Catatan Embun di Atas Daun (2)

07:00 Wita

Aku masih enggan membuka mata. Ingatan tentang kehangatan rahim Mamah masih begitu lekat. Bukan saja kehangatan, tetapi juga perihal posisi favorit. Aku masih suka meringkuk seolah-olah masih berada di dalam rahim Mamah. Tempat ternyaman selama sembilan bulan sepuluh hari. Tempat terindah bagiku untuk mulai belajar tentang kehidupan. Tentang terang dan gelap dunia. Pun ingar bingar suara-suara yang menyertainya. Salah satu suara yang kusuka adalah dendang selawat ‘Ya Ashiqol Mustofa’. Sebuah kidung hangat yang seringkali kudengar saat Mamah dan Papah pulang kerja. Sebuah dendang menenangkan yang selalu sempat dinyanyikan Papah sambil memijat Mamah. Aku tidak tahu apa alasan Papah suka sekali mendendangkan lagu itu untukku. Atau jangan-jangan hanya selawat itu saja yang dihafal Papah? Ah! Entahlah. Yang pasti aku bahagia saat mendengar Papah mendendangkannya.

07.30 Wita

Dalam lelap, aku mendengar langkah kaki mendekat. Ternyata bukan satu orang saja yang datang. Namun dua orang berseragam.

“Gimana, Mbak?”

“Kita kasih imunisasi dulu, ya, Pak. Sama nanti sore kalau dokternya dateng, baru diberikan suntikan antibiotik.”

“Untuk apa, Mbak?”

“Nanti dijelasin langsung sama Bu Dokter, ya, Pak.”

Setelahnya ruangan hening. Aku masih mendengkur halus. Sementara Papah sama Mamah sepertinya sedang saling menguatkan. Terlebih saat tangisanku pecah bersamaan jarum yang tertancap di kakiku. Kesakitan sesaat yang akan sangat berarti bagi kesehatanku.

14:30 Wita

Terdengar suara pintu kamar diketuk. Tante bidan masuk membawa selembar formulir untuk diisi oleh Papah. Dengan hati-hati Papah pun mulai mengisi. Dia sempat ragu ketika hendak menuliskan namaku. Aku tahu pengetahuan Papah tentang bahasa arab sangat minim. Dia khawatir salah menuliskan doa-doa dalam sederet namaku. Namun dengan keyakinan, akhirnya Papah mantap menuliskan ‘Mahfuz Zhafir Moukib’ di kolom nama bayi. Itu adalah namaku. Sebuah nama yang berarti kemenangan yang terpelihara dan abadi. Begitu harapan Mamah dan Papah kepadaku. Insyaallah, ini adalah doa terbaik mereka untukku hingga kelak.

16:30 Wita

Aku masih pulas. Sendiri menikmati mimpi yang entah. Semuanya masih belum jelas. Hingga aku menangis lagi saat jarum suntik kedua menusuk paha kananku. Oh. Berarti Bu Dokter sudah datang.

“Ini suntikan antibiotik, ya. Untuk mencegah agar tidak infeksi terutama pernapasannya.”

“Iya, Dok. Terima kasih.”

Ruang nomor 5 di ruang bersalin Siti Fatimah itu kembali hening. Hanya ada senyum kebahagiaan di wajah Mamah dan Papah. Terlebih ketika Papah mengingat kemarin sore Pakde sama Bude menyempatkan diri untuk menjenguk dan menjagaku hingga larut. Setidaknya aku merasa lebih beruntung. Di kelahiran almarhumah kakak Inshira, Pakde dan Bude tidak bisa menemani untuk menguatkan Papah karena mereka sedang pulang kampung.

Namun keberuntungan itu ternyata hanya sesaat.

19:00 Wita

Papah terlihat murung. Beda dengan Mamah yang terlihat bahagia dikunjungi sanak saudara. Papah kenapa? Aku tidak tahu. Namun akhirnya suara di ruang kelas 2 itu memberitahukanku tentang satu hal.

“Besok Mas mau pulang, Ay. Dia bilang ibunya Mbakyu lagi sakit.”

Percakapan keduanya berlangsung biasa saja. Papah memang pandai menyembunyikan rasa. Di depan Mamah dia meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. Meskipun tak ada yang membantu menguatkannya, tetapi setidaknya banyak doa-doa dari keluarga untuk segala hal terbaik bagiku dan seluruh keluarga besar.

Aku bahagia meskipun hingga hari kedua belum bisa menyusu karena ASI Mamah belum keluar. Kata Tante biasa kalau sehabis operasi cesar ASI butuh waktu untuk bisa keluar. Beda dengan melahirkan secara normal.

Namun tetap saja terlihat gurat kesedihan di wajah Mamah. Mamah sepertinya khawatir tidak bisa memberikan ASI eksklusif padaku seperti yang dicita-citakannya. Namun kesedihan itu tidak boleh terus berlanjut. Karena justru akan semakin menghambat keluarnya ASI. Mamah pun akhirnya menguatkan kembali niatnya untuk bisa meraih cita-citanya. Dia pun rajin mengompres dan memberikan stimulus. Tanpa kenal lelah Mamah terus berjuang. Dia tidak menyerah meskipun belum ada setetes ASI pun yang keluar. Dia hanya bisa meyakinkan diri bahwa dia bisa menyusui. Tak terkecuali peran Papah yang terus memberikan dorongan padanya. Mamah tidak pernah putus berusaha.

(Bersambung)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *