Dan, ada kalanya yang didoakan tak bisa begitu saja terwujud. Menunggu waktu yang tepat?
Adam
Matahari sudah tinggi saat aku membuka toko bukuku. Sengaja aku memundurkan jam buka karena sedang bulan puasa. Dua orang pegawai membantuku mengatur dan merapikan buku. Salah seorang di antaranya, gadis berjilbab, tampak sudah siap di depan meja kasir. Mereka berdua adalah orang-orang kepercayaanku. Mereka adalah saksi jatuh bangunnya toko buku yang kumiliki. Bahkan, sejak toko bukuku hanya berupa lapak kecil dengan sebuah meja di dekat pintu belakang kampus universitas negeri di Mataram sampai sekarang.
“Rina… Aku keluar sebentar, ya. Ada urusan.”
“Iya, Mas.”
Ya beginilah, risiko seorang atasan. Berat ya bahasanya? Atasan. Sebenarnya, si, partner kerja. Hanya saja mereka berdua, itu ikut aku. Jadi, rasanya tidak salah juga kalau aku menyebut diriku sebagai atasan. Tidak apa-apa juga kali, ya. Yang penting aku tidak pernah menyebut mereka berdua sebagai bawahan. Iya, kan?
Setelah memastikan semuanya baik-baik saja, aku pun melajukan mobil jeepku menembus jalanan Mataram yang lengang di weekend ini. Selalu seperti ini. Tak sampai lima belas menit, mobil melaju di by pass yang agak bergelombang. Beberapa mobil yang melaju telah aku dahului. Tergesa-gesa, si, tidak sebenarnya. Hanya saja ada keinginan yang menggebu untuk bertemu. Bayangkan saja! Enam bulan. Enam bulan sejak pertama kali bertemu dan akhirnya memutuskan jadian, baru kali ini bisa bertemu lagi. Kau bisa membayangkan, bukan? Cinta datang begitu saja. Dan, hari ini adalah pembuktiannya. Membayangkan itu semua, rasanya aku ingin cepat-cepat menjadikannya nyata. Keinginan membuncah dalam dada seiring doa-doa yang telah kutata.
Akhirnya, tibalah aku di loket untuk masuk. Bergegas kutarik nomor di mesin loket dan bergerak memutar menuju tempat parkir. Tak lama jejak kakiku menapak tangga berundak. Terpampang jelas di bola mataku sederet tulisan yang megah pada sebuah bangunan berbentuk lumbung. Bandara Internasional Lombok. Aku tersenyum bahagia dan bangga. Setelah hampir dua tahun bandara ini dibangun, akhirnya aku bisa menjejakkan kaki di sini juga.
Perlahan aku memasuki selasar yang ramai dengan pengunjung. Aku bergabung dengan mereka. Dengan berpegangan pada besi pembatas, sesekali mataku tertuju pada monitor di area kedatangan.
“Sepuluh menit lagi.”
Jarum pendek di jam tangan kananku kurasakan bergerak begitu lambat. Menunggu tidak pernah seperti ini. Sesekali sandal gunungku beradu dengan keramik putih yang bersih itu.
“Dug! Dug! Dug!”
Sepuluh menit pun akhirnya berlalu. Gelombang manusia tampak berjalan beriringan keluar dari pintu kedatangan. Kurasakan ada detak yang berbeda di dada kiriku. Tak lagi seirama detik waktu. Detak yang akhirnya membuatku tak sadar ingin melonjak-lonjak. Aku memang bukan anak kecil lagi, tapi setengah tahun penantian membuatku lupa dengan usia. Sungguh kebahagiaan yang campur aduk dengan kecemasan-kecemasan.
Gelombang manusia yang berjalan diakhiri dengan dua orang gadis fashionable yang berjalan beriringan. Salah seorang tampak menarik koper biru dongker, sedangkan seorang lagi tampak berjalan santai dengan tas tergantung di tangannya. Semakin lama, keduanya pun semakin mendekat. Aku tak lagi bisa mengenali detak jantungku sendiri.
Akhirnya, aku pun berhadapan dengan mereka berdua. Tatapanku lekat pada sosok berambut yang dicat coklat. Keanggunannya terpancar dari hidungya yang mancung. Ditambah dengan syal warna merah muda polos melingkar di leher jenjangnya. Tak beda jauh dengan manekin yang terpajang di toko fashion yang sering aku kunjungi. Sempurna.
Keduanya makin mendekat. Sementara aku, tak ada keberanian sedikit pun untuk mendekati atau menyapa mereka. Sebab bagaimanapun juga aku tidak kenal dengan mereka.
Tunggu! Mereka berdua, kan, penumpang terakhir? Kenapa aku tidak mengenalinya? Bukankah seharusnya mereka itu Jasmine dan Aline?
Aline
Shit!
Untuk pertama kalinya gue sebel banget dengan yang namanya Jasmine. Apa, si, mau dia sebenarnya? Iya memang, si, aku bisa sampai ke Lombok karena jasa baiknya. Dia yang mengatur semuanya. Tapi, bukan berarti dia bisa seenak jidatnya, dong, mengatur hidup gue juga.
Jasmine tampaknya mengerti dengan kegelisahan gue.
“Inget, Aline! Kita tuh ke sini untuk kerja! It’s our chance! Biggest chance!”
Gue hanya bisa diam mendengarnya. No comment gitu ceritanya. Kalau memang pure untuk kerja, enggak perlu juga dia menjelaskan terus-terusan seperti itu. Gue paham kalau gue harus profesional. Tapi enggak gini juga caranya. Jasmine sudah bertindak semena-mena pada gue. Dan, gue seperti biasa, hanya bisa diam saja. Persis sama kayak kerbau yang dicocok hidungnya.
“Alright, Jas! Up to you! Terserah elo aja, deh! Gue ngikut!”
“Nah! Gitu, dong! So, prepare yourself. Lima menit lagi klien menemui kita di sini. Okay?!
“Lhah?! Terus gimana adik elo, si Ronald?”
“Kecil itu mah! Bisa diatur entar.”
Gue benar-benar membisu dan mematung di kursi kayu lobi hotel bintang empat di pusat kota ini. Kali ini gue mati langkah. Parahnya lagi, gue sama sekali belum bisa kontak dengan Adam. Beuh! Pacar macam apa gue ini?
Gara-gara Jasmine yang memutuskan untuk memajukan flight karena klien sudah menunggu, tanpa konfirmasi dulu ke gue. Gila enggak tuh? Dan, ini bukan untuk pertama kalinya. Jasmine seringkali kayak gitu. Dan, bodohnya, belum gue sempat memberi tahu Adam, Jasmine langsung menyeret gue untuk bertemu klien, yang katanya kelas kakap.
Tak lama, seorang perempuan dengan anggun berjalan mendekat. Jasmine pun menyambutnya dengan hormat. Gue enggak mau kalah pastinya. Dengan lembut gue berkenalan dengannya. Dia memperkenalkan diri sebagai Ibu Samudra, istri pejabat di NTB yang aktif dalam upaya mengenalkan kain tenun khas Lombok. Kegalauan gue karena Adam langsung hilang begitu saja, bahkan saat obrolan hangat pagi itu baru dimulai.
“Gini, Mbak Jasmine, Mbak Aline. Terima kasih, lho, udah memenuhi undangan kami.”
“Sama-sama, Bu. Sebagai seorang kelahiran Lombok, saya bangga diundang dalam acara ini.”
Keduanya tampak tersenyum. Cantik. Begitupun gue. Entah mengapa, meskipun gue bukan asli Lombok, tapi ada kebanggaan tersendiri dipercaya ikut dalam event tahunan ini.
“Oya, Mbak Jasmine. Sesuai rundown yang sudah dikirim asisten saya, rencananya besok acaranya akan dimulai dari siang.”
“Iya, Bu.”
“Dan, semua peserta akan memakai pakaian rancangan Mbak Jasmine.”
“Terima kasih atas kepercayaannya, Bu. Saya sungguh tersanjung.”
“Oya, untuk pra acara, nanti malam saya mengundang Mbak Jasmine dan Mbak Aline buka bersama di hotel ini juga. Gimana?”
“Iya, Bu. Kami akan hadir.”
Dan, obrolan hangat enggak selesai sampai di situ saja. Obrolan panjang lainnya yang menjurus basa-basi pun tercipta. Bahkan, akhirnya saat siang tiba, Ibu Samudra mengajak Jasmine dan gue untuk melihat persiapan di venue.
Di venue, yang tak lain adalah di ballroom hotel ini telah menunggu beberapa model cowok dan cewek. Rata-rata mereka adalah anak kuliahan atau fresh graduate. Gue tahu dari wajah-wajah mereka. Beberapa di antaranya juga terlihat cowok dan cewek seusia gue. Sepertinya mereka adalah model senior. Mereka menyambut kedatangan gue dengan senyum lepas.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Langkah demi langkah mereka serius mengikuti gue. Sesekali, gue membetulkan posisi mereka yang kurang pas. Sampai akhirnya, pemantapan pun selesai. Catwalk yang masih belum rapi benar itu riuh oleh tepuk tangan.
Sore menjelang saat gue dan Jasmine pamit. Pun demikian mereka yang perlahan membubarkan diri.
“See? It will be a great fashion show, Aline!”
“Yeah! Of course, Jas. Thanks banget, ya. Elo udah percaya ama gue.”
“Hahaha… I have no reason untuk enggak milih elo, Aline. Elo yang terbaik.”
Gue pun tergelak saat berpisah dengan Jasmine ke kamar masing-masing. Di dalam kamar, gue merebahkan diri di atas kasur. Gue bukanlah Jasmine yang bisa mementingkan bisnis timbang hati. Dia bisa saja menomorduakan urusan rindunya ke Ronald, tapi gue? Gue enggak akan semudah itu. Selama ini gue selalu berdoa agar bisa bertemu Adam lagi sesegera mungkin. Tapi, apa? Apa?
Jari-jari gue menari lincah di atas keypad ponsel cerdas gue. Sederet kalimat pun tertulis sempurna.
“Dam… I’m really sorry. Gue belum bisa nemuin elo. Masih banyak yang harus gue selesein sama Jasmine.”
Perlahan kutekan tombol Enter. Sent!
Ronald
Weekend yang membosankan. Tak ada satu pun bisa saya kerjakan, kecuali menemani keluarga Pak Rajendra menghabiskan waktu di rumah sampai waktu berbuka tiba. Mbak Jasmine yang katanya sudah tiba di Lombok pun sepertinya enggan bertemu saya. Sebagai seorang adik, saya tahu persis bagaimana dia. Dia adalah seorang perfeksionis dalam pekerjaannya. Hal ini membuatku geleng-geleng kepala. Meskipun, sebenarnya itu yang saya kagumi dari dirinya. Dewasa, mandiri, dan cerdas. Meskipun kadang saya benci dengan keegoisannya, tapi bagaimanapun juga, dia adalah kakak saya. Dan, gambaran perempuan seperti dia, ada dalam doa-doa saya.
Dan, dari sekian perempuan yang saya kenal, saya menemukan Mbak Jasmine dalam diri Mbak Naomi. Keduanya sangat mirip. Diam-diam terselip namanya dalam doa. Ini sebenarnya yang ingin saya banyak ceritakan pada Mbak Jasmine. Tapi, apa daya, sekarang bukanlah waktu yang tepat.
Ah! Mbak Naomi. Seandainya saja saya punya keberanian untuk lebih dekat denganmu?
Naomi
Suara azan magrib menyadarkanku. Setelah berdoa, teh manis langsung kutenggak dari mulut botolnya. Gantian sepotong brownies memenuhi mulutku. Buka puasa yang tidak biasa. Sendirian di tempat sunyi seperti ini.
Kakiku yang telanjang sedikit terbenam dalam pasir pantai Nipah. Aku memang suka menyendiri di tempat ini. Selain bersih, aku suka sekali berburu sunset di sini. Sempurna.
Tak lama aku pun telah mengendarai motor matic-ku menuju masjid terdekat untuk salat magrib. Dan, di Lombok tidak susah untuk menemukannya. Selepas salat berjamaah, aku memutuskan untuk tetap tinggal. Bukan apa-apa, ada yang harus kutuntaskan dalam doa-doa. Tentang hidup dan rasa cintaku pada Pak Rajendra. Cinta yang aku sendiri tidak tahu kapan akan menemukan balasannya.
*** bersambung ***
~ mo ~
NB:
Maaf bahasa Inggrisnya kacau banget. Fufufu.