.:. (Bukan) Mimpi yang Sempurna .:.

Terinspirasi dari lagu “Mimpi yang Sempurna” ~ Peterpan Band

 [1]

Mungkinkah bila ku bertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila ku mulai merasa
Bahasa kesunyian

Aku menggigil kedinginan. Malam sepertinya enggan bersahabat denganku. Meskipun begitu, aku tetap melangkah menyusuri jalan setapak ini. Beginilah risiko seorang pekerja malam yang selalu pulang hampir dini hari. Jalan setapak yang menghubungkan jalan besar dengan rumahku yang berada jauh di dalam itu sepi. Rumah-rumah yang di pinggir jalan itu pun sunyi. Sesekali terdengar suara nyanyian burung malam di pohon yang tumbuh berderet di sebelah kanan. Aku bersedekap menghangatkan diri. Seharusnya Ayah menjemputku malam ini, tapi sepertinya Ayah ketiduran seperti malam-malam sebelumnya.

Hembusan angin malam menerbangkan sisa rambut yang kuikat tinggi.  Sepatu high heels-ku sudah berpindah ke tanganku. Kakiku kini telanjang. Sengaja kulakukan agar telapak kakiku lebih tahan terhadap kerasnya jalan setapak ini, seperti aku yang selalu mencoba tahan dengan beratnya perjalanan hidupku. Polesan di wajahku masih belum bersih benar. Tadi di kafe aku tidak sempat membersihkannya. Meskipun kata Om Ron, pemilik kafe, make up-ku terlalu menor untuk ukuran seorang gadis berusia 17 tahun, tapi aku tidak memedulikannya.

“Ah! Langit yang cerah. Tanpa awan. Penuh bintang,” bisikku lirih menengadah pada impianku. Langit cerah tak lagi kelabu, penuh binar bintang, setidaknya seperti itu mimpi dalam bahasa kesunyianku.

 [2]

Salahkah aku yang berjalan
Dalam kehampaan
Terdiam, terpana, terbata
Semua dalam keraguan

Aku kembali melangkah di tengah malam sunyi itu. Aku telah sampai di pematang sawah yang memisahkan rumahku dengan pemukiman penduduk. Seperti biasanya aku tidak takut, karena seringkali aku temui orang-orang kampung yang tengah mencari belut. Malam yang berbeda. Sunyi. Sepi. Hembusan angin malam menembus jaket dan celana jeans-ku, mengantarkan bahasa kesunyian ke relung hatiku.

“Ah! Seandainya masih ada Ibu, mungkin malam ini aku tak kesepian. Ada Ibu yang menuntunku di pematang ini,” kataku dalam hati.

Seakan ada bagian yang hilang dalam diriku lalu mendamparkanku di padang kesunyian. Aku terus menyusuri pematang sawah itu. Tak lama lagi aku akan tiba di rumah. Rumah. Iya… rumah Setidaknya aku menyebutnya begitu.

“Seandainya aku bisa meneruskan sekolahku, mungkin aku takkan seperti saat ini. Tapi demi Ayah, orang tuaku satu-satunya, aku rela,” kataku lagi, masih dalam hati.

Malam yang tidak biasa. Aku merinding saat melewati pohon beringin besar yang tumbuh di ujung pematang sawah milik Pak Lurah itu. Sepertinya ada yang tengah mengawasiku. Tiba-tiba dadaku berdesir. Aku ingat ini malam Jumat Kliwon. Kurapal doa yang masih kuingat sewaktu kupelajari di SMP, pendidikan terakhirku, sambil bergegas setengah berlari.

Malam masih sunyi saat aku tiba di rumah berdinding papan yang hanya terdiri dari satu ruangan saja. Hatiku tenang saat melihat Ayah sedang duduk di kursi bambu depan rumah. Menyalakan rokok. Sepertinya sedang gelisah.

“Ayah belum tidur?” tanyaku sambil mengambil posisi duduk di sampingnya.

Ayah hanya terdiam memandang jauh ke langit. Aku pun jadi ragu untuk melanjutkan dengan pertanyaan yang lain. Aku tahu saat seperti ini, itu artinya Ayah ingin menikmati malam. Sama seperti waktu dulu aku masih kecil. Saat malam tiba, Ayah suka sekali mengajakku ke bukit di samping rumah, hanya untuk melihat bintang.

[3]

aku dan semua
yang terluka karena kita

“Aretha … .”

“Iya, Yah.”

“Bagaimana pekerjaanmu malam ini?”

“Syukur, Yah. Pekerjaanku lancar. Oya … Kenapa tadi Ayah tidak menjemputku di depan?”

Ayah kembali diam. Tatapan matanya kosong. Entah sudah sampai berapa bintang dihitungnya. Aku tak tahu pasti. Satu yang aku tahu, Ayah sedang ada masalah.

“Aretha … . Ayah tahu kamu anak yang kuat seperti Ibumu.”

Ayah tidak meneruskan ucapannya. Diam sambil mematikan puntung rokok kretek kesukaannya di asbak kayu yang beberapa bagiannya sudah pecah. Kulihat Ayah menghela napas panjang. Aku hanya memandangi wajahnya. Wajah satu-satunya lelaki yang dekat denganku saat ini, setelah hubunganku dengan Arion, preman pasar, tidak direstui Ayah.

“Maafkan Ayah. Tadi Ayah sengaja membiarkanmu pulang sendirian. Untuk berjaga-jaga saja, siapa tahu suatu saat kamu harus seperti itu setiap hari.”

Deg!

Aku terkejut dengan kata-katanya. Kata-kata yang menyiratkan tentang kehilangan. Akankah? Pasti. Tapi aku berharap bukan dalam waktu dekat ini. Aku masih membutuhkannya untuk mengajariku tentang arti bertahan hidup. Apa pun dia, bagaimanapun dia adalah ayahku. Dan, sampai kapan pun aku akan tetap memanggilnya dengan panggilan Ayah. Setidaknya sampai detik ini.

“Kenapa Ayah bicara seperti itu?” tanyaku sambil menggenggam tangan Ayah yang mulai keriput.

Tangan yang selama ini membelai rambutku dengan kasih sayang. Tangan rapuh yang telah menopang kehidupan keluargaku sebelum Ibu memutuskan bunuh diri, saat aku lulus SMP. Bukan tanpa alasan Ibu melakukannya. Ibu sudah tidak tahan dengan cibiran penduduk kampung sebagai perusak nama baik kampung. Nyawa pun jadi taruhannya. Dan, sejak saat itu praktis pengobatan alternatif Ayah berhenti total. Itu artinya aku dan Ayah pun terluka. Ayah menganggur dan aku yang gantian bekerja. Kehilangan Ibu menyisakan kepedihan mendalam. Bisa jadi malam ini akan jadi puncak dari kesedihan itu.

“Aretha … Ayah pengin membuka kembali praktik pengobatan alternatif.”

Perkataan yang sama yang pernah kudengar seminggu sebelumnya dan sepertinya warga sudah mulai curiga. Terlebih saat Ayah pernah dipergoki oleh seorang warga sedang membeli dupa di pasar dekat kampung.

“Ayah sudah pikirkan matang-matang tentang rencana itu?” tanyaku setengah tidak percaya.

Aku tahu risikonya sangat besar sekali apabila Ayah kembali membuka praktik pengobatan alternatifnya. Bukan hanya keselamatan Ayah, tapi keselamatanku juga.

“Ayah capek hidup menderita seperti ini terus. Setelah Ayah pikir-pikir, Ayah kasihan melihatmu bekerja tiap malam sampai larut seperti ini. Kamu berhak bahagia seperti anak-anak lainnya. Dan, sepertinya kamu sekarang sudah bisa meneruskan tugas Ibumu, membawa gadis perawan sebagai syarat setiap malam Jumat Kliwon bulan kesepuluh. Kamu mau, Aretha?”

 [4]

aku kan menghilang
dalam pekat malam
lepas ku melayang

Kini giliran aku yang terdiam. Seketika aku merasa berdiri di tepi jurang. Akan dimakan binatang buas saat kembali ke hutan, dan akan binasa saat aku memaksakan untuk terjun ke dasarnya. Seandainya bisa memilih, aku memilih untuk menghilang dalam pekat malam, agar aku bisa menyatu dengan setiap desir anginnya.

Aku benar-benar tidak sanggup menjawabnya, terlebih malam ini adalah malam Jumat Kliwon bulan kesepuluh. Itu artinya aku tahu apa yang akan terjadi padaku malam ini. Mau atau tidak mau. Rela atau tidak rela.

Aku masih terdiam saat Ayah mengelus kepalaku. Aku tahu, kasih sayangnya selama ini tak terbantahkan. Bahkan dulu waktu aku kecil, Ayahlah orang pertama yang mengobati lukaku saat jatuh dari sepeda, bukan Ibu. Sepertinya Ayah tahu isi pikiranku.

“Pikirkan dulu, Aretha. Kalau kamu bersedia, ayo kita mulai ritualnya malam ini juga.”

Angin malam semakin kurasakan dingin menusuk tulang. Daun beringin bergoyang tak tentu arah. Beberapa buah masaknya mungkin telah terjatuh malam ini. Entah mana yang lebih dulu akan terjatuh, aku atau buahnya yang telah masak. Aku masih bergeming. Hanya tatapanku saja yang tak henti menyapu sekeliling. Semak depan rumah yang bergerak-gerak. Entah tertiup angin atau binatang dari hutan yang turun bersembunyi.

Beruntung remang-remang cahaya lampu tempel dari dalam rumah mengaburkan air mataku yang mulai berlinang. Ayah takkan pernah tahu hal ini. Digenggamnya tanganku erat seolah ingin memberikan kekuatan. Kekuatan yang sebenarnya bahkan aku sendiri telah kehilangan sejak Ayah menanyakan kesanggupanku.

Entah apa yang membuatku akhirnya menuruti kata-kata Ayah. Perlahan Ayah menggamit tanganku dan mengajakku masuk ke rumah. Sesampai di dalam, aku pamit ke belakang lewat dapur. Tak lama aku kembali dan tidur telentang, bukan di kasurku, tapi di tempat tidur Ayah, tempat tidur yang biasa dipakai bersama Ibu. Aku pasrah. Kulirik sekilas Ayah menuju dapur. Bukan dapur sebenarnya, hanya bilik kecil untuk meletakkan tungku dan peralatan masak sederhana lainnya. Sesederhana rumah dan isinya. Beruntung aku mempunyai “bos” yang baik hati, sehingga aku tidak perlu pusing dengan kebutuhan pakaian dan kosmetik untuk bekerja. Bahkan kalau aku mau, bisa saja aku tinggal bersamanya sebagai istri kedua. Tapi aku memilih tidak, karena hidupku adalah tentang membahagiakan Ayah. Setidaknya sampai aku menyerah.

Tak lama kemudian Ayah keluar membawa serta perlengkapan ritualnya. Selanjutnya dia mulai meletakkan perlengkapan, yang entah apa namanya, di dekat tempat tidur.

“Kamu sudah siap, Aretha?”

Aku mengangguk pelan menyembunyikan tangisan. Ayah pun akhirnya mulai membaca mantera. Ruangan mendadak gelap saat aku mencium bau dupa yang dibakarnya. Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang berat menindihku, tubuh Ayah. Kesadaranku berangsur-angsur timbul tenggelam. Setelah itu, aku tak menyadari apa yang terjadi. Yang aku tahu aku sedang bermimpi. Mimpi yang  sempurna bagi seorang gadis belia yang menginginkan kembalinya dunia remaja. Tiba-tiba aku setengah tersadar saat mendengar teriakan keras dari luar.

“Tangkap!”

“Tangkap!”

“Tangkap!”

Suara bersahutan itu masih belum berhenti saat pintu rumah didobrak. Di depan pintu samar-samar kulihat wajah Arion bersama ratusan warga desa. Massa tampak beringas. Ada yang membawa golok, sabit, dan senjata tajam lainnya. Mendadak aku tak sadarkan diri lagi. Telanjang dan terluka. Sementara Ayah. Entah apa yang terjadi padanya selanjutnya.

 [5]

biarlah ku bertanya
pada bintang-bintang
tentang arti kita
dalam mimpi yang sempurna

“Ayaahhh!”

“Ayaahhh!”

Aku berteriak histeris. Kulihat seorang lelaki berbaju putih mendekatiku saat aku membuka mata. Aku tak mengenalnya.

“Apakah dia malaikat pencabut nyawa yang akan mengantarkanku menuju bintang untuk menemukan jawabannya?”

Seseorang itu terus mendekatiku. Ketakutanku semakin menjadi saat  dia berdiri tepat di sampingku.

“Tenanglah, Dik! Tidak apa-apa, kok,” katanya berusaha menenangkan aku yang masih saja histeris.

“Kenapa harus seorang dokter yang mendatangiku? Kenapa bukan malaikat pencabut nyawa?” teriakku lagi.

“Beruntung tim dokter masih bisa menyelamatkanmu, Dik. Kalau tidak, mungkin saat ini kamu sudah tidak ada di dunia ini lagi,” kata dokter itu lagi meraih lenganku.

“Kenapa tidak biarkan saya mati saja, Dokter? Kenapa?” tanyaku histeris dan hampir saja menjatuhkan tiang yang menggantungkan botol infus di samping ranjangku.

“Dik… Hidup dan mati sudah ada yang mengaturnya, karena hidup dan mati hanyalah masalah waktu. Kamu yang sabar, ya, Dik. Pemakaman dukun cabul itu sudah diurus oleh masyarakat,” kata dokter itu sambil menyuntikkan obat penenang.

“Dia Ayahku, Dokter. Bukan dukun cabul,” kataku lirih sebelum akhirnya aku tak sadarkan diri untuk menemukan mimpi yang sempurna hari ini. Lamat-lamat kulihat dua orang perempuan berseragam coklat berdiri di ambang pintu. Mungkin salah satunya sedang menyelipkan pisau berdarah sebagai barang bukti untuk menuntutku.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *