.:. Hujan Sore [Bagian 1] .:.

“Radiittt!”

“Ada apa sih, Rin? Ribut deh.”

“Coba lihat!”

“Apaan sih?”

Arini menarik tanganku yang duduk di depannya agar mendekat. Aku yang memang tidak pernah bisa menolak permintaan Arini pun menurut. Aku membungkuk di sisi Arini. Pandangan mataku mengikuti telunjuk Arini yang menunjuk gambar sebuah pantai di layar laptopnya. Aku pun memahami maksud Arini. Pasti teman dekatku sejak masuk kuliah di Universitas Mataram ini mau minta bantuan untuk mendeskripsikan tempat itu untuk bahan tulisan di Mading kampus.

Aku salut sama Arini, meskipun di kampus, Mading bukanlah sebuah kegiatan yang populer, tetapi Arini tidak pernah menyerah. Dia bahkan tak henti-hentinya mempromosikan madding ke adik-adik tingkat. Sampai sekarang sudah ada lima orang yang bergabung, termasuk aku. Aku memang suka menulis, tetapi belum cukup percaya diri untuk mempublikasikan tulisanku, dulu. Berkat Arini yang selalu mendukungku, aku pun akhirnya terbiasa.

“Ini, lho, Dit. Aku mau minta bantuan kamu untuk mendeskripsikan pantai ini menjadi sebuah puisi. Bisa, kan, Dit? Terus jangan lupa tambahin tulisan ‘untuk Arini’, oke?!”

“Haiah! Udah bisa aku tebak kali, Rin. Dasar kamu, ya,” jawabku sambil mengacak-acak rambut hitam panjangnya.

“Ih! Apaan, sih, Dit? Udah buruan tulis sana!” kata Arini sambil seakan mengusirku untuk menjauh.

“Iya, Tuan Puteri!” jawabku sambil berlalu menuju laptopku.

Aku pun segera merangkai kata. Deretan aksara tampak tersendat di layar laptop berukuran 12 inci itu. Tak seperti biasanya. Entah apa yang berdiam dalam pikiranku saat ini. Satu hal yang pasti, aku sama sekali tidak memiliki ide untuk kutuangkan. Aku merenung setelah mengklik tombol minimize pada lembar kerja Microsoft Word-ku. Pandangan mataku terpaku pada background laptopku yang bergambar pantai. Sama persis yang ditunjukkan oleh Arini. Bedanya, di gambar pantai di laptopku ada sosok makhluk manis yang berpose genit tepat di bibir pantai Senggigi saat siang hari.

Foto itu aku ambil hampir dua tahun lalu, saat aku nekad membolos dengan Mollina, teman sekelasku, hanya untuk melepaskan stress di pantai. Entah di mana dia saat ini. Kabar terakhir dari kakakku, dia memutuskan tidak kuliah, tetapi memilih bekerja di sebuah klub malam di kawasan Gili Terawangan.

***

“Radit.”

“Ada apa, Lin?”

Aku menggeser dudukku mendekat pada Mollina yang bersandar pada sebuah pohon di pinggir pantai. Mollina tampak menghela napas panjang. Sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan. Aku menunggu dengan sabar tanpa memaksa sedikit pun agar Mollina untuk mulai bercerita. Sementara Mollina sendiri masih asyik memandang laut biru yang terhampar di depannya.

“Radit, ada yang ingin aku katakan sama kamu,” kata Mollina kemudia sambil menggigit bibir.

“Apa itu, Lin? Ceritakan saja. Aku siap mendengarkan, kok,” jawabku meyakinkan Mollina agar mau memulai ceritanya.

“Radit, kamu sudah tahu, kan, kalau ayahmu mau menikah lagi?”

“Iya, memangnya kenapa, Lin?”

“Kamu tahu dengan siapa ayahmu akan menikah?”

“Setahuku, sih, calon ibu tiriku adalah seorang pedagang kopi yang jualan di kawasan pantai ini setiap Minggu. Kalau tidak salah namanya Syarifa. Terus kenapa, Lin?”

“Kamu tahu siapa Syarifa itu?”

“Tidak. Memangnya siapa itu Syarifa?”

“Syarifa itu ibuku, Dit.”

Aku ternganga mendengar jawaban Mollina. Debur ombak yang menghantam tebing buatan di pantai itu seketika hening. Pikiranku tak bisa lagi mencerna kata-kata Mollina dengan baik. Aku limbung. Seketika aku lemas, dan hampir saja terjatuh di atas hamparan pasir putih tempatku duduk. Setengah tak percaya, aku berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatan hatiku. Ini bukan hal yang mudah bagiku. Bagaimana mungkin ayahku akan menikahi perempuan yang ternyata adalah ibu dari seorang gadis yang selama ini mengisi hari-hariku. Setidaknya itu menurutku. Entah bagaimana dengan Mollina. Aku tak yakin dia memiliki perasaan yang sama denganku. Aku terlalu takut untuk mengungkapkan.

Aku merasa bersyukur mengetahui kenyataan ini sebelum aku mengungkapkan rasaku pada Mollina, dan aku belum tahu bagaimana perasaan Mollina padaku. Setidaknya hal ini akan membuatku lebih mudah untuk melakukan hal selanjutnya. Memendam rasa hingga entah.

“Terus kamu sendiri gimana, Lin? Apa kamu sudah membicarakan ini pada ibumu?”

“Rasanya tidak perlu, Dit. Aku tahu, ini adalah pilihan ibu, dan aku yakin pilihan ibu tidak pernah salah. Meskipun aku belum pernah bertemu dan tidak tahu sama sekali tentang ayahmu, tapi aku yakin beliau orang yang baik. Aku bisa membacanya dari kamu.”

“Aku bukannya tidak setuju, Lin. Tapi ini terlalu berat bagiku. Jujur, ya, Lin, sebenarnya aku … .”

“Kamu kenapa, Dit?”

“Sebenarnya ak…ak…aku sayang sama kamu lebih dari sahabat, Lin,” kataku tersendat sambil menundukkan kepala.

Aku tak sanggup menatap mata Mollina. Aku hanya diam mematung. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan dikatakan Mollina.

“Dit, sebenarnya aku juga dari dulu menunggu kata-kata itu keluar dari hatimu. Dari dulu, Dit. Sejak pertama kali kamu mengajariku tentang gaya gravitasi, waktu kita masih kelas sepuluh. Kamu ingat, kan, Dit?”

“Tak ada sedetik pun kebersamaan denganmu yang terlupa dari ingatanku, Lin. Bagiku kamu adalah udara bagi tempayan hatiku yang kosong.”

Aku memeluk tubuh semampai Mollina. Berdua terlarut dalam rasa yang sama. Tak pedulikan lagi berpasang-pasang mata yang lekat menatap, dan debur ombak yang selalu mencumbu bibir pantai. Datang lalu pergi, seperti kisah cintaku dengan Mollina.

***

“Sudah selesai belum, Dit?”

Kata-kata Arini menyadarkanku dari lamunan. Arini tampak menggeser duduknya dan melangkah mendekatiku. Aku mengklik tombol maximize dan berpura-pura mengetikkan judul.

“Radiittt!” Setengah berteriak, Arini memukul bahuku.

“Jadi dari tadi itu cuma dapat judul saja? Kamu kenapa, sih, Dit? Tidak seperti biasanya, deh!” Arini tampak kesal.

“Ya sudah kalau memang tidak mau bantuin,” sungut Arini dengan nada kesal dan membanting tubuhnya di kursi coffee shop itu lalu mengemil Mini Doughnut kesukaannya.

“Maafkan aku, Rin,” jawabku lemah.

Aku pasrah dan mengaku salah. Aku baru saja memupuskan harapan Arini. Sederhana memang, tetapi aku tadi sudah berjanji. Itu yang membuatku merasa bersalah. Beruntung sore itu suasana coffee shop masih sepi. Hanya ada seorang pelanggan, gadis muda, yang duduk di sudut ruangan, sendirian. Seperti biasanya memang, saat seperti ini coffee shop masih sepi, dan baru akan ramai setelah pukul enam sore. Tamu yang berdatangan biasanya sengaja memilih tempat ini saat sunset. Dari sudut mana pun sunset bisa dinikmati dari setiap sudut coffee shop yang dibangun tepat di pinggir pantai ini.

Rasa bersalahku pada Arini semakin membuat pikiranku blank. Sama sekali tidak ada ide untuk menulis puisi. Aku tiba-tiba kalut dan takut Arini akan meninggalkanku di sini, sendiri. Beruntung  permintaan maafku tadi cukup ampuh untuk membuat Arini tetap diam di tempatnya. Hal itu yang membuat aku akhirnya bisa menemukan kembali inspirasi untuk menulis puisi. Aku pun segera memenjarakan ide yang melintas dalam pikiranku dan menyihirnya menjadi kata-kata dalam sebait puisi.

Adalah laut, selalu berdekatan dengan pantai tanpa kuasa memiliki

Adalah aku, selalu bersebelahan denganmu tanpa kuasa memeluk

Lalu akankah laut menyerah pada pantai yang enggan dimiliki?

Tidak!

Laut tetaplah laut

Menjadi sesuatu yang menyebabkan adanya pantai

Itulah aku

Menjadi lelaki yang menyebabkan kamu disebut perempuan

Maukah kamu jadi perempuanku?

Lelakimu,

 

Raditya Purbaya

Dengan memanfaatkan sambungan wi-fi gratis di coffee shop itu, aku mengirimkan email pada Arini. Aku ingin memberi kejutan, sehingga aku tidak memberi tahu Arini kalau aku sudah mengirimkan email.  Sambil menunggu respon Arini, aku berdecak kagum dengan konsep yang ada di coffee shop ini. Mulai dari desain bangunan sampai lay out meja. Pantas saja, coffee shop ini selalu menjadi pilihan untuk menikmati sunset sambil minum kopi saat sore hari.

Sedikit demi sedikit tamu langganan sudah berdatangan. Tidak ada yang aneh menurutku. Sepertinya setiap hari Minggu yang aku lihat orang itu-itu saja. Gadis cantik bersepatu merah di sudut ruangan, barista tampan dibalik kaca pemesanan yang sepertinya keturunan India, pelayan dan kasir cantik, gadis lokal, yang tak pernah berhenti mengumbar senyum untuk setiap yang datang, dan pemilik coffee shop keturunan Tionghoa yang gemuk ikut mondar-mandir dan berbincang ramah dengan setiap pelanggan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Perpaduan multietnis yang patut dibanggakan.

Aku yakin sebentar lagi akan muncul seorang gadis berjilbab, calon penulis besar, setidaknya menurutku. Aku menafsirkan itu karena dia pernah menawarkan beberapa buku karangannya yang telah terbit. Dan, aku membelinya beberapa untuk hadiah ulang tahun temanku. Tak lama kemudian pasti juga akan muncul seorang petualang berpakaian seadanya dengan menggendong tas ranselnya yang lusuh. Membayangkan itu aku hanya tersenyum. Selalu seperti itu, dan anehnya aku sama sekali tidak bosan, karena aku ke sini bersama Arini.

Aku menyeruput sedikit Espresso Twice pesananku dan kembali fokus pada laptopku. Tak ada tanda-tanda balasan email dari Arini. mungkin dia masih marah. Aku hendak membuka mulutku untuk memberi tahu Arini kalau aku telah mengirim email, tapi tiba-tiba ada notifikasi masuk. Aku segera mengecek emailku, dan ternyata ada balasan dari Arini.

Aku bukanlah pantai,

Tapi sampan yang malu-malu terseret arusmu, laut.

Kalau memang kamu menginginkan aku menjadi pantai,

Biarlah aku tetap menjadi pantai

Tepi bagi laut yang lelah bertualang

Aku takkan memaksa laut untuk singgah selamanya

Pantaiku akan tetap tersenyum, saat ombak menjamahku; sesaat.

Di sini, di tempat terakhir hatiku terjamah olehmu.

 

Perempuan masa lalumu,

 

Mollina Saraswati

Deg! Aku terhenyak membaca baris terakhir email itu. Kenapa harus Mollina? Darimana Arini tahu kalau aku pernah dekat dengan Mollina? Pikiranku berkecamuk. Aku tak mengira, Arini akan membalas emailku seperti ini. Mungkinkah dia salah ketik? Ah! Tetapi tidak mungkin. Aku pun akhirnya berniat menanyakan hal ini pada Arini.

“Arini, kamu masih marah padaku?”

“Marah? Siapa yang marah. Aku tidak marah, kok, Dit. Kan setiap hari sikapku juga begitu kali. Eh…kamu, kok, tiba-tiba jadi sensitif gitu, sih, Dit? Kenapa? Cerita dong!”

“Sebelum aku cerita, aku boleh bertanya sesuatu tidak, Rin?”

“Mau nanya apa, sih, Dit? Nanya saja kali, nggak usah basa-basi, deh,” jawab Arini sekenanya, seperti biasa.

“Kamu sudah terima email puisi yang aku kirimkan barusan, kan, Rin?”

“Email? Email apaan, Dit. Ngaco kamu, ah! Kalaupun kamu kirim email pasti sudah kubaca dan kubalas. Lagian kapan kamu kirim email coba. Bukannya dari tadi kamu melongo dan sama sekali tidak mengindahkan permintaanku. Huh!”

“Serius nggak ada email dariku, Rin?”

“Yaelah, Dit. Tidak untungnya juga bohong sama kamu, Dit. Memangnya kenapa, sih? Kamu, kok, jadi aneh gitu?”

“Nggak apa-apa, kok, Rin. Ya sudahlah berarti aku tadi salah kirim email. Nanti deh aku coba kirim ke kamu lagi, ya?”

“Siap! Awas lho kalau sampai nanti kita pulang belum jadi juga tuh puisi,” kata Arini tersenyum sadis, berharap aku akan mentraktirnya makan malam kali ini kalau aku tidak menyelesaikan puisi itu, seperti biasanya.

Aku masih bertanya-tanya sendiri. Kenapa harus Mollina dan bukannya Arini? Padahal aku ingin Arini yang membalas emailku, bahwa dia mau jadi perempuanku. Dan, itu berarti untuk kesekian kalinya aku kembali gagal mengutarakan isi hatiku pada Arini. Mungkin sekarang bukan saat yang tepat, tapi aku yakin bahwa suatu saat aku akan mengungkapkan pada Arini, karena aku tidak mau pengalaman burukku di masa lalu terulang kembali.

Mengingat kesalahan yang baru saja kulakukan, iseng-iseng aku mengecek kotak terkirim pada emailku, dan ternyata memang bukan untuk Arini, tetapi … Mollina, perempuan masa laluku. Belum lagi hilang rasa terkejutku, kejutan baru datang menghampiriku dan membuatku hampir pingsan. Seorang bule, sepertinya pelanggan baru, masuk ke coffee shop dengan menggandeng seorang gadis cantik berkulit coklat eksotis, Mollina.

‘Semoga dia tidak melihatku’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *