Bukan (Lubang) Perawan

Kau tak perlu buru-buru menyebutku sebagai anak nakal. Suka keluyuran malam sendirian ke taman, lalu berkenalan dengan preman-preman. Aku hanya tidak tahan. Hampir setiap hari aku melihat sebuah pertengkaran. Adu mulut yang akhirnya berujung pada pemukulan. Semua terekam jelas dalam ingatan. Bahkan saat kau perlahan jauh meninggalkan. Mencari kehidupan. Seperti itu yang pernah kaukatakan.

Kau lantas menghilang di ujung jalan. Sementara ibu, harus membesarkan empat orang anaknya, sendirian. Salah satunya adalah aku, Tuan. Seorang anak lelaki kelas lima SD berusia belasan.

Dengan sayap yang memikat, aku pun akhirnya hidup di taman. Hinggap dan berpindah dalam setiap pelukan ke pelukan. Bukan kenikmatan. Aku hanya rindu dua tanganmu yang menghangatkan, Tuan.

Malam ini, aku kembali menyusuri ingar-bingar taman. Redupnya lampu adalah sebuah pemandangan. Menggodaku untuk meneruskan berjalan. Hingga sebuah sudut kutemukan. Di sana, seorang laki-laki seusiaku duduk sendirian. Lalu, kau pasti tak tahu apa yang terjadi, bukan?

Aku dan laki-laki mungil itu, sebut saja Alfian, berbagi kenikmatan. Berdua menggulung diri dalam asap putih yang menenangkan. Memang terlalu dini bagi usiaku yang belasan. Namun, aku sama sekali tak memahami itu sebagai perbuatan. Toh, ibu juga tak sempat mengingatkan.

Hingga larut, aku dan Alfian masih melagukan masing-masing kesedihan. Tanpa aku sadari, bahkan aku sudah tidak sedang berduaan. Di samping Alfian telah duduk dua orang lelaki dewasa yang berbincang penuh keakraban. Tanganku pun terjulur untuk bersalaman. Mereka adalah Anton dan Adrian. Malam pun akhirnya penuh tawa yang menyenangkan. Seharusnya tawa itu juga bisa kurasakan saat bersamamu, Tuan.

Perbincangan pun menemui titik kesepakatan. Dua lembar uang kertas seratus ribuan pun mereka ulurkan. Ke dalam saku celana, aku bergegas memasukkan. Tidak berhenti di situ saja, Tuan. Kau pasti akan terkejut saat mengetahui kalau aku menerima sebuah ajakan. Iya. Sekadar ajakan untuk jalan-jalan. Hati mana takkan riang saat terbayang perjalanan yang menyenangkan. Seharusnya itu bersamamu, Tuan. Tentu akan lebih membahagiakan.

Sepanjang perjalanan menuju kota tujuan, mataku disuguhi bayangan warna-warni dari kotak persegi berbagai adegan. Dua orang laki-laki sedang berbagi kenikmatan. Tak terkecuali telingaku yang mendengar erangan bercampur lenguhan. Ini adalah pertama kalinya aku mengenalnya sebagai pengalaman.

Sebuah perjalanan hampir satu jam yang akhirnya membawaku tiba di sebuah salon kecantikan. Lelaki bernama Anton yang biasa dipanggil Ses Anti adalah pemilik tempat di pinggir jalan. Dan, kau pasti tahu apa yang selanjutnya terjadi, Tuan. Iya, Tuan. Aku menjadi budak nafsu setan dalam panjangnya sebuah tangis kesakitan. Maaf, Tuan. Setelahnya aku bukanlah perawan.

Usiaku yang masih belasan membuatku takut terhadap ancaman. Hingga dalam perjalanan pulang, pelecehan kembali aku dapatkan. Di tempat berbeda dengan jarak tempuh hampir satu jam dari salon kecantikan. Kedua kalinya, aku kembali tak perawan. Bukan oleh Anton, Tuan. Namun kali ini giliran Adrian. Untuk kedua kalinya, aku hanya bisa menahan air mata kesakitan.

Setelah tersalurkan, aku pun kembali menuju rumah yang penuh kehangatan. Tentu saja tanpa dirimu di dalamnya, Tuan. Kau telah pergi meninggalkan untuk menemukan kebahagiaan hidup baru sendirian.

Di depan rumah, ibu menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan. Penuh kemarahan. Aku sama sekali tak memiliki keberanian melakukan pembelaan. Dengan kejujuran, aku pun menceritakan. Seharusnya ada kau juga di sana menenangkan, Tuan. Beruntung ibu cukup sabar dalam mengambil tindakan. Ia bergegas menghubungi polisi untuk melakukan penyelidikan.

Saat ini, aku telah mendapat keadilan dari berbagai bantuan. Hanya saja, luka ingatan tetap saja tak mau pergi begitu saja meninggalkan. Lalu, kapan kau akan datang untuk menyembuhkanku, Tuan?

– mo –

*terinspirasi dari kisah nyata anak laki-laki korban korban kekerasan seksual*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *