Aku dan Nindy masih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada lagi kata terucap, bahkan sekadar tatap pun seperti hilang lenyap. Hening sekejap. Trattoria masih ramai, tapi tak juga mampu meriuhkan ruang sunyi yang tiba-tiba tercipta. Bahkan aku sendiri tidak tahu, apa yang kurasakan saat ini.Sekilas kulirik Nindy. Kulihat banyak tanda tanya terlukis di raut wajahnya. Tidak seperti biasanya. Ini adalah pemandangan baru bagiku. Apakah karena sikapku? Atau jangan-jangan … . Ah! Sudahlah! Bukan sesuatu yang harus kujadikan alasan perubahannya saat ini.
Aku membiarkan kenangan menuntun pikiranku pada tapak kaki yang kudengar perlahan menghampiriku. Saat itu aku sedang merapikan halaman belakang rumah Tuan Antonio. Itu adalah kebiasaanku sepulang dari kantor. Melakukan apa saja untuk membalas budi baik keluarga ini. Keluarga yang akhirnya menjadikan aku sebagai salah satu bagiannya.
“Ar… Kamu lagi ngapain?”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Kubersihkan tanganku yang berlumur tanah pada celana pendek yang kupakai. Senyumku mengembang melihat sosok perempuan muda cantik yang tiba-tiba berdiri di dekatku. Aku berdiri dan mengulurkan tanganku. Kucium tangannya yang wangi. Seperti biasa.
“Lagi menanam bunga mawar, Nyonya.”
“Kok masih panggil Nyonya, sih? Kan, sudah Ibu kasih tahu, panggil saja Ibu. Apa itu terlalu berat bagimu?”
“Sama sekali nggak, Nyonya eh…, Bu.”
“Nah! Kalau kayak gitu, kan, enak kedengarannya.”
“Mendekatlah, Ar. Ibu butuh kamu saat ini. Sudah lama sekali Ibu menunggu saat seperti ini.”
Nyonya Astari meraih tanganku. Aku menjadi kerbau yang dicocok hidungnya. Menurut. Aku pun berhadapan dengan Nyonya Astari dalam hitungan jarak senti. Aku menunduk, sama sekali tidak berani menatap matanya. Aku tetaplah aku, selalu merasa rendah diri.
“Tataplah Ibu, Ar! Ibu mau tanya, apakah kamu melihat kebahagiaan di mata Ibu? Ibu harap kamu bisa membuat Ibu bahagia. Bisa, kan?”
“Iya, Bu,” jawabku tanpa berpikir panjang lagi.
“Ini… simpanlah. Ibu percaya sama kamu. Berikan pada Nindy saat dia berulang tahun ke 25. Kamu mau, kan, Ar?”
“Iya, Bu,” jawabku sambil menggenggam erat kotak kecil berwarna merah itu.
“Terima kasih, Ar,” kata Nyonya Astari seraya memelukku hangat. Sehangat pelukan ibuku. Mungkin.
Ah! Dua puluh lima tahun. Itu berarti satu minggu lagi. Dan, itu adalah saatku melunasi hutang pada Nyonya Astari.
Aku menghapus fragmen kenangan itu dengan meraih tangan Nindy yang masih terdiam di sampingku. Berharap Nindy lepas dari keraguan yang tengah menghinggapinya saat ini. Nindy perlahan menoleh ke arahku. Ada genangan yang tertinggal di kelopak matanya yang sayu menatapku. Sama seperti tatapan Nyonya Astari waktu itu.
#FFBerantai (baca berurutan, ya?! 🙂 )
- “Senin” (@rin_hapsarina)
- “Sekeping Puzzle” (@momo_DM)
- “Mawar yang Mekar” (@rin_hapsarina)
- “Kupu-kupu Biru” (@momo_DM)
- “Selembar Foto” (@rin_hapsarina)
- “Labirin di Bola Mata” (@momo_DM)
- “Kembali” (@rin_hapsarina)
- “Bukan Kamu Tapi Aku” (@momo_DM)
- “Pertanyaan yang Belum Terjawab” (@rin_hapsarina)
- “Iya, Bu” (@momo_DM)
- … .