.:. Halo, Siapa Namamu? .:.

⌣·̵̭̌✽̤̥̈̊·̵̭̌⌣

Sore yang tidak seperti biasanya. Setelah sepuluh bulan, akhirnya aku mendapat kabar darimu. Iya…kamu. Kamu yang selama ini selalu singgah dalam pikiranku. Kamu yang sejak sepuluh bulan lalu meninggalkan jejak di hatiku, tanpa kamu sadari. Handphone-ku berdering. Kugeser sedikit dudukku, bersandar di tembok teras rumah bercat biru. Bergegas aku menjawab panggilan itu. Panggilan darimu. Iya…kamu.

“Halo. Masih ingat sama aku, Mas?”

“Masih lah.”

Bagaimana mungkin aku tidak ingat kamu, sementara kamu selalu membuatku meneteskan air mata di sesela doaku. Bukan hal yang mudah, bahkan tidak akan mungkin untuk bisa melupakanmu. Kamu. Iya…kamu.

Kamu terus meracau tentang sepuluh bulanmu tanpa aku. Sementara aku, lebih banyak menyimak. Ceritamu adalah bahagiaku, setidaknya sampai hari ini. Sampai aku tahu bahwa kamu masih mencintaiku; harapku.

“Oya, Mas. Aku kenalin sama seseorang mau nggak?”

Aku hanya inginkan kamu, bukan yang lain. Demi apa kamu harus kenalkan aku pada yang lain. Tak akan bisa menggantikanmu. Cintaku padamu terlalu berlebih, sampai menghanyutkan kesadaranku. Kesadaran yang seharusnya tak membutakan.

“Boleh deh,” jawabku mengalah tak bersemangat.

“Tunggu sebentar ya, Mas.”

Sambungan telepon di seberang terdengar hening. Aku menunggu di teras yang sedikit basah oleh cipratan air hujan. Sore yang lembab membawa kenangan tentang wajahmu yang oval, pipimu yang berisi, dan hidungmu yang mancung. Kamu. Iya…kamu.

“Ah!” aku mendesah.

“Mas?”

“Iya.”

“Mas ngomong langsung ke dia ya. Ini aku sambungkan.”

“Oke,” jawabku pura-pura tegar dibalik hatiku yang rapuh. Ketegaran yang hanya tinggal sisa saja. Entah sampai kapan akan bertahan. Mungkin saat ini. Bisa jadi, semua tergantung kamu. Kamu yang telah membuatku tegar selama ini. Memikirkanmu adalah caraku mengelabui kesendirianku. Namun, dibalik itu ada secercah harapan, semoga yang ini akan bisa menggantikanmu. Semoga.

“Selamat ngobrol ya, Mas.”

Kudengar telepon berpindah tangan. Kalimat pertama yang muncul dari bibirku adalah, “Halo, siapa namamu?”

Hening.

“Halo, siapa namamu?”

Kuulang lagi, tetapi tetap hening. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut lawan bicaraku. Pun, kamu. Sepertinya kamu sedang menikmati permainan yang baru saja kamu ciptakan. Entahlah.

“Halo, siapa namamu?”

Aku mengulang terus pertanyaan itu. Seperti dulu, saat aku mengulang pertanyaan tentang rasa cintamu padaku. Dulu.

“Halo, siapa namamu?”

Terdengar suara lirih. Tunggu! Itu bukan jawaban, tapi sebuah tangisan. Aku bingung saat tangisan itu semakin panjang. Dia siapa? Apakah dia mengenalku? Apakah dia alasan sehingga kamu memutuskan untuk meninggalkanku? Entahlah.

“Halo, siapa namamu?”

Tangisan itu kian menjadi. Tiba-tiba sambungan telepon terputus. Aku meratap. Sama seperti saat jejak terakhirmu tertinggal di tanah basah dekat taman, tempat biasa kita menghabiskan akhir pekan.

Lamunanku buyar. Telepon kembali berdering.

“Maaf, Mas. Kalau perkenalannya terganggu barusan. Gimana, sudah kenal kan?”

“Sudah. Tapi dia belum menyebutkan namanya,” jawabku datar.

“Namanya Renata, Mas.”

“Nama yang bagus.”

“Iya, Mas. Renata, Reno dan Tata. Aku dan kamu. Dia anakku, umurnya belum sebulan.”

Air mata mengalir dari sudut mataku. Ternyata ini jawaban dari doaku. Kenyataan yang mengajarkan aku untuk bangkit dan melupakanmu; masa laluku.

⌣»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̈♡̬̩̃̊‎ @momo_DM ♡̬̩̃̊‎✽̤̈·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

0 Comments

  1. “Ini aku sambungkan ..”
    berarti teleponya kayak conference gitu ya?

    Trus, itu anaknya kan? Kenapa dia melupakan masa lalu?
    #bingungsaya

    1. Meh! Bukan, maksudnya dia hanya memberikan telepon pada anaknya. Tadi gak nemu padanan kata yang pas. 🙂

      Tentang alasan kenapa dia meninggalkan masa lalu gak perlu dijelaskan secara rinci, bisa-bisa jadi cerpen. Yang jelas dia mantannya. 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *