1| Tuntutan Menentukan Hati
“Pokoknya aku!”
“Tidak bisa! Harus aku!”
Suara pertengkaran terdengar sangat jelas. Bahkan mengalahkan debur ombak yang ada di depan Biru. Tubuhnya setelah menempuh perjalanan hampir dua jam dari Lombok untuk mencapai kawasan Nusa Dua ini cukup terasa lelah. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga hatinya. Ini adalah keputusannya bersama dua orang teman kantornya untuk menerima tawaran menyepi, menenangkan kecamuk dalam hati. Dan, mereka sepakat untuk bertemu di sini, The Bay Bali.
Mereka bertiga tidak datang bersamaan. Pun tempat menginapnya. Mereka bertiga menentukan jalannya sendiri menuju tempat ini. Masing-masing butuh waktu untuk bisa memahami debar hati yang bergejolak saat sama-sama mencintai. Cinta yang tumbuh dari sebuah kebersamaan selama hampir tiga tahun di tempat kerja yang sama. Memang awalnya dia tidak begitu saja tergoda hatinya. Hingga akhirnya, pihak keluarga setengah memaksa dirinya untuk segera menentukan pendamping hidupnya. Di usianya yang sudah hampir tiga puluh tahun, adalah waktu yang tepat untuk segera menentukan pilihan. Hanya saja, dia bukanlah tipe penebar cinta. Dia lebih menikmati kesendiriannya, larut dalam pekerjaan dan menekuni hobinya, traveling ke berbagai kota dan negara.
Byur!
Lelaki berhidung mancung itu membiarkan tubuhnya basah dicumbu ombak. Setelah puas, dia pun memilih merebahkan tubuhnya di kursi panjang di bawah payung putih. Tatapan matanya menjelajah sepanjang pantai berpasir putih itu. Berpasang-pasang orang tengah menikmati senja yang sama, berdua. Beberapa di antaranya bergerombol dengan kelompoknya. Tampak olehnya seorang lelaki muda sedang memutar lensa kamera, tak jauh darinya. Dia mengenali lelaki itu sebagai Surya. Dia yakin, Surya baru saja tiba. Melihat Surya asyik memindahkan objek keindahan ke dalam lensa kameranya, dia membiarkannya. Dia tahu, sahabatnya itu sedang tidak mau diganggu. Pun dirinya.
Dalam rebahnya, mendadak lelaki dengan potongan rambut pendek rapi itu menemukan bayangan ibunya, orang tua satu-satunya yang tak lagi muda. Hingga ingatan akhirnya mengantarkannya pada suatu malam saat mereka bersama, menghabiskan waktu menikmati jagung bakar di wilayah Senggigi. Tak jauh dari rumahnya.
“Ru… Apa lagi yang kamu tunggu?”
Biru meletakkan tongkol jagung yang telah dihabiskannya. Matanya lekat ke arah perempuan yang rambutnya sudah tidak hitam lagi itu.
“Doakan saja, Ma. Nanti pada waktunya Biru juga akan menikah dengan orang yang tepat.”
“Mama tidak pernah lelah mendoakan kebahagiaanmu, Ru. Tapi apalah arti doa, jika kamu sendiri masih enggan untuk berusaha menjemput bahagia itu.”
Deg!
Kata-kata mamanya membuatnya agak tersentak. Debar dirasakan begitu tak beraturan. Ini untuk pertama kalinya mamanya menanyakan perihal kebahagiaan sebuah pernikahan. Dia tidak menyalahkan mamanya. Bagaimanapun juga, dia adalah anak satu-satunya. Bagi mamanya, kebahagiaannya adalah bisa melihat dia bahagia.
Jejak tapak kaki lelaki pemilik alis tebal itu tertinggal di atas hamparan pasir putih di bawah langit yang merona jingga. Dia pun perlahan menjauh dari kursi panjang di pinggir pantai. Sepi.
Setelah mempersiapkan diri di hotel, dia melangkahkan kaki kembali menuju The Bay Bali. Dari rekomendasi mamanya yang pernah menghadiri pernikahan koleganya di sini, ada keyakinan tumbuh, bahwa dia tidak akan salah memilih tempat untuk makan malam. Pilihannya jatuh pada menu kesukaannya, bebek goreng crispy. Benar saja. Tanpa ragu dia menjejak kompleks The Bay Bali dan langsung menuju ke restoran Bebek Bengil. Dengan langkah pasti dia menjejakkan kaki di jalan beton di kompleks itu. Dia terus melewat beberapa obor yang menyala di sepanjang jalan setapak yang dilewatinya. Nyala yang perlahan melahirkan percik-percik harapan tentang kebahagiaan.
Tak lama dia tiba di sebuah gazebo kayu bercat coklat. Di salah satu bagiannya, dia duduk bersandar pada bantal besar berwarna biru. Di bangunan persegi beratap ilalang itu dia duduk sendiri. Ada rasa berbeda ketika dia melihat sekumpulan orang dalam satu gazebo menikmati sajian. Jauh berbeda dengannya. Sendiri dalam sepi. Hanya ditemani angin malam yang menyusup lewat celah-celah tirai bambu yang tergerai di bagian belakang gazebo.
“Silakan, Bli.”
Seorang pelayan restoran berpakaian seragam lengkap dengan udeng, ikat kepala khas Bali, menyodorkan lembaran daftar menu. Dengan cepat, Biru memilih menu kesukaannya. Setelahnya, dia mengempaskan tubuh begitu saja ke dalam kesendirian. Kali ini ditemani botol kecap dan saus di meja persegi pendek berwarna coklat muda. Ujung jarinya memainkan botol-botol kecil itu untuk mengusir bayangan tentang esok hari. Waktu yang disepakati untuk menyelesaikan elegi tiga hati.
Akhirnya, sepotong bebek goreng panas telah tersaji lengkap dengan sambal matahnya. Rasa lapar yang telah terbit semakin menjadi. Dia menggeser makanan itu hingga mendekat ke arahnya dan mulai melahap daging bebek yang lembut dan crispy itu. Hingga akhirnya, bebek itu telah berpindah tempat seluruhnya ke perutnya yang rata. Tak ada yang tersisa. Dia lalu meminggirkan piring kosong dan meraih minuman rasa buah yang dikenal dengan nama hanoman. Dia sempat termenung sejenak ketika tangan kanannya memegang pengaduk dari kayu pohon kelapa. Dia membatalkan niat untuk mengaduknya dan justru asyik memperhatikan tiga warna berbeda dalam gelas besar beningnya.
Perlahan dia mengaduknya hingga terlarut menjadi satu.
Seharusnya, aku, Surya, dan Ayu juga bisa seperti ini. Larut dalam satu rasa yang sama. Tetapi, bagaimana mungkin?
Biru membatalkan niatnya untuk merasakan kesegaran hanoman. Ingatannya lebih dulu menghangatkan kelopak mata. Dua bayangan wajah tergambar jelas, bergantian. Surya dan Ayu.
2| Kembalinya Sebuah Hati
“Pokoknya aku!”
“Tidak bisa! Harus aku!”
Ini bukan tentang saat ini, tetapi kejadian sebulan lalu saat dia dan sahabatnya beradu mulut sepulang kantor. Tidak ada yang mau mengalah. Bukan tanpa alasan. Adegan demi adegan tergambar jelas di dalam ingatan Surya. Umpatan. Cacian. Sumpah serapah. Semua menjadi satu. Bergantian.
Di ujung senja yang telah menjelma tepi malam, dia melangkahkan kaki meninggalkan pantai landai yang mulai sepi itu. Hanya debur ombak menemani. Juga kamera yang tak pernah lepas dari lehernya dengan bantuan tali. Dia melangkah gontai dalam pikiran-pikiran yang sulit dia mengerti. Ada dua sisi berlawanan yang hendak dia satukan. Di satu sisi dia begitu menghargai sahabatnya, Biru. Sisi lain hatinya berseru, bahwa dia harus memperjuangkan cintanya pada Ayu. Rumit.
Langkah kaki pemilik rambut ikal itu semakin cepat di bawah temaram purnama malam saat kembali ke hotel. Segera setelahnya, dia menuju komplek The Bay Bali untuk makan malam. Pilihan jatuh pada restoran de Opera. Sebelum mencapai tempat itu, dia lebih dulu menyusuri sepanjang pantai. Tanpa disadarinya, sepasang mata mencuri pandang dari arah restoran Bebek Bengil. Surya terus melangkah pasti tanpa memedulikan apa yang tidak disadarinya itu. Dia menjejak butiran pasir dengan harapan bisa segera mengisi perutnya.
Setelah melewati deretan bangunan, dia memasuki sebuah pintu masuk bertuliskan de Opera. Tanpa ragu dia menjejakkan kaki di jalan setapak melewati kolam renang, tibalah di sebuah bangunan luas yang di dalamnya terdapat meja dan kursi yang diatur rapi. Di dalam ruangan luas mirip dengan tempat pertunjukan opera itu, dia memilih tempat duduk di bagian pojok ruangan. Sendirian. Temaram lampu menambah kesan romantis. Hanya saja itu tidak dirasakannya. Romantisme enggan menemani kesendiriannya. Beruntung, sesekali dia bersitatap dengan pelayan yang lalu-lalang. Setidaknya sebuah senyuman dari mereka adalah romantisme tersendiri baginya. Betapa senyum itu menguatkan hatinya yang sebenarnya kesepian.
Di restoran yang menyajikan beragam menu makanan itu, dia memutuskan memilih nasi goreng ala Thailand. Nasi goreng dengan kombinasi sayuran, telur, dan daging itu langsung disantapnya setelah disajikan. Tak lupa, pada santapan terakhir dia menghabiskan irisan tomat dan mentimun, sehingga piring keramik bundar warna putih itu benar-benar bersih. Setelah menghabiskan menu utama malam itu, dia memilih es krim sebagai penutup. Dengan sendok kecil di tangannya dia menatap lekat ke arah tumpukan krim berwarna putih di depannya. Dia sama sekali tidak terpengaruh oleh riuh pengunjung yang memadati restoran. Dunianya saat ini, telah larut dalam kenangan pada suatu hari di sebuah kedai es krim.
Awalnya hanyalah percakapan biasa. Tentang cerita cinta dua orang lelaki muda yang mencintai satu orang gadis yang sama. Atas inisiatifnya, mereka berdua meluangkan waktu mengabarkan rasa. Dia berusaha tidak mengimbangi Biru. Selalu seperti itu. Baginya, Biru adalah sahabat sekaligus keluarga satu-satunya. Banyak hal dia korbankan demi kebahagiaan Biru, kecuali satu, masalah hati.
“Kamu kenapa ngotot sekali, sih, Sur?!”
“Kamu tahu, Ru? Setelah lima tahun berusaha mengubur ingatan dengan Dewi, Ayu satu-satunya gadis yang bisa membuatku kembali jatuh cinta. Kamu tahu itu, kan?! Hah?! Hah?!”
Es krim yang mereka pesan semakin meleleh. Berbeda dengan hati Surya yang justru semakin mengeras untuk memperjuangkan perasaannya. Dia tetap tidak mau mengalah saat Biru meminta baik-baik agar dia menjauhi Ayu.
“Enak saja!”
“Kurang ajar kamu, Sur! Bukankah kamu tahu kalau aku yang lebih dulu mengungkapkan perasaan! Hah?! Hah?!”
“Tidak bisa seperti itu, dong! Kamu belum mendapatkan jawaban, bukan?”
“Terus kenapa memangnya?”
“Hahaha…. Itu artinya aku masih memiliki kesempatan yang sama.”
“Brengsek kamu, Sur!”
Sia-sia. Dia gagal menghindari Biru. Es krim di tangan Biru telah berpindah tempat. Dia pun akhirnya membersihkan baju kerjanya dari es krim yang dilemparkan Biru. Dia mematung setelah Biru meninggalkannya. Pertengkaran sebulan lalu masih terekam jelas dalam ingatannya. Pertengkaran dua hati yang tak berhenti di situ saja. Masih ada pertengkaran-pertengkaran lain setelahnya. Sungguh, selembut apa pun es krim yang dinikmatinya saat ini, tak pernah bisa menghapus ingatan tentang sikap kasar Biru padanya. Beruntung hal itu tidak menyisakan dendam di hatinya. Bagaimanapun juga, Biru telah banyak berjasa dalam hidupnya. Terutama Mama Biru yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri.
“Sur… Kamu baik-baik saja, kan?”
Kata-kata Mama Biru adalah penenang segala deru ombak permasalahan hatinya. Selalu seperti itu. Mama Biru selalu punya cara sendiri untuk mengubah gemuruh samudera keruh dalam hati menjadi kembali bening dan tenang.
“Iya, Bu.”
Seperti biasa, lelaki muda berkumis tipis itu menceritakan secara detail kejadian antara dia dengan Biru. Dan, seperti biasa pula, Mama Biru menjadi penengahnya.
“Kalian sendiri yang bisa menyelesaikannya. Ibu yang akan mengatur semua. Kalian bertiga butuh ruang dan waktu yang baru untuk menyelesaikan perkara hati kalian. Nanti Ibu menyusul.”
Sesak tiba-tiba dirasakannya. Dia pun bergegas meninggalkan es krim yang tidak jadi disentuhnya. Begitu saja. Dia melangkah gontai hendak menenangkan diri di tepi kolam renang, ketika sekilas tatap matanya menangkap bayang-bayang seorang gadis berambut panjang berjalan menuju ke restoran Bumbu Nusantara. Surya hanya bisa menelan ludah lalu perlahan kembali melangkah menikmati malam sendirian, menunggu esok hari saat segala tentang hati akan ditentukan.
3| Saatnya Memilih Hati
“Pokoknya aku!”
“Tidak bisa! Harus aku!”
Kata-kata yang sama masih lekat dalam ingatan Ayu. Dua orang lelaki yang selama ini menjadi pelindungnya di tempat kerja, justru bersitegang memperebutkan cintanya. Ingatan tentang kejadian yang disaksikannya langsung di depan mata sebulan lalu, menemani langkahnya menyusuri jalan masuk ke komplek The Bay Bali. Pertengkaran yang akhirnya membuat hubungan mereka bertiga di kantor renggang. Berkali-kali, ketiganya mendapat peringatan dari atasan mereka, Mama Biru. Tetapi, tetap saja tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan kinerja. Hingga akhirnya, Mama Biru memberikan mereka untuk menenangkan diri. Sama seperti halnya Biru dan Surya, dia pun akhirnya menuruti keputusan pimpinannya itu.
Dia melintas begitu saja saat bersitatap dengan Surya. Tak ada sapa. Bahkan sekadar senyum pun tiada tercipta. Mereka berdua seolah menjelma makhluk asing yang tak saling kenal. Hanya saja, debar tetaplah mendetakkan kedekatan sebuah hubungan. Perempuan berambut hitam lurus panjang itu terus mempercepat langkahnya demi melihat Surya tak berhenti menatapnya. Tubuh rampingnya yang dibalut dress terusan warna merah marun terus menyelinap di antara keriuhan pengunjung yang menghabiskan malam dengan menggelar pesta di tepi kolam renang.
Sejenak kemudian, dia menghentikan langkah, lalu menoleh. Tatapan matanya ke arah Surya terhalang tubuh-tubuh tinggi besar yang larut dalam percakapan dengan beberapa di antaranya. Surya telah menghilang dari tempatnya berdiri sebelumnya. Dia lalu mengembuskan napas untuk mengumpulkan kekuatan hati agar bisa terus melangkah. Hingga akhirnya dia telah tiba di tempat tujuannya, restoran Bumbu Nusantara. Sekelebat bayangan hinggap di matanya ketika dia menarik kursi kayu di area itu. Lelaki muda yang tubuhnya dibalut kaos polo coklat dan celana army melintas begitu saja di depannya. Sepertinya dia sengaja melakukan untuk mencari perhatian. Ayu bergeming. Dia yang mengenali sosok itu sebagai Biru tak juga menyapanya. Hening tercipta dalam keriuhan suara pengunjung di Bumbu Nusantara.
Dia menoleh pada Biru yang sesaat kemudian menghilang di ujung jalan setapak dari beton. Embusan napas kelegaan terdengar jelas di tempat Ayu melabuhkan rasa lapar. Dia mengangkat tangan ketika seorang pelayan berpakaian khas mendekati dan menyapanya.
“Nanti dulu, ya, Pak. Saya masih ingin menikmati suasana.”
Lelaki yang mengenakan baju hitam itu mengangguk, lalu meninggalkannya sendirian setelah menyodorkan buku menu.
Perempuan berbibir tipis dipoles lipstick merah muda itu tidak segera menyentuh daftar menu itu, tetapi justru mengembarakan hati pada suasana di sekitarnya. Tampak olehnya, empat orang perempuan berkulit putih tertawa lepas. Di tengah-tengah mereka berdiri pelayan yang baru saja menyapanya. Kelima orang itu tampak asyik memilah dan memilih bahan untuk dimasak.
Cinta seharusnya bisa seperti itu. Menghasilkan kenikmatan setelah dipilah dan dipilih.
Pandangan matanya terus menyapu ke hampir setiap penjuru. Di sudut lain, matanya tertuju pada sebuah grup musik yang sedang memainkan lagu. Lima orang lelaki berpakaian batik memainkan alat musik yang dipegangnya masing-masing. Sebuah lagu dangdut yang digubah menjadi keroncong mengalun dari bibir lelaki pemetik gitar kecil. Dia mengenali lagu itu. Liriknya begitu dalam tentang cintanya, Biru, dan Surya. Segitiga.
Merasa tertampar, dengan mata sipitnya, dia mengalihkan pandangan pada buku menu. Setelah yakin dengan pilihannya, dia menyerahkan pesanan pada lelaki berbaju hitam yang masih sibuk dengan masakannya.
“Saya pesan soto daging, ya, Pak.”
“Silakan dipilih sendiri bahannya, Mbak. Kalau mau, mbaknya boleh ikut masak.”
Lelaki murah senyum dengan dialek khas Bali itu menghentikan aktivitasnya dan mulai membantu Ayu memilih dan memilah bahan. Hingga akhirnya, semuanya telah siap untuk dinikmati.
“Gimana, Mbak? Enak, kan, kalau semua bahan bisa dipilih sendiri? Cinta juga seperti itu, Mbak. Hehe…”
Ayu hanya tertawa kecil mendengar perumpamaan yang dikatakan oleh pelayan itu. Dalam hati dia membenarkannya.
Ada benarnya juga. Nikmat bahagia salah satunya adalah saat bisa memilih cinta terbaik untuk diri-sendiri.
Ayu pun pamit meninggalkan pelayan itu lalu menikmati soto bertabur emping melinjo dengan lahap. Pelan tapi pasti, sesendok demi sesendok, kuah kental soto di atas meja kayu itu semakin berkurang dan habis. Kenikmatan di ujung syaraf indera pengecapnya membuatnya lupa, bahwa dia sedang menunggu waktu untuk menetapkan hati pada satu pilihan.
“Yu… Kamu adalah pemilik hatimu. Kamu sendiri yang tahu, tepat atau tidaknya pilihanmu. Tentang pilihan seharusnya melahirkan kebahagiaan. Paham?”
Deg!
Ayu menghentikan suapannya demi mengingat kata-kata Mama Biru. Dia tidak tahu apa yang harus dipahami dari pilihannya sendiri. Tidak ada gunanya juga dia paham, jika harus kehilangan salah satu alasan kebahagiaannya selama ini.
Bagaimana aku bisa bahagia sementara ada hati lain yang terluka?
Suapan terakhir kuah soto itu tidak diselesaikannya. Ingatan tentang Biru dan Surya telah lebih dulu menghilangkan selera makannya. Seandainya bisa memilih, dia akan memilih untuk bisa membelah diri. Satu bagian akan dia serahkan pada Biru, sementara bagian lainnya akan dia berikan seutuhnya pada Surya. Begitu keinginannya untuk menciptakan bahagia di antara ketiganya. Hanya saja, hal itu tidak mungkin dia lakukan.
Mungkin satu-satunya cara melahirkan kebahagiaan bertiga adalah dengan melepas ikhlas kedua-duanya. Mungkin.
4| Merayakan Kebahagiaan Hati
“Pokoknya aku!”
“Tidak bisa! Harus aku!”
Selanjutnya terdengar umpatan dan sumpah serapah. Mama Biru masih ingat betul tentang hal itu. Tidak ingin memperburuk keadaan, dia mengambil keputusan. Hari ini. Di sini, The Bay Bali. Bersamanya, ketiga hati akan diajarkan tentang arti bahagia. Dan, saat ini adalah momen paling tepat. Pagi ini, dia telah bergabung dengan lainnya di depan papan nama The Pirates Bay.
Jarum jam tangannya perlahan mendetik waktu. Tatapan matanya berkeliling di sepanjang hamparan pasir putih. Harap-harap cemas dia menunggu Biru, Surya, dan Ayu. Hingga akhirnya, Biru tiba terlebih dahulu. Tak lama Surya pun menyusul. Sedangkan Ayu menjadi orang terakhir yang datang. Mereka berempat telah siap dengan perlengkapannya masing-masing, sebuah wadah plastik berisi tukik yang siap dilepaskan ke habitatnya setelah ditangkar selama beberapa waktu.
Dalam riuh tawa bahagia, satu per satu peserta dari berbagai daerah itu melepaskan tukik yang dibawanya, bersama-sama. Membaur bahagia dengan yang lainnya
saat tukik-tukik berwarna hitam itu berenang bahagia menuju lautan lepas. Setelahnya, mereka membubarkan diri. Mama Biru pun akhirnya mengajak mereka untuk berteduh di depan papan nama The Pirates Bay.
“Gimana rasanya setelah melepas tukik-tukik itu ke lautan lepas?”
Dia mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaan sambil menatap ketiga wajah bergantian.
“Bahagia, Bu.” Surya menjawab sambil memainkan patahan ranting membentuk tulisan ‘bahagia’ di atas hamparan pasir putih dengan tekstur padat itu.
“Menurut kalian, gimana perasaan tukik-tukik yang kalian lepaskan?”
“Bahagia, Bu.” Kali ini giliran Ayu angkat bicara.
“Biru… Menurutmu , gimana perasaan orang tua tukik jika bertemu anaknya di laut sana?”
“Pasti bahagia, Ma,” jawab Biru
Untuk ketiga kalinya, senyuman tercetak jelas di wajah Mama Biru.
“Begitulah cinta seharusnya. Ikhlas melepas demi kebahagiaan yang lainnya. Tidak mudah memang, tetapi saya harap kalian bisa memahami arti bahagia itu untuk diri kalian sendiri dulu, bukan demi orang lain. Kalian bebas menentukan kebahagiaan seperti apa yang kalian inginkan. Tidak usah terburu-buru. Ingat. Selalu ada waktu bagi yang ingin menciptakan bahagianya sepanjang waktu,” kata Mama Biru sambil melihat ketiganya bergantian sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya, “nah! Tugas saya sudah selesai. Ayu… Dalam kasus ini, kamu memiliki kebebasan untuk memilih pelabuhan hatimu. Dan, kamu Biru sama Surya, kalian memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Ingat. Siapa pun pilihan Ayu, itu adalah kebahagiaan kalian juga. Paham?”
Mendengar kata-kata Mama Biru, ketiganya bersitatap lama. Kecanggungan akibat rasa yang ada telah mencair dengan sendirinya lewat senyuman, meninggalkan bahagia pada tiga hati yang sama-sama telah memahami, bahwa bahagia adalah perihal berbagi kebahagiaan dengan orang lain.
– mo –
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Hahaha…
Yang penting tetap semangat untuk menjalaninya. Insya Allah dimudahkan. 🙂
wah ceritanya keren bang.. pesannya dalem bgt, tapi susah dijalanin.. hhhaa…
Selamat atas kemenangannya yah ^^/
tapi sayang saya tidak menang XD
jika bersedia kunjungi blog saya http://bit.ly/1nFzczM