Dua tahun berlalu. Adikku sudah cukup besar untuk menentukan hidupnya sendiri dengan memilih berpisah dari keluargaku. Sementara kehidupan rumah tangga Papa dan Mama bukan lagi surga kecil bagiku. Semua telah berubah. Pun denganku. Banyak hal dalam diriku kurasakan berbeda. Tingkah laku, cara berpikir, dan bahkan tentang perasaan cinta. Cinta yang datang tiba-tiba sedikit demi sedikit menurunkan kemampuan akal sehatku untuk berpikir. Jangankan berpikir, sekadar mengingat orang-orang sekelilingku pun, aku mengalami kesulitan. Satu-satunya orang yang kuingat saat ini adalah Papa.
Aku sendiri sebenarnya juga bingung dengan keadaan ini. Papa. Iya. Papa. Entah mengapa tentang Papa tak ada satu hal pun yang bisa aku lupakan. Aneh, kan? Iya. Seperti itulah diriku saat ini. Aneh menurut orang yang tidak aneh. Padahal, sejatinya bagiku justru mereka yang aneh. Bersikap palsu dalam kenyataan untuk mengakui perasaan terdalamnya. Dalam kondisiku yang sekarang setidaknya aku bisa lebih jujur dengan diriku. Tentang cinta yang bagi sebagian orang menganggapnya tabu.
Dan, cinta itu kini telah berhasil membunuh sebagian jiwaku. Bukan cinta yang salah, tapi aku yang terus-menerus membiarkan perasaan itu berkembang tanpa kendali. Bahkan, sampai menerobos batas kewajaran. Salah? Aku rasa tidak. Bagiku cinta harus diperjuangkan semampunya. Meskipun, pada akhirnya rasa ini justru menyakitiku, tapi aku sudah tidak peduli. Ketidakseimbangan koordinasi syaraf adalah penyebabnya. Penolakan oleh orang sekitar, terutama Mama, membuatku semakin jauh tenggelam dalam kesedihan. Tunggu! Mama? Apakah aku punya Mama? Sebentar. Aku butuh waktu lama untuk mengingat tentang sosok Mama.
Semakin berusaha mengingatnya, sekujur tubuhku terasa semakin dingin. Seperti saat ini. Dingin yang begitu menusuk tulang membuat tubuhku terasa kaku. Sekuat apa pun aku berusaha, yang kutemukan hanya bayangan Mama sedang tertidur di sebuah ruangan. Itu saja. Mengingatnya membuat syaraf-syaraf sudut bibirku tertarik membentuk sebuah lengkungan dan membuat bola mata bergerak-gerak dalam kegelapan kelopak yang menutup.
***
“Krak!”
Lamat-lamat aku mendengar suara pintu dibuka. Jari-jari tanganku bergerak-gerak. Dingin perlahan menjalar merangsang syaraf mataku untuk sedikit terbuka. Samar. Dengan sedikit mengerjap, bayangan benda perlahan mulai fokus. Benda-benda terlihat begitu samar. Semakin aku berusaha keras untuk melihat, kepalaku terasa semakin cepat berputar. Beruntung ikatan di kedua pergelangan tangan cukup membantuku untuk tetap berdiri, tanpa tenaga sama sekali. Satu-satunya kekuatan adalah harapan, bahwa aku masih hidup. Telapak kakiku tidak bisa menapak sempurna di lantai yang licin. Bahkan kepalaku terkulai seperti membawa beban berat dengan rambut menutupi sebagian wajah.
Kesadaranku tidak serta merta pulih. Butuh waktu agak lama, hingga aku benar-benar sadar kalau ini bukanlah mimpi. Setelah berhasil menyatukan kerja seluruh sistem organ tubuhku, aku bisa mendongakkan kepala. Retina mataku menangkap bayangan benda-benda yang tampak abu-abu. Semuanya nyaris sama. Kesadaranku agak pulih, saat lensa mataku melihat sesosok perempuan menggunakan pakaian terusan berwarna hijau muda. Otakku menerjemahkan bayangan itu sebagai aku. Iya. Aku. Tunggu! Kenapa aku bisa melihat bayanganku sendiri? Perlahan susunan sistem syaraf otak mulai melakukan tugasnya, menganalisa dan meneruskan pada organ mata, bahwa ini adalah dinding kaca. Dinding kaca? Di mana aku?
“Kamu sudah bangun, Cess?”
Sanggurdi telingaku menangkap impuls suara yang belum terdengar sempurna. Butuh waktu agak lama untuk menemukan dan mengenali sumber suara. Syaraf sensorikku sepertinya belum sinkron dengan sumber rangsang yang ada. Semua masih samar. Indera pendengaran, penglihatan, dan lainnya belum mampu mengantarkan pesan ke otak secara benar. Sampai akhirnya, waktu itu tiba. Susunan syaraf pusat dan tepiku mulai bekerja.
Di balik dinding kaca, seorang perempuan berkaca mata tebal dengan rambut hitam disanggul, tampak mondar-mandir di luar dinding kaca. Dia membelakangiku dengan terusan serupa yang kupakai. Siapa dia?
“Syukur kalau kamu sudah bangun.”
Rangsang suara kembali menuju otakku.
“Mama?”
Suara langkah dari seorang perempuan paruh baya yang kupanggil sebagai Mama perlahan mendekat. Langkahnya terhenti pada sebuah mesin tepat di depan tempatku berdiri. Tangannya menyentuh sebuah tombol berwarna merah. Pintu dinding kaca pun terbuka.
Kurasakan kedua pergelangan tanganku sudah bebas. Tak ada lagi ikatan. Perlahan Mama memapahku ke sebuah tempat tidur.
“Berbaringlah.”
“Iya, Ma.”
Mama meninggalkanku menuju panel di sebelah kanan tempat tidur. Tak sekalipun mataku terlepas darinya. Dengan cekatan Mama menekan tombol. Seketika dari bagian bawahnya keluar rak yang mengeluarkan asap dingin. Mama mengambil salah satunya yang berwarna biru. Cairan dalam tabung reaksi itu berpindah ke jarum suntik yang dipegangnya.
“Kamu siap, Cess?”
“Siap, Ma,” jawabku yakin.
Mama telah memberitahukan persentase keberhasilan penelitiannya kali ini. Aku pun tahu risiko yang mungkin bisa saja terjadi padaku. Tapi, demi Mama, aku rela melakukannya. Sebenarnya bukan demi Mama saja, tapi juga diriku. Ada banyak kebenaran yang disembunyikan orang-orang di sekitarku, terutama Papa.
Formula yang disuntikkan Mama sepertinya mulai bekerja. Sel-sel darahku mulai kehilangan kendali. Termasuk sistem peredaran darah menuju otak. Aku terpejam menahan denyut kepala yang tak tertahankan dengan tubuh kadang berguncang.
“Ahh! Sakit, Ma! Sakit!”
Semenit, dua menit, dan lima menit pun berlalu. Aku tak lagi meracau. Kulihat Mama berdiri di sampingku, tersenyum memegang tanganku.
“Nah! Beres!”
“Apanya yang beres, Ma?”
Mama tampak terkejut dengan pertanyaanku. Sejenak kemudian, rasa terkejutnya menjadi sebuah senyuman.
“Berhasil. Bahkan, Mama tak perlu mengeluarkan kata-kata dalam pikiran, kamu udah bisa ngebacanya,” kata Mama yang membuatku semakin bingung dengan banyak kode yang bertebaran dalam pikiran Mama.
***
Di ruang tengah, Mama mengeluarkan instruksi-instruksi, hanya lewat pikiran. Aku pun mampu menerjemahkannya sebagai perintah yang harus diikuti.
“Iya, Ma.”
“Sekarang berangkatlah. Sebelum Papamu pulang dari Singapura.”
Aku mengangguk dan berpamitan untuk berangkat kuliah. Di kampus, aku langsung menuju ruang mading. Aku tahu, seseorang yang kucari ada di sana.
“Hei!”
Dugaanku tepat. Dia memang ada di sana. Seorang gadis seusiaku dengan menggunakan baju flanel, celana jeans dan sepatu sport menuju ke arahku. Cara berpakaian yang sama sekali berbeda dengan gadis seusianya. Tapi, justru itu menunjukkan jiwa petualangnya.
“Hallo!”
Aku membalas sapanya dan langsung memeluknya. Seminggu tak ada komunikasi benar-benar membuatku rindu pada sahabatku yang satu ini, Ariana. Meskipun, beda jurusan, tapi kedekatanku dengannya benar-benar terjalin sempurna. Perlahan kulepaskan pelukan saat menyadari banyak sekali pertanyaan dalam pikiran Ariana tentangku perihal aku yang menghilang.
“Oke. Cukup, Ariana.”
“Maksud elo apa, Cess?”
“Oh… Eh… Enggak papa, kok. Eh… Kantin yuk! Gue traktir, deh.”
“Eh… tumben. Emang hari ini elo ulang tahun? Tapi, sekarang, kan, tanggal 27 Maret? Ulang tahun elo bukannya tanggal 2 Maret, Cess?”
“Bawel, ah!”
Aku gandeng tangannya menuju kantin kampus. Banyak hal yang ingin aku korek dari Ariana. Tentang segala hal yang diketahuinya terkait hubungan kakaknya, Ratri, dengan papaku.
Di kantin, aku mengajak Ariana duduk di pojok yang sepi. Aku yakin di sini adalah tempat yang aman.
“Eh… Elo kenapa tumben kusut gitu, Ar? Ada masalah apa?”
“Jadi gini, Cess.”
Ariana tampak menghela napas. Sepertinya ada beban dalam hatinya yang ingin dikeluarkan. Dan, gilanya, aku justru menghilang saat dia membutuhkan.
“Gimana? Gimana?”
“Gini, Cess. Saat libur dua minggu kemarin, gue ada rencana jalan-jalan.”
“Terus?”
“Tapi, ya gitu. Elo tau, kan, gimana kakak gue?”
“Kakak elo yang hobi jalan sama om-om itu?”
“Heh! Kurang ajar elo! Gitu-gitu dia kakak gue tahu!”
Suara Ariana tiba-tiba meninggi. Hal ini membuatku sedikit terkejut.
“Maaf, deh,” kataku merajuk.
Ariana mendadak terdiam. Aku tahu dia tersinggung dengan kata-kataku. Diletakkannya sendok bakso di mangkoknya dengan agak kasar. Bunyi yang tercipta membuatku tersentak.
“Ar… Elo mau, kan, maafin gue?”
“Sebenernya gue enggak susah maafin orang. Untung aja elo sahabat gue. Oke, Cess. Lupain. Omongan elo sebenernya ada benernya juga, si. Dan, elo tahu, gara-gara itu rencana jalan-jalan gue gagal total. Damn!”
Sekarang waktunya. Kugeser dudukku lebih dekat lagi dengan Ariana. Dengan sekali tepukan pelan di punggungnya, Ariana menceritakan segala hal tentang Ratri, sekretaris pribadi Papa. Dari ceritanya, aku tahu, Ratri sama sekali tidak ada keinginan untuk menggoda Papa. Hanya saja, kebetulan dia diajak Papa pergi ke Singapura dalam rangka tugas. Karenanya Ariana dan saudara kembarnya tidak bisa ke mana-mana karena harus menjaga ayahnya yang sakit keras.
“Maafin gue, ya, Ar. Semoga bokap elo cepet sembuh.”
“Thanks, Cess.”
Sekali tepuk di punggungnya, Ariana kembali ke keadaan semula.
***
Sepulang kuliah, aku menemui Mama di laboratoriumnya. Mama menyuruhku berbaring untuk mengecek kondisiku. Aku pun melaporkan tentang segala informasi yang kuperoleh. Tak ada sedikit pun yang terlewat. Aku bangun dengan Mama duduk di sampingku. Iseng kutepukkan tanganku ke punggung Mama.
“Apa rencana Mama selanjutnya?”
“Entahlah, Cess. Mama hanya ingin pergi jauh dari Papa. Mama enggak sanggup kalau terus-menerus kayak gini. Banyak hal yang berubah pada Papa sejak beberapa bulan yang lalu.”
“Mama mau ninggalin Papa?”
“Kayaknya, iya.”
“Sendirian?”
“Enggak. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut Mama, asal kamu bisa menerima kehadiran asisten baru Mama.”
“Asisten? Kok Mama enggak pernah cerita, si? Siapa dia?”
“Dia masih baru. Selain sebagai asisten, dia juga sangat pinter bikin Mama bahagia. Di mana pun dan kapan pun. Enggak kayak Papa kamu.”
Aku semakin penasaran dengan cerita Mama. Aku sama sekali tidak menyangka, ternyata selain aku, Mama juga menyimpan rahasia. Secara saksama, aku mendengarkan cerita Mama. Sampai akhirnya, sebuah nama meluncur begitu saja dari bibir Mama, Ronald.
Ronald? Iya. Ronald adalah alasan utamaku mendukung penuh Mama untuk mengungkap perselingkuhan yang dilakukan Papa. Aku tidak ingin Mama mengalami hal yang sama denganku, menjadi korban perselingkuhan. Tapi, kenyataannya, ternyata justru Mama sendiri juga berselingkuh — dengan kekasihku.
Amarah pun akhirnya memuncak. Aku merasa selama ini Mama telah memanfaatkan aku demi tujuan pribadinya. Sebuah keinginan untuk mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya. Bersamaan dengan itu, ada pesan masuk dari Papa yang mengabarkan kepulangannya hari ini, sekaligus memberikan sebuah instruksi.
Aku turun dari tempat tidur membiarkan Mama bercerita tanpa kontrol tentang kedekatannya dengan Ronald. Kedekatan yang sudah seperti suami istri. Secepat kilat kutekan tombol pada panel di samping tempat tidur. Rak berisi cairan terbuka. Kucari botol bertuliskan ‘racun’. Setelah menemukannya, cairan itu pun berpindah ke jarum suntik di tangan kananku. Sekali tusuk, tubuh Mama terkulai lemas di tempat tidur dengan kaki menggantung. Sejenak kemudian, tubuhnya mengejang dengan mulut mengeluarkan banyak busa. Mama terkapar.
Prok! Prok! Prok!
Suara tepuk tangan terdengar di pintu laboratorium. Seorang lelaki gagah muncul. Aku menyambutnya dengan pelukan.
“Gimana, Pa? Aku berhasil, kan?”
“Iya, Sayang. Dengan begitu enggak akan ada lagi yang mengganggu hubungan kita berdua. Kita akan bisa hidup bahagia selamanya, Sayang. Kamu mau, kan?”
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaan Papa. Jawaban yang menjadi rahasia selamanya, termasuk menyembunyikannya dari Mama dengan caraku sendiri. Ketakutan-ketakutan yang akhirnya terus-menerus merajam setiap syaraf sadarku.
***
Dingin di sekujur tubuhku. Bola mata bergerak-gerak dalam kegelapan kelopak yang sedikit demi sedikit terbuka.
“Kamu udah bangun, Cess?”
“Kamu si… siapa?”
“Aku mamamu, Cessa. Kamu enggak inget?”
“Ma… Ma?”
“Iya. Ini Mama.”
Aku terdiam. Tak percaya. Bagaimana mungkin Mama tiba-tiba berada di sini. Bukankah aku telah membunuhnya di laboratorium?
“Enggaakkk! Enggak mungkin!”
Kulihat matanya sembap menatap ke arahku. Tangannya halus membelai rambutku yang kusut. Sesekali dia meraba pergelangan tanganku yang terikat ke ranjang. Aku tahu, aku berada di tempat yang berbeda. Ini bukan di laboratorium. Aku sedikit melotot menatap seorang pria yang berdiri terdiam di sampingnya. Terlebih saat ada seorang pria lagi memakai jubah putih memasuki ruangan.
“Gimana kondisi anak saya, Dok?”
“Setelah hampir seminggu dia seperti ini, saya butuh waktu untuk menganalisa kondisinya lagi.”
“Ada kemungkinan dia bisa sembuh, kan, Dok?”
“Kemungkinan sembuh pasti ada, Pak. Saya akan berusaha. Sementara Bapak dan Ibu, jangan lupa berdoa.”
“Iya, Dok.”
“Oya, maaf, Pak, Bu. Jam besuk sudah habis. Saya harus memeriksa kondisi kejiwaan anak Bapak dan Ibu lagi. Tolong tinggalkan ruang perawatan ini.”
“Iya, Dok. Terima kasih.”
Aku mendengar percakapan yang sebenarnya tak kumengerti. Ruang perawatan? Kenapa aku bisa di sini? Kondisi kejiwaan? Apakah aku sakit jiwa?
Aku berteriak saat kulihat seorang perempuan yang mengaku sebagai mamaku tertunduk meninggalkan ruangan.
“Tungguuu! Kamu bukan mamaku. Mamaku sudah mati!”
Dia tidak memedulikan teriakan histerisku. Aku terus meronta berusaha melepaskan diri dari ikatan di tanganku. Sementara perempuan itu meninggalkan ruangan, sang pria justru berusaha mendekatiku.
“Kamu yang tabah. Mamamu ada tawaran penelitian ke Singapura bersama Ronald sebagai asistennya. Mereka akan menetap di sana. Mungkin selamanya. Papa yang akan menjagamu.”
Dia pun lalu menghilang mengikuti si perempuan. Perlahan seorang lelaki berjubah putih menusukku. Setelahnya, syaraf sadarku perlahan kembali tidak berfungsi, lenyap bersama semua imajinasi yang berada tipis di samping kenyataan hidup yang kujalani selama ini. Senyap.
– mo –