“Mau pesan, Pak.”
Aku sedang menyelesaikan pekerjaanku saat terdengar suara pelangganku. Tanpa menoleh, aku menyuruhnya menuliskan pesanan pada buku nota di atas meja. Sudah sebulan ini aku melakukannya sendiri. Biasanya ada anak atau istriku yang membantu, sekadar mencatat pesanan pelanggan. Tapi, mereka menghilang. Terakhir kali aku lihat mereka sedang di hutan mencari kayu bakar dan sampai sekarang belum pulang. Tak ada kabar.
Aku menyerah dan berusaha mengikhlaskannya. Tak ada gunanya juga aku meratapi. Hidup harus terus berlanjut. Ah! Bersyukur mereka tidak kembali, hidupku bisa sedikit lebih tenang. Tak ada lagi omelannya saat aku tidak bisa memberikan uang belanja. Omelan yang membuatku habis kesabaran. Pun tak ada lagi rengekan anakku yang meminta mainan baru. Rengekan yang kadang membuat sakit hatiku.
“Kapan bisa jadi, Pak?”
“Segera mungkin.”
Suara anak itu kembali terdengar. Ketidaksabaran jelas dalam nada suaranya. Entah apa yang membuatnya dia seperti itu. Aku tentu tak ingin mengecewakannya.
“Mau dipakai kapan emangnya?”
“Segera mungkin, Pak. Kasihan. Hampir sebulan tidak ada keluarga mengunjungi rumah baru ibu saya,” jawabnya dengan suara bergetar serak.
“Mungkin keluarganya sedang sibuk.”
“Tidak, Pak. Mereka tidak tahu rumah baru Ibu saya, karena tidak ada plang penunjuknya.”
Aku masih fokus pada pekerjaanku saat dia pamit untuk pulang dan berkata akan datang lagi besok mengambil pesanannya. Aku yakin dia telah menuliskannya.
Kuselesaikan pekerjaan dan beranjak menuju ke meja. Kuambil kertas di atasnya dan kubaca pesanan yang ada. Dua buah nisan kayu bertuliskan nama, Anto dan Ratri, anak dan istriku, yang kubunuh di hutan, sebulan yang lalu.
Aku tak sadarkan diri.
~ mo ~