air mata yang perlahan menetes satu-satu.
Pandanganku tembus melewati kaca mobil. Trattoria di depanku masih seperti dulu. Bangunan klasik bercita rasa Italia. Sama persis dengan yang kulihat saat aku pertama kali menjejakkan kakiku di meja nomor 2. Tidak sendirian, tetapi menemani majikanku, Nyonya Astari.
“Kamu kenapa, Ar? Kok nangis?” ujar Nindy sambil mempererat pelukannya di pinggangku.
“Nggak apa-apa, Nin. Mungkin aku terlalu bahagia,” jawabku berusaha tersenyum menyembunyikan perasaanku sambil mengecup lembut rambutnya.
Mungkin. Iya mungkin aku bahagia karena ternyata Nindy memiliki perasaan yang sama padaku. Tapi, dibalik kemungkinan bahagia, ada kesedihan. Dan, bisa jadi itu yang kurasakan sekarang.
Nindy mendongakkan kepala. Perlahan mulai mengendurkan pelukannya. Diambilnya tisu yang ada di dashboard, lalu mengusap sudut mataku. Lembut. Sebentar lagi, perempuan ini akan jadi milikku. Bisa jadi akan semudah itu, tapi aku belum yakin sebelum aku bisa mendapatkannya — seutuhnya.
Nindy terdiam di pelukanku. Tatapannya jatuh tepat di bola mataku. Kuselami lagi mata Nindy dalam tatapan yang berarti. Kutemukan lagi labirin masa lalu, sama persis dengan waktu itu. Bukan masa lalunya, tetapi ternyata pantulan dari masa lalu di mataku. Dan, perempuan dalam labirin itu bukan Nindy, tetapi nyonya Astari.
#FFBerantai (baca berurutan, ya?! 🙂 )
- “Senin” (@rin_hapsarina)
- “Sekeping Puzzle” (@momo_DM)
- “Mawar yang Mekar” (@rin_hapsarina)
- “Kupu-kupu Biru” (@momo_DM)
- “Selembar Foto” (@rin_hapsarina)
- “Labirin di Bola Mata” (@momo_DM)
- “Kembali” (@rin_hapsarina)
- “Bukan Kamu Tapi Aku” (@momo_DM)
- … .
nah loh 😀