Catatan Embun di Atas Daun (1)

15:15 Wita

Ini pertama kalinya tangisanku terdengar memecah batu kecemasan di hati Papah dan Mamah. Sebuah tangisan keras dan panjang yang tak hanya terdengar di ruang operasi RSI Siti Hajar saja. Namun juga hingga menembus telinga Papah yang sedang berjaga di selasarnya. Aku yakin, waktu itu pasti Papah dan Mamah langsung mengucapkan syukur kepada-Nya. Aku yang telah mereka tunggu sepeninggal Kakak Inshira dalam kandungan Mamah, enam belas bulan yang lalu.

15:30 Wita

Tante perawat menggendongku, lalu dengab sigap dan cermat membersihkanku. Sayangnya, setelah melalui pemeriksaan dokter, aku terindikasi mengalami gangguan pernapasan. Dan, kalian pasti tahu selanjutnya aku berkarib dengan siapa, kan? Iya. Tabung oksigen. Selama satu jam, aku pun berusaha mengakrabi teman baruku itu. Teman baru yang mengajariku untuk beradaptasi dengan dunia baru.

15.45 Wita

Aku mulai mendengar suara-suara baru. Suara-suara yang mengalun indah dari pengeras. Bukan hanya satu, tetapi banyak. Hampir bersamaan menyapaku. Aku tak paham suara apa itu. Namun aku yakin itu pasti suara-suara terbaik yang kelak akan mengingatkanku pada penciptaku.

14.50 Wita

Tak lama kemudian, suara-suara keras itu berganti dengan suara yang lebih pelan. Kali ini tepat di telingaku. Aku mengenalinya sebagai suara Papahku. Suara yang tak merdu, tetapi bisa membuatku membuka mata untuk pertama kalinya. Suara tak merdu yang berisi doa-doa panjang sebagai bekal bagiku kelak untuk mengingatkan tentang ibadah lima waktu.

16.45 Wita

Aku masih menghirup oksigen dari tabung. Belum ada perawat yang membantuku melepaskannya. Beruntung ada Tante yang belum pulang dinas di rumah sakit itu. Dengan hati-hati, dia membantuku melepas selang di lubang hidungku setelah aku bisa bernapas dengan lebih baik.

17.00 Wita

Aku menghabiskan waktu dengan tidur di boks dekat Mamah di ruang bersalin Siti Fatimah ruang 5. Silih berganti keriuhan tak mengganggu lelapku. Aku tetap tertidur. Bahkan saat Mamah berusaha untuk melakukan Inisiasi Menyusui Dini. Sayangnya, air susu Mamah belum deras mengalir. Aku hanya bisa bersabar sebab masih ada cadangan makanan dalam tubuhku hingga 72 jam kemudian. Sebab itu, aku pun tetap lelap.

bersambung

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *