PISCESSA: Sepasang Sepatu Tua
Piscessa membuka mata. Retina matanya tak mampu membiaskan bayangan benda di kamarnya. Gelap. Syaraf sadarnya memerintahkan tangannya meraba nakas di samping tempat tidurnya. Syaraf ujung jarinya belum bisa menemukan benda yang dicari. Dalam kegelapan dia tidak bisa melakukan apa-apa. Persis seperti saat pertama kali dia mendapati kenyataan, bahwa Arion memutuskan hubungan tanpa sebab. Saat itu, bintang di langit mendadak lenyap. Semua titik-titik kuning berpendar dalam kepalanya.
Sejak saat itu, dia memilih menyimpan pendarnya dalam sebuah sisi otak besarnya. Dengan begitu dia masih bisa menemukan cahaya lain di kehidupannya. Cahaya itu adalah Leo. Lelaki mapan yang selama ini mencintainya sepenuh hati. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Piscessa sampai saat ini.
Di atas meja nakas, Piscessa menemukan sebuah benda lonjong terbuat dari plastik berwarna oranye, warna kesukaannya. Sekali sentuh pada tombolnya, seberkas sinar membentuk lingkaran pada tembok kuning pucat. Dia mengarahkan cahaya itu ke arah pintu keluar. Setapak demi setapak, langkah kakinya tiba di pintu kamar.
“Kriet…”
Bunyi kayu berat terdengar saat tangan dengan jari bercat kuku oranye membuka gagang pintu kayu jati. Piscessa melangkah keluar setelah menutup daun pintu penuh ukiran berusia tua itu. Dia terus mengarahkan sinar ke berbagai sudut untuk melihat kondisi sekelilingnya. Cahaya bundar serupa bulan berpindah-pindah tempat. Kadang sinarnya jatuh pada gorden berwarna oranye bermotif bunga. Tak lama kemudian, sinar berpindah ke atas tumpukan buku tebal di atas meja.
Tak lama, Piscessa tiba di pintu depan. Perlahan dibukanya dan tangan kirinya meraba dinding luar di dekat pintu depan. Pada sebuah panel tangannya berhenti.
“Sial! Mati.”
Berkali-kali Piscessa mengumpat. Petir baru saja merusakkan jaringan listrik di rumahnya. Musim hujan seperti saat ini memang sangat rentan terhadap kerusakan jaringan listrik. Bukan petir saja, tetapi angin besar selalu saja datang menjelang Imlek.
Piscessa menyerah. Dia memutuskan menuruni tangga kayu rumahnya. Di halaman, dia mengedarkan pandangan. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, dia melihat tetangganya di halaman masing-masing dengan sikap yang sama, memandang langit yang gelap. Terdorong rasa penasaran, dia pun ikut mendongakkan kepala. Tak ada setitik cahaya pun di sana. Dia mengarahkan cahaya ke atas. Menghilang hanya dalam jarak tak sampai dua meter.
Piscessa kembali menuju pintu masuk. Setelah memastikan terkunci, dia menuju gerbang kayu. Dia menapak trotoar. Tak ada kehidupan di jalan beraspal kecil depan rumahnya. Hawa dingin memberikan rangsang pada kulitnya. Dia bersedekap menghangatkan diri dari serbuan angin. Dia terus melangkah meninggalkan pucuk-pucuk cemara yang terus bergoyang pelan.
“Seharusnya enggak kayak gini keadaannya.”
Langkah kaki yang dilindungi flat shoes itu tiba di gerbang sebuah rumah bercat biru. Seorang perempuan tua menyambutnya ramah. Basa-basi tercipta dari bibir dua perempuan beda generasi itu.
“Ada apa, Madam?”
“Entahlah, Cess. Madam juga bingung ini.”
Kedua perempuan itu terlibat obrolan serius. Berikutnya halaman tukang ramal itu mulai ramai. Orang-orang satu komplek berkumpul menggunjingkan fenomena tidak masuk akal yang sedang terjadi. Mereka bertanya-tanya tanpa menemukan jawaban.
“Bagaimana mungkin jam segini matahari belum terbit?”
Seorang lelaki setengah baya mengeluarkan pernyataan sesuai kenyataan. Wajahnya tampak keheranan saat dia melontarkan hal itu.
“Padahal udah pukul delapan.”
Sambungnya lagi. Dia berdiri tepat di samping perempuan yang dipanggil Madam. Tak seorang pun yang tahu nama asli perempuan tua itu. Sebagai pendatang, mereka tidak berani sekadar menanyakan padanya. Maklum dia adalah penghuni pertama komplek di kaki bukit itu.
Madam menghela napas pelan lalu berkata, “Kita tunggu dulu.”
Orang-orang yang berkumpul menurut. Suasana pagi itu mendadak hening. Burung pagi mengira hari masih malam.
Sampai hampir setengah jam, belum ada kejadian yang berarti. Masih sama. Mereka duduk membentuk lingkaran. Madam tampak komat-kamit merapal mantra. Sementara Piscessa dan lainnya bergeming di tempatnya masing-masing. Tiba-tiba Madam berdiri dengan kedua tangan menengadah ke langit. Seberkas cahaya mendadak membelah langit gulita.
“Diam! Jangan berisik!”
Madam menurunkan kedua tangannya dan mengambil posisi duduk. Pandangannya terpaku pada sinar yang jatuh. Semua yang hadir pun melakukan hal serupa.
Piscessa berusaha memfokuskan pandangan pada sebuah kotak berwarna coklat yang tiba-tiba muncul setelah sinar itu hilang. Madam melarangnya saat dia berusaha beranjak hendak mengambil kotak itu.
“Biar Madam,” katanya sambil melangkah menuju objek itu.
Kedua tangannya menggenggam kuat kotak yang tergeletak di trotoar depan rumahnya itu. Dia segera kembali ke kumpulan orang di halaman rumahnya. Dia pun meminta lelaki di sampingnya untuk menyalakan senter. Sederet tulisan hinggap di indera penglihatan mereka.
“Untuk: Piscessa”
Deg!
Ada yang berubah dalam detak jantung Piscessa. Agak gemetar dia menerima kotak yang disodorkan oleh Madam.
“Bukalah!”
“Tapi… Tapi, Madam…”
“Udah… Buka aja!”
Piscessa menurut. Kedua tangannya gemetar membuat kotak itu hampir saja terjatuh. Dia membuka tutupnya. Belum terjadi apa-apa. Langit masih gelap. Dia tertegun saat cahaya senter mengenai sebentuk benda. Sepasang sepatu berada dalam kotak itu. Madam memberikan kode pada Piscessa untuk mengeluarkannya. Sekarang, sepasang sepatu itu berada di tangannya. Bukan high heels atau flat shoes. Ini berbeda. Bukan sepatu biasa. Sepasang sepatu flat dengan tali yang panjang. Piscessa mengenalinya sebagai sepatu zaman Romawi.
“Pakailah!”
“Maksud, Madam?”
“Iya. Dipakai.”
“Tapi saya enggak tahu cara makainya, Madam.”
“Sini! Biar Madam pakaiin.”
Dengan susah payah, Madam berusaha memakaikan sepatu itu ke kaki Piscessa. Orang-orang tak ada yang berani berkomentar. Akhirnya, sepasang sepatu itu berpindah ke kaki Piscessa. Pas.
Sesaat kemudian, langit terbelah. Gulita musnah. Cahaya matahari menembus batang pohon cemara. Semua bernapas lega, kecuali Piscessa yang masih bertanya-tanya.
“Ada apa?”
~ mo ~
Wah! Terima kasih, Bang. :’D
keereeeeen, ceritanya ngalirrr