“Lepaskan! Lepaskan aku! Kekasihku bukan kamu!”
“Ah! Kau tidak perlu meronta, Sayang. Aku hanya ingin memegang dadamu yang telanjang. Sedikit saja. Setelahnya aku tidak akan melakukan apa-apa. Boleh, ya?”
“Kurang ajar! Dasar gila! Aarrrggghhh!”
Tes. Tes. Tes.
Warna merah mengalir dari tengah dadamu. Pun dadaku. Zat berbau anyir itu perlahan turun hingga bermuara di ujung kakimu.
“Aku mencintaimu. Dari dulu. Tidakkah kau tahu, Kekasihku?”
“Tapi, aku tidak mungkin mencintaimu! Tidak akan pernah bisa! Aku tidak seperti kamu, Raymond! Cih!”
Aku mengusap wajah yang dipenuhi ludahmu.
“Teruslah meronta! Percuma! Kau tahu di sekitar sini tidak ada siapa-siapa! Hanya burung hutan yang sedang menunggumu,” kataku mencekik lehermu.
Hingga satu jam kemudian…
Di bawah kakimu yang terkulai layu, tergantung, tertinggal jarum jahit dengan ekor panjang benang merah. Juga sebilah pisau dapur berlumur darah. Satu per satu bergantian tugas. Perlahan namun pasti, sepotong hati, hatimu, melesak ke rongga dadaku. Memberi detak pada cinta diam-diam yang kupendam selama ini, padamu, lelaki bermata sayu.
~ mo ~
aduh, kok ngilu ya…
Iya, Nin. Karena temanya harus gitu.
errr~
darah
Menyesuaikan tema, Mak. Errr…
Serem >.<