Jadilah milikku, mau?
Kamu masih terdiam di kursi bambu depan rumahmu. Ini adalah pertanyaan kesekian yang aku lontarkan. Aku tak pernah memaksamu untuk menjawab “Iya”. Aku yang mengawali rasa ini, dan aku juga yang pada akhirnya harus siap tersakiti.
Jadilah milikku, mau?
Kamu hanya menggeser dudukmu. Kursi bambu itu berderit, seakan seperti itulah isi hatimu saat ini. Aku tak menyalahkanmu akan sikap diammu. Aku tahu kamu diam bukan berarti tak mau, tapi memang aku yang terlalu cepat mengungkapkan perasaanku. Aku sudah mencoba mengendalikannya, tetapi justru hatiku kian berontak untuk mengungkapkannya.
Jadilah milikku, mau?
Bibir merahmu masih terkatup. Aku lega meskipun belum plong. Beban masih saja menggelayuti hatiku. Ini tentang perasaan yang terpendam setelah sekian lama dalam kebersamaan, aku dan kamu. Bahkan, tanpa sepengetahuan orang tuamu. Kamu begitu pandai merahasiakan ini semua. Itu yang aku salut sama kamu.
Jadilah milikku, mau?
Aku tersenyum tipis, saat bibir mungilmu mulai terkuak sedikit. Aku harap-harap cemas, saat pandanganmu mengarah ke sekeliling. Aku yang sudah tidak sabar, menggeser kursi bambu mendekatimu. Suara yang cukup untuk membangunkan seisi rumahmu baru saja terjadi. Dan, tanpa kusadari di ambang pintu, ibumu tersenyum padaku.
“Tidak ada apa-apa kok, Bu.”
“Saya kirain ada yang jatuh. Ya sudah. Silakan dilanjut kalau gitu.”
Kamu tersipu. Pun, dengan aku. Kita hanya cekikikan di beranda melepas kepergian ibumu masuk rumah. Sekarang aman.
Jadilah milikku, mau?
Pertanyaan yang sama, dan belum ada satu jawaban pun kuterima. Setengah berbisik kamu akhirnya membuka mulutmu. Mata bulatmu nyaris tak berubah. Tetap menatapku malu-malu.
“Nanti ya. Saya akan menjawab setelah pak Guru selesai mengajariku materi ulangan besok tentang gaya gravitasi. Gimana?”
Pak guruuuuuu………!
skarang aja belajar gravitasinyaaa ! *gak sabaran
hadduh..pak guru.. muridnya mau ulangan kok malah ditembak pake cinta! :))