Keputusan dalam Keputusasaan [2]

Ketika ada sebuah harapan tumbuh, haruskah membiarkannya layu? Atau mungkin lebih baik memendamnya lebih dulu, lalu pelan-pelan merawatnya hingga tepat waktu?

Adam

Aku hendak menutup pintu toko bukuku saat kurasakan ada yang menahan rolling door aluminium itu dari bawah. Kutundukkan kepala untuk mengeceknya. Empat jari tampak di sana. Perlahan kutarik pintu kembali ke atas. Begitu pintu terbuka, aku tahu siapa yang datang. Ronald, adik sepupuku. Senyum pun beradu.

“Udah pulang? Salamnya mana?”

“Kakak gitu amat. Iya, deh. Iya. Assalamu’alaikum.”

“Walaikumsalam. Ayo masuk.”

Ronald membantuku menutup pintu. Sejenak kemudian aku dan Ronald sudah berada di lantai dua bangunan bercat biru muda. Kulihat Ronald duduk di sofa sudut ruang, lalu melepaskan sepatu dinasnya. Satu per satu aksesoris di tubuhnya dilepaskan dan ditaruh di tempat seharusnya. Sekarang dia hanya memakai kaos dalam berwarna putih.

Diam-diam aku mengagumi dengan apa yang dimiliki Ronald. Dalam segala hal, aku kalah jauh dibandingkan dia. Kulitku lebih gelap dengan bentuk tubuh yang jauh dari kesan atletis. Satu-satunya kelebihanku dibanding Ronald hanyalah hidung. Iya. Hidungku jauh lebih mancung dibandingkan Ronald. Bagaimanapun juga ada darah Arab mengalir dalam tubuhku dari almarhum Abah. Sedangkan almarhumah Umi adalah seorang perempuan asli dari Lombok. Perpaduan keduanya melahirkan aku dengan segala kelebihan dan kekuranganku tentunya.

Sedangkan Ronald, sangat jelas darah Tionghoanya dari papanya. Mama Ronald adalah adik umiku satu-satunya. Aku memanggilnya Bibi Rani. Saat ini Bibi Rani memilih tinggal bersama Jasmine, kakak Ronald, di Jakarta. Bibi Rani bahkan menjual rumahnya di Lombok untuk membelikan Jasmine rumah di Jakarta. Berbeda dengan Ronald, Jasmine nyaman dengan hingar-bingar kehidupan ibukota. Tak salah juga jika Bibi Rani memutuskan tinggal bersama Jasmine.

“Untuk menjaganya sebelum dia punya suami.”

Suami. Suami macam apa yang cocok untuk Jasmine. Hmm… Aku tahu. Suami yang cocok untuk Jasmine adalah seseorang yang bisa membuatnya tidak terlalu tergoda oleh kehidupan dunia. Pekerjaan Jasmine sebagai desainer pakaian memang tidak bisa dipisahkan dengan dunia gemerlap. Aku pernah bertanya tentang hal itu padanya suatu ketika saat mereka berdua singgah di Lombok.

“Duh, Dam. Coba, deh, elo main ke Jakarta sekali-kali. Biar tahu kehidupan yang sesungguhnya.”

Aku hanya diam. Bagiku memang tidak ada gunanya juga meladeninya. Toh, kehidupan sesungguhnya bagiku adalah kehidupanku. Apa pun itu. Bagaimanapun sulitnya itu.

“Geseran dikit napa, Kak.”

Ronald mendorong tubuhku ke kiri. Aku pun beringsut merapatkan tubuhku di dekat tembok. Kakiku terangkat sedikit saat tanpa sengaja menyentuh permukaannya. Hujan tadi sore menyebabkan aku tak berani terlalu dekat dengan tembok kamar.

“Kamu udah salat?”

“Udah, Kak. Tadi di musala kantor. Terus itu maksudnya apa?”

Aku bingung mendengar pertanyaan Ronald.

“Nih!” kata Ronald sambil melepaskan kopiahku.

Aku hanya tertawa kecil melihat tingkahnya. Ronald… Ronald… Dia memang tidak pernah berubah. Bahkan, sejak ikut tinggal denganku waktu dia masih kuliah. Ada saja hal-hal kecil yang membuatku tertawa. Tawa lepas yang bisa membuatku ingat, bahwa kadang hidup memang layak untuk ditertawakan, terlebih hidupku sendiri.

Setelah meletakkan kopiah hitamku di atas meja samping spring bed, Ronald kembali meletakkan kepalanya. Kepala dengan potongan rambut pendek itu pun tergeletak begitu saja di atas bantal, tepat di sampingku.

“Kak… ”

“Iya.”

“Kok mendadak aku kangen sama Mbak Jasmine, ya.”

“Ya udah telepon dia gih!”

“Besok ajalah. Banyak yang ingin aku ceritain. Tentang cewek.”

“Lhah?! Tumben? Kamu lagi jatuh cintakah? Ciyeee… Cerita, dong!” kataku memiringkan tubuh dan menatap ke arahnya.

“Emang Kakak tau apa tentang cewek? Pacaran aja enggak pernah. Haha…”

“Heh!”

Mataku kembali menatap langit-langit kamar. Kosong. Seperti itu hatiku saat ini. Entah kapan akan bertaburan bintang-bintang harapan seperti langit malam.

“Kok diem, Kak? Tersinggung, ya?”

Kali ini giliran Ronald yang memiringkan tubuhnya ke arahku. Sekilas kulihat penyesalan di bola matanya.

“Udah. Enggak papa, kok. Santai aja.”

Senyum mengantarkan Ronald ke alam mimpi. Sementara aku, pikiran tentang kesendirian menyergapku di alam sadar. Ingatan yang akhirnya membuat pikiranku mengembara bersama desah halus napas Ronald. Desah napas yang akhirnya menemaniku menemui Aline, model langganan Jasmine.

“Dam… Kenalin. Ini modelku, Aline.”

“Adam,” kataku mengulurkan tangan.

Kedua tangan pun akhirnya berjabat erat saat Aline menyebutkan namanya. Sejak perkenalan hampir setengah tahun yang lalu itu, kurasakan ada yang berbeda dalam debaran dada. Debarku bukan lagi tentang denyut jantung, lebih dari itu. Jantung yang mendetakkan nama dalam doa.

Sampai saat ini tak ada seorang pun yang tahu perihal aku dan Aline. Bahkan, Jasmine sekalipun. Aku dan Aline sepakat, hingga waktu benar-benar membuat aku dan dia kian rapat. Dan, aku sepenuhnya percaya, bahwa suatu saat Aline akan menepati janjinya untuk hidup bersamaku. Terlebih sebulan setelah perkenalan, Aline tidak keberatan saat aku mengajaknya jadian lewat telepon. Gila, ya? Begitulah. Tapi, bagiku, si, biasa saja. Toh, bukankah cinta memang bisa membuat orang melakukan hal-hal gila? Kali ini aku yang mengalaminya. Hubunganku dengan Aline yang meskipun terpisah jarak selalu hangat. Ada hal-hal kecil yang sering aku dan Aline lakukan untuk saling membahagiakan. Saling mengingatkan saat buka puasa dan sahur, misalnya. Tak jarang, Aline juga mengingatkanku untuk menunaikan salat. Padahal, aku tahu saat itu dia sedang ada show.

Harapan demi harapan kini terjalin menjadi sebuah selimut hangat sebuah hubungan. Aline tak menolak saat aku memintanya untuk pindah ke Lombok. Tapi, dengan satu syarat, dia harus mencapai karir tertingginya dulu dalam dunia modelling. Aku mendukungnya, meskipun aku tidak pernah tahu pencapaian seperti apa yang dia inginkan di dunia modelling. Aku pun terlelap setelah suara Aline hilang di seberang ponselku. Apakah ini hanya harapan semu?

Aline

“See you soon, Dam.”

Gue menutup ponsel dan meletakkannya kembali di samping bantal. Mendadak pikiran gue tiba di sebuah persimpangan. Ke arah kiri gue lihat Adam berdiri menanti, sedangkan ke kanan, sebuah tropi berdiri menarik hati. Di usia gue yang sudah cukup matang, sebenarnya gue bukan lagi gadis kecil dengan setumpuk harapan untuk dipuji. Gue lebih pada kesenangan dalam menjalankan sebuah profesi. Tapi, gue ingat sebuah janji. Tentang pencapaian tertinggi dan tentang hidup bersama mewujudkan mimpi.

Gue enggak tahu pasti, perihal apa yang akhirnya membuat gue jatuh cinta pada Adam. Yang gue tahu, ada keyakinan dia bisa membawaku keluar dari dunia gue yang semu dan palsu. Dunia yang menurut gue enggak pernah mengerti tentang perasaan manusiawi. Dunia yang hanya peduli dengan prestasi dan sanjungan puja-puji. Munafik. Kalau enggak demi memuaskan keinginan Jasmine, gue pasti enggak akan bertahan di dunia gemerlap yang sudah membesarkan gue.

“Inget, Aline! Gue yang udah bikin elo kayak gini. Jadi, please, deh, jangan berpikiran macem-macem untuk berhenti.”

“Iya, Jas. I know about it. Don’t worry. Look! I’m still standing here, for you.

“Nah! Gitu, dong! Inget, Aline! Langkah elo masih panjang. Did you remember about our dream? Wake up, girl! Itu mimpi kita. Mimpi kita.”

Saat itu kemudian terbayang Singapura, bukan Milan ataupun Paris. Iya. Itu demi Jasmine. Dia tahu benar, bahwa akan semakin mudah untuk menaklukkan Milan dan Paris setelah bisa menundukkan Singapura. Dan, gue sama sekali enggak bisa menolak keinginan Jasmine. Lima tahun kebersamaan dengannya adalah alasannya. Gue hanya enggak ingin lima tahun penuh perjuangan itu kandas begitu saja oleh keegoisan gue. Gue yakin, Adam akan bisa mengerti dengan keadaan gue saat ini.

Gue akui atau enggak, sejak berkenalan dengan Adam, meskipun secara fisik hanya bertemu sekali, setengah tahun yang lalu, hidup gue bisa sedikit terarah. Secara enggak langsung, Adamlah yang sudah berhasil meyakinkan, bahwa Aline adalah Aline, bukan robot atau makhluk ciptaan orang lain.

Gue masih ingat betul dengan yang diomongkan Adam beberapa waktu lalu. Seperti biasa, lewat ponsel.

“Aline… Aku hanya enggak mau, kamu diperbudak oleh kehidupan.”

“Gue paham, Dam. Thanks, ya, udah ngingetin.”

Sesederhana itu. Enggak lebih. Tapi, justru karena kesederhanaan itu gue jadi bisa memahami rumitnya kehidupan yang gue jalani saat ini. Kata-kata Adam telah menjelma menjadi pegangan untuk melangkah. Perlahan, gue larut dalam harapan-harapan indah yang gue bangun sendiri di atas keinginan-keinginan yang ingin gue wujudkan bersama Adam.

Belum sempat terlelap, kembali gue dengar nada dering ponsel berbunyi. Kulirik sekilas saat nama Jasmine tertera di layar sentuhnya.

“Halo, Jas.”

“Elo udah tidur?”

“Belum, nih! Kenapa?”

“Eh… Dua hari lagi elo temenin gue, yes?”

“Ke mana, si, Jas?”

“Ke Lombok.”

Mendengar nama pulau dengan seribu pantai indah itu disebut, tubuh gue sedikit terlonjak. Ada kebahagiaan perlahan menjalar di setiap pembuluh darah gue.

“Yes! Finally!”

“I… Iya, Jas. Gue ikut elo.”

“Eh… By the way, kenapa elo yang semangatan dibanding gue. Kenapa woi?”

“Em… Enggak ada apa-apa, Jas. Gue hanya ngerasa excited aja. Setelah setengah tahun lebih, akhirnya gue bisa balik lagi ke sono.”

“Iya. Gue mendadak kangen banget sama adik gue, nih.”

“Nyokap elo ikut juga?”

“Enggaklah. Cuma gue sama elo. Sekalian entar ketemu klien di sana. Mau bahas event Ramadan.”

Setelah Jasmine memutuskan pembicaraan, mata gue pun berbinar-binar. Senyum enggak pernah lepas dari bibir tipis gue. Harapan dalam hati gue semakin tumbuh. Sebentar lagi, gue akan bertemu Adam. Harapan yang mungkin saat ini juga dirasakan oleh Adam, dan mungkin juga harapan yang sama dirasakan oleh orang lainnya. Who knows.

Angelica

Aku bergegas masuk ke rumah setelah Rajendra menurunkanku di depan gerbang kontrakan. Hanya sesaat setelah aku menjawab salamnya tanpa melihatnya dia keluar gerbang gang seperti sebelumnya. Tanpa berganti pakaian lebih dulu, aku tengkurap begitu saja di kamar. Butiran-butiran hangat berpindah dari sudut mata ke sarung bantal pink bermotif bunga. Kesal pun tumpah dan sedikit berkurang bersamaan air mata yang menggenang.

“Mbak Angel kenapa?”

Suara Monica mengejutkanku. Kuusap mataku lalu menoleh ke arahnya yang baru pulang dari tarawih. Sekilas aku melihat sosok Mama dalam dirinya.

“Kamu enggak tarawih, Mbak?”

“Enggak, Ma. Lagi dapet, nih.”

“Mbak… Mbak… Alasannya kok selalu sama. Masa’ iya tiap hari selama sebulan Mbak halangan terus, si.”

Mama tersenyum. Melihatnya aku jadi salah tingkah sendiri. Ada ketegasan di balik candaan Mama. Selalu seperti itu cara Mama mengingatkanku untuk tidak pernah meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslimah, dulu, sebelum radang otak mengantarnya ke jalan tempat dia memulai langkah. Jalan kembali padaNya, setahun yang lalu.

“Kamu udah pulang, Nic?”

“Iya, Mbak. Mbak Angel kenapa? Ada masalah sama Mas Rajendra?”

Masalah sama Rajendra katanya? Anak sekecil itu tahu apa tentang hubungan cinta orang dewasa?

“Udah. Mbak enggak papa, kok. Mending kamu ngaji dulu, gih!”

“Iya, Mbak.”

Hanya dalam hitungan detik, lantunan ayat suci menggema memenuhi rumah kontrakanku. Monica, gadis yang baru tumbuh menjadi remaja kelas I SMA ternyata bisa menjadi lebih baik dariku. Dulu, seusia dia, aku lebih sering menghabiskan waktu di Senggigi bersama teman-temanku. Dan, kelakuanku semakin menjadi setelah mendapati kenyataan, bahwa Mama dan Papa memutuskan bercerai.

Saat ini, kebiasaan itu belum hilang sama sekali dariku. Apalagi saat teman-temanku selalu saja punya cara untuk menarikku kembali pada kesenangan semu itu. Dan, malam ini kembali terulang. Warna merah menyala dari ponselku. Dalam mode silent, warna merah memang satu-satunya tanda. Sebuah pesan singkat dari Akhtar.

“Aku meluncur ke tempatmu sekarang.”

Tanpa berpikir panjang, aku pun membalas pesan singkat itu.

“Oke!”

Tak sampai lima belas menit, aku, Akhtar, Donny, dan Renata telah duduk dalam sebuah mobil yang bergerak ke arah Senggigi. Ada harapan dalam diriku untuk menuntaskan resah dalam bergelas-gelas anggur merah. Sejenak kemudian aku telah lupa dengan buku-buku agama dari Rajendra yang teronggok begitu saja di kasurku.

“Maafin aku, Rajendra.”

*** bersambung ***

~ mo ~

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *