Dear Aretha,
Sebelum aku melanjutkan suratku ini, aku pengin mengucapkan sebuah kata, yang tidak setiap orang bisa mengucapkannya, maaf. Pasti kamu sudah tahu apa maksud aku mengucapkan kata itu. Iya… Tentang kekhilafanku yang tak membalas suratmu kemarin. Bukan sengaja, tapi memang begitulah adanya. Aku terlalu asyik dengan sesuatu yang baru, lalu begitu saja melupakan tentang surat “lama” itu. Wajar bukan? Mungkin bukan aku saja yang seperti. Bahkan, anak kecil pun seperti itu. Tergesa-gesa meninggalkan yang lama saat mainan baru belum juga dibelikan.
Sekali lagi aku minta maaf, aku khilaf. Sebenarnya aku yakin, bahwa tanpa meminta maaf sekalipun, kamu akan memaafkan aku. Kenapa? Karena dalam sebuah persahabatan tidak mengenal kata “maaf”. Kamu tahu kenapa, Aretha? Sebab persahabatan kita adalah saling memaklumi dan mengingatkan setiap kesalahan. Setidaknya dengan begitu, persahabatan kita tetaplah sebuah biduk yang takkan pernah teggelam oleh lautan dendam.
Aretha,
Membaca suratmu yang lalu, membuatku merasa tidak berarti. Berapa banyak terima kasih kamu ucapkan padaku. Hanya untuk segala sesuatu yang memang seharusnya kulakukan demi persahabatan ini. Jangan terlalu banyak berterima kasih, Aretha. Aku takut justru itu akan membebaniku. Kenapa? Sebab setiap ucapan terima kasih membutuhkan konsekuensi. Dan, sepertinya aku bukanlah seseorang yang bisa konsekuen dalam menjalankan hal-hal yang terselip dalam setiap terima kasihmu.
Bukan… Bukan itu yang aku inginkan, Aretha. Aku hanya melakukan apa yang memang harus kulakukan demi persahabatan. Jadi, kamu tidak perlu berterima kasih. Kalau mau berterima kasih, berterima kasihlah pada dirimu sendiri, pada hatimu. Sebab hatimu yang telah membuka jalan bagi persahabatan ini. Hatimu juga yang akan menjaganya bersama hatiku.
Aretha,
Aku baru ingat kalau sekarang malam Minggu. Entah kamu menyebutnya Sabtu malam atau malam Minggu, bagiku tidak masalah. Sebab bukan pada masalah waktu, tetapi bagaimana kita memaknai waktu itu menjadi sesuatu yang berarti. Bukan begitu?
Oya… Apakah kamu sendirian (lagi) malam ini? Tentu tidak. Ada doa yang kulafazkan diam-diam untuk menemani malammu. Bukan malam ini saja, tetapi kemarin dan malam-malam selanjutnya. Kamu tahu kenapa? Bagiku mendoakanmu adalah caraku untuk membunuh kesepianku. Lewat doa untukmu, terselip harapan juga untukku. Hingga pada akhirnya, aku dan kamu akan saling mendoakan dalam kebaikan. Kamu mau, kan, Aretha?
Aretha,
Mungkin sampai di sini dulu suratku. Semoga kamu tak pernah bosan membacanya. Doakan malam ini aku bisa menyelesaikan tulisan yang harus aku selesaikan. Pun, doaku semoga malam ini kamu bisa merayakan malam bahagiamu.
Selamat berbuka puasa, Kamu.
Salam hangat,
ARION
*Balasan surat dari @I_am_BOA di sini.