ARION: Tombol Pengingat

Pohon cemara itu tidak seharusnya tumbang. Bukan waktunya. Tapi, apa pun bisa saja terjadi bukan? Bahkan, pada saat yang tidak seharusnya sekalipun. Suara yang keras berhasil membangunkan seorang lelaki yang tidur meringkuk. Arion. Memang hawa dingin tak terelakkan. Penghangat ruangan kualitas terbaik pun sepertinya tidak mampu mengusir hawa dingin yang menusuk tulang.
Arion bergegas menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama baginya untuk mandi. Setelah selesai membungkus tubuh atletisnya dengan pakaian kerja, dia pun berangkat. Dia mendadak ingat dengan janjinya pada seseorang hari ini.
“Masih ada waktu.”
Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri meminum air perasan jeruk nipis hangat. Rutinitas yang sudah dilakukannya lebih dari sebulan. Tak lupa, dia juga memasukkan beberapa potong buah yang disimpannya dalam kulkas ke dalam tas kerjanya.
Setelah memastikan rumahnya terkunci, Arion melangkah melintas halaman rumah. Di trotoar, dia duduk di atas pohon cemara yang tumbang dan mengenai pagar rumahnya menunggu kereta kuda lewat. Di wilayahnya, Heaven Island, memang tidak diperbolehkan penggunaan kendaraan bermotor. Satu-satunya alat transportasi yang ada adalah kereta kuda dan sepeda.
Suara derap kuda terdengar mendekat. Seorang sais menyapanya sopan.
“Tumben cepet, Mas. Biasanya saya yang nungguin.”
Keduanya tertawa. Arion segera naik kereta yang ditarik seekor kuda itu. Roda kereta pun berputar setelah sais memecut kuda berwarna coklat.
Di depan sebuah toko sepatu, sais menghentikan keretanya. Arion turun dan menyerahkan selembar uang kertas. Kereta kuda pun menjauh berbaur dengan keramaian kota. Keramaian yang tenang. Hanya derap kuda dan suara bel sepeda.
Dengan langkah gontai, Arion menuju pintu masuk toko sepatu miliknya. Dua orang pegawainya sudah menunggu di depan pintu.
“Pagi, Pak.”
“Pagi. Sori telat lagi.”
Senyuman mereka beradu. Arion pun masuk disusul dua orang pegawainya. Dengan sigap keduanya membersihkan toko. Sementara Arion menyalakan komputer di meja kasir. Tak lupa dia mengecek catatan dalam agendanya.
Pukul 10.00: meeting dengan Mr. Alberto di Cafe Sunny.
“Setengah jam lagi.”
Arion menyiapkan dokumen sebagai bahan pertenuan dengan Mr. Alberto. Tak lupa dia memasukkan katalog produk yang dijualnya. Ada harapan untuk tidak mengecewakan.
Baru saja Arion hendak memasukkan katalog terbaru, salah seorang pegawainya terdengar berteriak.
“Ada sepasang sepatu yang hilang, Pak!”
Arion tertegun. Untuk pertama kalinya tokonya kehilangan barang.
“Serius?”
“Iya, Pak. Saya serius.”
Arion beranjak dari duduknya. Posisinya pun berpindah ke samping pegawainya.
“Sepatu yang mana yang hilang?”
“Sepatu terbaik yang kita punya, Pak.”
Kelopak mata Arion membesar menatap sudut toko yang kosong. Di sana biasanya sepasang sepatu itu menunggu tuannya yang baru. Dan, kali ini benar adanya. Sepatu itu telah memilih tuannya yang entah siapa.
Wajah bersih Arion mendadak pucat. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan hal ini pada Mr. Alberto. Arion menggeser posisi berdirinya ke arah meja kasir.
“Maaf, Pak. Seharusnya semalam kami menginap di sini seperti biasanya.”
“Udah. Enggak papa. Lupain aja. Nanti biar aku yang jelasin ke Mister Alberto. Kalian tenang aja dan lanjutlah bekerja.”
Kedua pegawai yang bersaudara kandung itu menunduk dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Tangan kokoh Arion mengaktifkan laptonya setelah duduk di kursi kasir. Tak lama laptopnya menyala. Dia mulai mengarahkan kursor ke sebuah aplikasi. Ujung jari Arion tepat berada di atas tombol yang terpampang di layar virtual. Setelah dirasa posisinya tepat, dia menekan tombol itu dan memejamkan mata.
Tubuh Arion terbawa ke suatu masa. Dia sedang duduk berhadapan dengan orang tua berjubah putih.
“Pada waktunya nanti, sepatu itu akan memilih tuannya sendiri.”
“Iya, Pak. Saya paham kalau saya hanyalah perantara.”
“Bagus kamu memahaminya.”
Perlahan orang tua berjubah putih itu menghilang. Ingatan Arion tertuju pada selembar foto. Seorang perempuan berambut pendek tersenyum ke arahnya. Bayangan perempuan itu tercetak jelas di titik fokus penglihatannya. Hanya saja dia tidak mengenalnya. Arion melepaskan ujung jarinya dari tombol di layar virtual. Seketika ingatannya tentang perempuan itu menghilang.
“Siapa dia?”
~ mo ~