Bukankah ada jalan untuk setiap semangat yang ingin diwujudkan? Atau lebih baik menyerah sebelum tahu apa yang akan didapatkan?
Angelica
Hari kesepuluh bulan Ramadan. Aku masih menduga-duga tentang apa yang kujalani. Dilema membebatku dalam keinginan dan kebutuhan. Aku ingin dicintai oleh orang yang tepat, tetapi aku juga butuh diberikan kasih sayang yang tulus. Semua hal yang sebenarnya sudah aku dapatkan dari Rajendra. Dulu. Iya. Dulu sebelum akhirnya Rajendra meninggalkanku. Salahku? Bisa jadi. Aku terlalu angkuh dengan perasaanku. Merasa dibutuhkan hingga akhirnya membuat Rajendra memilih meninggalkan. Tapi, hidupku bukan tentang Rajendra saja pastinya. Banyak hal yang harus kukejar. Karir, pendidikan adikku dan keinginan untuk mempunyai rumah sendiri.
Terlalu muluk? Aku rasa tidak. Ini sudah sesuai dengan kemampuanku. Dengan gaji yang cukup, aku bisa mengatur untuk semua itu. Sementara Rajendra, biar saja dia melakukan apa yang diinginkannya. Kalaupun dia berniat kembali, aku akan mengajukan satu syarat. Langsung menikah. Tidak perlu lagi pacaran. Sudah cukup dua tahun waktuku terbuang percuma untuk hal-hal bodoh dalam penantian. Ketidakpastian dari seorang pengecut yang tidak berani berkomitmen dalam pernikahan. Sia-sia.
Rajendra
Pertemuan dengan Jasmine dan Aline yang saat ini sudah kembali ke Jakarta, membuatku berpikir, bahwa perempuan bukan Angelica saja. Selama ini aku dibutakan oleh cinta dan keinginan untuk dihargai sebagai seorang laki-laki. Tapi apa? Aku sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari Angelica. Niat baikku untuk mengubahnya hanya menjadi wacana saja. Memang tidak mudah untuk menaklukkan kemandirian Angelica. Sangat tidak mudah malah. Dia memiliki prinsip hidup yang kadang tidak aku mengerti. Prinsip hidup macam apa yang meletakkan dunia di atas segalanya?
Cinta membuatku seolah-olah bisa mengubah perspektifnya. Tapi, kenyataan tak semudah yang dinginkan. Angelica adalah Angelica. Tak mudah bagiku untuk mengubahnya menjadi Angelica yang lain. Memang dia pernah memintaku untuk segera melamarnya. Dia berharap aku menjadi imam baginya. Bukan tanpa alasan aku tidak mengiyakannya. Aku ingin dia menjadi seperti yang kuinginkan terlebih dahulu. Ada kekhawatiran dia tidak akan berubah, bahkan setelah menikah. Angelica memang tipikal keras kepala. Butuh waktu untuk bisa membuatnya memahami agama yang sebenarnya. Tapi, bagaimanapun juga, aku hanyalah manusia biasa. Kesabaran untuk membimbingnya selama ini hasilnya nol besar. Dengan memutuskan untuk berpisah sementara waktu, aku berharap bisa menemukan jawaban atas semua. Demi aku dan kedua orang tuaku.
Sekarang pikiranku semakin terbuka. Banyak pilihan, termasuk Naomi, membuatku lebih semangat. Dengan begitu, aku bisa benar-benar menemukan pendamping hidup sekaligus menantu yang tepat untuk Papa dan Mama. Bisakah?
Naomi
Rajendra… Ronald. Ronald… Rajendra. Kedua bayangan laki-laki itu mendadak memenuhi pikiranku. Tak dipungkiri, keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Aku paham. Sangat paham.
Di mataku, Rajendra adalah sosok yang mapan. Mungkin itu adalah salah satu alasanku kenapa aku memilih menjatuhkan cinta padanya. Aku tahu persis, selama ini dia tidak menganggapku lebih. Hanya sekadar rekan kerja itu saja. Setidaknya jika aku bisa mendapatkan cinta Rajendra, kedua orang tuaku akan bahagia. Aku yang selama ini sudah semangat meninggalkan masa lalu bersama mantan yang tak pernah direstui orang tuaku, sangat berharap mendapatkan seseorang sesuai kriteria yang ditetapkan orang tuaku.
Sementara Ronald, jelas sangat jauh dari kriteria yang ditetapkan orang tuaku. Selain dia masih terlalu muda bagiku, dia juga tidak semapan Rajendra. Tapi, cinta adalah waktu. Tak ada seorang pun bisa menebaknya ke mana cinta akan berlabuh. Iya, kan?
Aku bahkan rela menunggu selama ini. Dan aku juga rela mengorbankan perasaanku sendiri. Sia-sia? Bisa jadi. Aku tidak tahu pasti. Satu hal yang kupahami suatu saat aku akan menemukan pendamping yang bisa membahagiakan aku dan keluargaku. Kapan? Entahlah.
Ronald
Saya belum ternyata belum berubah, lho. Serius. Padahal cinta yang saya rasakan bukan cinta pertama. Tapi, entah mengapa begitu kuat rasanya. Padahal sebenarnya saya tahu, semangat melupakan saja tidak akan cukup. Iya. Saya hanya ingin melupakan Mbak Naomi atas masukan Mbak Jasmine dan Kak Adam juga. Saya memang aneh. Setiap melihat Mbak Naomi rasanya saya begitu dekat dengan kehidupan yang pernah diajarkan Mama.
Beberapa hari ini saya mencoba untuk tidak lagi mengingat-ingat tentang Mbak Naomi. Tapi, semakin saya berusaha melupakan, ingatan semakin berusaha menenggelamkan saya dalam harapan. Setidaknya selama ini saya memiliki semangat untuk terus bertahan di kantor Pak Rajendra. Sekarang setelah saya mengetahui kenyataannya, akankah saya terus bertahan? Bisa jadi.
Aline
Hari terakhir di Gili Trawangan. Seharusnya gue ngejalaninnya dengan semangat. Kenyataannya, gue justru harus disibukin sama yang namanya packing. Ritual yang paling gue benci sebenernya. Terlebih harus meninggalkan Lombok. Lhah?! Bahkan belum sempat gue mewujudin mimpi, tapi kenapa harus secepet ini, si?
Semua gara-gara Jasmine. Gue pengin ngumpat sebenernya, tapi gue enggak tega. Dan, gue enggak bakalan bisa ngelakuin hal itu pada seorang yang sangat baik kayak Jasmine. Gue pun akhirnya hanya memilih untuk diem. Dari penyeberangan sampai bandara.
“Lin… Elo kenapa jadi mellow kayak gini, si? Elo kenapa?”
Gue tetep tak menjawab pertanyaan Jasmine. Untuk apa? It just waste my time, you know. Gue yakin jawaban gue hanya akan menghasilkan debat panjang yang enggak bakal kelar-kelar.
“Check in dulu, yuk! Hampir telat, nih.”
Sekali lagi gue diem saat Jasmine ninggalin gue bengong di luar. Dengan tanpa semangat sama sekali, gue menyeret koper menuju pembatas besi. Kaki gue hendak melangkah masuk dan menyerahkan tiket pada petugas, saat ada suara memanggil nama gue.
Adam
“Alinee…!”
Dia menoleh. Dengan semangat, aku berusaha mengejarnya. Kulihat dia mencoba melihat ke dalam area bandara. Entah apa yang dilihatnya. Aku semakin mempercepat langkah bersamaan dengan detak jantung yang tak beraturan.
“Adaammm!”
Dia berteriak memanggilku. Kugenggam erat tangannya untuk menuntaskan rindu.
“Kamu baik-baik aja, Lin?”
“Iya, Dam. Kayak yang elo liat.”
Aline menarikku menjauh dari area pintu masuk. Sepertinya dia sedang bersembunyi dari sesuatu atau seseorang.
“Dam… Sori gue enggak bisa lama. Jasmine udah nunggu di dalem soalnya.”
“Enggak papa, Lin. Yang penting akhirnya kita bisa ketemu. Aku udah bahagia, kok.”
Kesepakatan tercapai saat Aline menjauh. Perpisahan yang membuatku lebih semangat untuk melanjutkan hidup. Ini antara aku dan Aline.
*** bersambung ***
~ mo ~
Ehhhhh,,, dipantengin serius berharap menemu akhir, jubule bersambung..
Hehehe… Sambungannya masih di-private, Mel. 🙂
ayo dong dipublish… keburu pembaca mati penasaran.. #narik-narik baju penulis hehee