Chandani histeris. Kedua kakinya menjejak-jejak seprai. Kain penutup ranjang yang cukup untuk satu orang di ruangan itu menjadi tak beraturan. Beberapa siswi lainnya memegang erat kedua tangannya. Di samping ranjang, seorang guru tampak berusaha menenangkannya. Chandani berontak semakin kuat. Satu orang siswi teman sebangkunya, Aura, hampir terjatuh dibuatnya. Dia tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga dia kembali mencengkeram tangan Chandani. Berhasil.
“Tenang, Chan. Tenang,” suara seorang guru berusaha membuatnya tenang.
“Kembalikaannn!”
“Kita harus menyadarkannya, Bu Areta,” kata Aura menatap ke arah mata gurunya yang dibingkai kacamata.
“Iya, Ra. Ibu akan berusaha.”
“Kembalikaannn!”
Teriakan itu kembali memenuhi ruangan. Bahkan terdengar sampai di kelas sebelah. Beruntung kelas itu tidak kosong, sehingga tidak ada murid yang penasaran dan melihat dari pintu ruangan itu.
“Chan… Tenangkan dirimu dulu. Hanya dengan begitu, kamu bisa menerima kehilangan.”
“Kembalikaannn!”
Chandani semakin histeris mengulang kata-kata yang sama. Kali ini Ibu Areta berubah. Dengan sekali sentuh di bagian pelipisnya, Chandani terdiam. Semua yang berada di ruang penuh aroma obat itu menghela napas lega.
***
“Aku harus pergi, Chan. Maafin aku.”
“Gitu doang?”
“Terus maumu gimana lagi?”
“Aku mau ikut pindah juga.”
“Enggak bisa kayak gitu, Chan. Enggak mungkin.”
“Tapi, aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu. Tapi, gimanapun juga, saat ini aku harus pergi.”
Di salah satu bangku semen di bawah pohon nangka, Chandani terdiam mendengar kata-kata cowok pujaannya. Beberapa orang di dekatnya menatap penuh keheranan. Seolah-olah mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Bukan sekali itu saja Chandani terlihat akrab. Bahkan, sangat akrab. Terlebih pada saat jam istirahat. Chandani selalu menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan seorang cowok di bawah pohon nangka. Setelahnya, dia akan tertawa keras. Perubahan Chandani sangat drastis. Chandani bukan lagi seorang siswi yang memilih tidak mengemukakan pendapat di kelas, mendadak berubah menjadi seseorang yang penuh percaya diri. Rasa cinta yang telah mengubahnya.
Tak heran, beberapa siswa sempat bertanya-tanya pada Aura. Hanya untuk mengetahui kebenaran atas perubahan sikap Chandani.
“Ra… Itu Chandani ngomong sama siapa, si?”
“Bukan sama siapa-siapa, kok. Sepertinya murid baru di sini.”
“Kamu serius?”
Dan, selalu saja Aura memilih tidak melanjutkan penjelasannya. Dia justru meninggalkan mereka yang bertanya, lalu pergi menemui Ibu Areta.
“Tolong Chandani, Bu. Saya khawatir belajarnya akan terganggu dengan kehadiran cowok itu.”
“Tenang, Ra. Biarkan saja dulu. Mungkin dengan begitu, dia bisa menghilangkan kesendiriannya.”
“Iya, Bu. Setidaknya dia sedikit bisa melupakan mantannya. Tapi, saya khawatir, Bu.”
“Ibu paham. Ibu akan berusaha. Kamu mau bantu Ibu, kan?”
“Tapi saya bisa bantu apa, Bu?”
“Kamu, kan, teman dekat Chandani. Kamu bisa ngomong baik-baik sama dia.”
“Tapi, Bu. Chandani kadang enggak bisa nerima masukan. Apalagi ini menyangkut hati yang pernah tersakiti. Sepertinya dia sedang jatuh cinta lagi.”
“Iya. Ibu tahu itu. Kamu pasti tahu juga, kan?”
“Iya, Bu.”
“Oya, Ra. Kamu tahu cowok yang selalu samaan Chandani itu, kan?”
“Iya, Bu. Tapi, saya tidak tahu dia anak kelas berapa. Memang ada murid baru di sekolah kita, Bu? Tidak ada, kan?”
“Iya, Ra. Tidak ada murid baru di sekolah kita.”
Obrolan terhenti setelah keduanya sepakat untuk mengeksekusi. Hari Jumat pagi setelah pelajaran ekstrakurikuler selesai. Berhasil. Chandani tak lagi terlihat menemui pacarnya di bawah pohon nangka selama beberapa hari.
***
“Sekarang gimana, Bu?”
“Kamu tenang saja, Ra. Kalian kembalilah ke kelas. Biar Ibu sama Aura yang akan menjaga Chandani.”
Aura menutup pintu ruangan itu. Perlahan dia mendekati Ibu Areta yang duduk di samping tempat tidur.
“Ra… Tolong ambilkan minyak angin di kotak obat,” kata Ibu Areta menunjuk sudut ruangan.
Tak lama kemudian, Aura telah duduk kembali di samping Ibu Areta. Sesuai instruksi, dia lalu mengoleskan minyak angin di pelipis Ibu Areta yang sedang dalam posisi khusyuk. Aroma minyak angin menenangkan keduanya yang akhirnya memutuskan untuk merapal mantera bersama.
Tiba-tiba tubuh Chandani sedikit terangkat oleh kekuatan lain saat mantera belum selesai dirapalkan. Asap mengepul di sekitar ruangan, keluar dari tubuh Chandani. Pintu dimensi lain terbuka di langit-langit ruangan putih itu. Tubuh Chandani perlahan terangkat sampai hampir menembus langit-langit. Menyadari hal buruk akan terjadi, Ibu Areta dan Aura berusaha meningkatkan mantera sampai level tertinggi. Berhasil. Tubuh Chandani perlahan kembali turun. Saat tubuhnya kembali tergeletak di atas tempat tidur, asap itu berpindah ke halaman luas.
Ibu Areta dan Aura bernapas lega. Semuanya sudah beres. Sekali lagi mereka berhasil menutup pintu dimensi lain yang memabukkan Chandani dalam cinta.
Chandani membuka mata dengan sorot yang tak lagi kosong. Dia beranjak dari tempat tidur diikuti Ibu Areta dan Aura. Kedua tangannya bertumpu pada kusen pintu kayu. Tatapannya tertuju pada bangku semen di bawah pohon nangka. Kosong. Dia pun berusaha fokus menatap asap putih yang menggantung di pohon nangka.
Sampai akhirnya…
“Chan… Kali ini aku gagal. Tapi, kelak aku akan kembali. Kamu bersabarlah menungguku. Sementara aku, akan mencari cara lagi untuk memperjuangkan cinta kita.”
Chandani meneteskan airmata saat mendengarnya.
Wuss!
Setelah melambaikan tangan pada Chandani, tiba-tiba bayangan cowok dalam gumpalan asap itu menghilang. Melintas dimensi yang diciptakan oleh kekuatan Ibu Areta dan Aura untuk menjemputnya pulang.
~ mo ~