.:. Jingga di Ujung Senja .:.

Sendirian aku duduk di sebuah sampan yang ada di pinggir sungai Musi. Kendaraan hilir mudik melewati jembatan Ampera yang melintas sungai Musi tak menyurutkanku untuk menenangkan diri.  Tempat ini masih sama seperti waktu terakhir aku bersama Margreet saat berencana hendak membuka cabang toko kain, lima tahun yang lalu.

Sekarang, ini senja yang kesekian kalinya aku mengunjungi tempat ini. Bukan tanpa alasan. Aku menunggu kedatangan Margreet seperti yang pernah dia janjikan lewat surat terakhirnya, dulu sebelum kenyataan pahit menghadangku. Beruntung aku hobi menulis, setidaknya aku bisa menghapus kesedihan dengan caraku.

Memang setelah mengetahui kenyataan bahwa Margreet selingkuh dengan rekanan bisnisnya, aku memilih menenangkan diri di kota ini. Kebetulan aku sudah punya modal cukup untuk mengawali hidup baruku di sini. Bukan membuka toko kain seperti rencanaku bersama Margreet, tapi m

embuka warung nasi Padang. Meskipun aku bukan orang asli Padang, tetapi dua puluh tahun tinggal di Padang bersama orang tua membuatku paham betul cara memasak masakan Padang. Orang tuaku yang dulu mengajariku. Ayah jualan bakso, sementara Ibu memilih membuka warung nasi Padang. Tak heran sejak kecil aku sudah akrab dengan dunia kuliner.

Mataku masih lekat menatap hilir mudik kendaraan di jembatan Ampera. Jalan raya yang mulus, tak seperti jalan hidupku. Riak kecil sungai membasahi kakiku saat aku merogoh saku celana jeans-ku. Kubaca dalam hati selembar kertas lusuh. Surat tanpa sampul dan tanpa nama pengirim.

Dear, Arion.

Maafkan aku. Mungkin saat kamu membaca surat ini aku hanyalah kenangan buruk yang pantas dijadikan pembelajaran. Tak ada kebahagiaan saat ini untukmu bukan berarti kamu tidak bisa bahagia. Aku yakin kamu bisa bahagia dengan caramu sendiri. Melupakan aku kenangan burukmu, misalnya. Itu akan lebih baik. Pasti ada hikmah dibalik semua yang terjadi padamu.

Maafkan aku yang tak bisa membuatmu bahagia. Aku yang hanya bisa membawamu ke dalam ketidakpastian harapan. Dan, aku yang hampir saja membawamu ke jurang kehancuran. Aku tahu itu, hatimu terluka saat tak ada lagi yang peduli lagi terhadapmu. Tapi aku yakin kamu kuat untuk terus bertahan hidup.

Arion…

Hanya satu permintaanku, jangan lupakan aku. Karena bagaimanapun juga aku pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupmu. Biarlah aku dengan kesedihanku dan kamu dengan kebahagiaanmu.

Arion…

Pergilah! Tunggu aku di tempat pertama kamu pernah meninggalkan Padang untuk mengubah nasibmu. Di sana kesuksesan menunggumu.

Aku melipat kertas surat itu, lalu kumasukkan ke dalam saku celana jeans-ku. Dengan gontai aku melangkah bersama jingga di ujung senja kota Palembang yang perlahan pudar. Kutinggalkan perahu kayu itu sendirian, seperti aku meninggalkan masa laluku. Tak lama aku sampai di juga di tempat kosku saat malam belum terlalu gelap. Kubuka laci lemari pakaianku, lalu kuselipkan di bawah surat terakhir Margreet. Di sanalah tempat yang tepat untuk surat itu, surat untukku, dariku lima tahun yang lalu saat aku belum berhasil seperti sekarang ini.

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *