Bahkan hal-hal kecil yang kita dapatkan, tetap harus disyukuri. Tapi, bukankah tingkat kesyukuran seseorang itu berbeda?
Angelica
Tuhan… Dosa apa aku, kalau akhirnya Rajendra memutuskan untuk break? Aku sadar, sepenuhnya sadar malah, aku mungkin memang tidak pantas untuk dipertahankan dan diperjuangkan. Aku adalah aku. Iya. Aku bukanlah siapa-siapa. Yang bisa mengatur diriku adalah diriku sendiri. Bukan orang lain, termasuk Rajendra sekalipun. Punya hak apa dia mengatur-atur hidupku? Hidupku aku yang menjalaninya sendiri. Bersama Rajendra atau sendiri. Aku siap. Dua puluh empat tahun aku sendiri dengan beban hidup yang bukan bebanku sendiri. Yeah! Aku masih bisa dan akan terus bertahan. Demi hidupku dan demi adikku.
Satu hal yang patut aku syukuri adalah, bahwa aku masih punya teman-teman yang tak meninggalkanku saat aku membutuhkan penopang. Renat, misalnya. Meskipun aku tahu kadang tingkah lakunya membuatku mengernyitkan dahi, tapi sebenarnya dia baik. Baik banget malah.
Seperti hari ini. Dia tahu kalau aku sedang ada masalah dengan Rajendra, tapi dia menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Bahkan, semalam dia rela menginap di kontrakanku.
“Kamu kenapa, si, Nyet? Kusut bener.”
“I’m fine, kok.”
“Serius? Enggak usah bo’ong, deh. Aku tahu kali kamu lagi kenapa-kenapa.”
“Hih! Udah dibilangin juga. Ngeyel beud, si.”
“Rajendra? Kenapa lagi sama dia?”
“Hush! Udah, deh, Ren. Enggak usah sebut-sebut nama itu lagi.”
“Tuh, kan! Aku bener, kan, kamu lagi ada masalah sama Rajendra.”
“Iya juga, si.”
Untuk kesekian kalinya, aku kalah. Kuceritakan semua yang kualami pada Renata. Tentang Rajendra yang memilih break karena dia bermaksud untuk memastikan langkah selanjutnya.
“Hih! Cowok emang gitu kali, Ngel. Sok-sok minta break padahal dia emang pengecut.”
“Sedih juga, si, sebenernya. Tapi, mau gimana lagi, Ren.”
“Ya udah, sih. Tunggu aja sampai dia memintamu kembali padanya.”
“Heh! Enak aja! Aku mah ogah! Nunggu itu capek tauk?!”
Renata terdiam mendengar statement-ku. Dia tahu betul, bahwa aku telah lama menunggu Rajendra mengajakku menikah. Harapan yang sebenarnya jauh tinggi di angan. Setelah aku pikir-pikir, omongan Renata ada benarnya. Ini hanyalah trik Rajendra untuk menutupi kepengecutannya.
“Aku ngertilah. Kamu kira, kamu sendirian apa?!”
“Hahaha… Iya… Aku inget sama Dion si bocah kunyuk yang mantanmu itu.”
“Heh! Itu, si, emang enggak bisa diharepin, Ngel.”
“Terus siapa, dong?”
“Ronald.”
“Ronald? Ronald satpam di kantorku maksudnya?”
“Iya. Kenapa? Masalah?”
“Hahaha… Ren… Ren… Kamu ini, ya. Enggak pernah berubah dari dulu. Masak habis putus sama kunyuk mau cari pacar kunyuk lagi. Inget umur woi!”
“Diem kamu, Nyet! Ini masalah hati. Hati. Tahu enggak, si, kamu?”
“Hahaha… Hati kamu bilang? Pret! Makan itu hati.”
“Busyet! Frontal banget kamu, Nyet! Udah, ah! Ngantuk, nih. Aku mau tidur dulu, mimpiin Ronald.”
Kulihat Renata tertidur pulas. Wajar saja, si, sebenarnya. Pulang sahur on the road sampai selepas subuh bareng Donny sama Akhtar ternyata memang melelahkan. Terlebih obrolanku dengan Rajendra selepas tarawih. Tak lama aku pun merebahkan diri di samping Renata hingga siang menjelang.
Rajendra adalah orang pertama yang muncul begitu saja saat aku membuka mata. Apakah sebenarnya yang kurasa?
Rajendra
Hari Minggu yang membosankan. Sesiang ini aku tidak melakukan apa-apa, selain melahap setumpuk buku-buku agama. Sengaja kusuruh Ronald mengajak Papa dan Mama ke Sembalun. Aku tahu udara bersih bagus untuk kesehatan mereka berdua. Praktis aku hanya sendirian di rumah. Sengaja kutenggelamkan pikiranku dalam deretan kata. Tujuannya hanya satu, sedikit melupakan Angelica.
“Kamu serius, Raj?”
“Apa aku tampak melawak?”
Malam itu, selepas salat tarawih di sebuah kedai kopi di kawasan jalan Pendidikan, Angelica terdiam mendengar pertanyaanku. Padahal aku sendiri belum juga menjawab pertanyaannya.
“Emm… Enggak, si. Maksud aku, kamu serius ngajakin aku break?”
“Iya. Kenapa? Kamu enggak mau?”
Angelica kembali terdiam. Jemarinya mengaduk pelan kopi yang terhidang. Sementara aku, berusaha menahan diri untuk tidak meledak-ledak. Menahan sesak tidaklah semudah menahan keinginan untuk marah.
“Ya kalau emang itu baik untuk hubungan kita, it’s no problem.”
Hanya kata-kata itu. Kata-kata yang sebenarnya aku tunggu, tapi sebenarnya tidak ingin kudengar dari bibir Angelica. Gadis yang selama dua tahun mengajariku tentang kekuatan bertahan dan berjuang dalam hidup. Tapi, saat ini justru aku yang menyerah. Bahkan, sebelum aku menabuh genderang perang atas desakan Papa dan Mama untuk menikah. Masih ada satu hal yang membebaniku, sehingga aku memutuskan untuk menunda dulu. Berharap semoga keputusanku tidak salah.
Kuletakkan kacamata bacaku di atas tumpukan buku di meja kecil samping sofa tempatku duduk. Kurebahkan tubuhku yang perlahan terasa penat. Ternyata tidak semudah itu melupakan ingatan tentang Angelica.
Jempol dan telunjukku berpindah tempat ke sudut mata. Menangiskah aku? Tentu tidak. Aku hanya memijat-mijat pelan sudut mataku untuk menghilangkan kelelahan. Tapi, lelah hati tak semudah menyembuhkan lelah mata.
Di saat seperti ini, satu-satunya yang bisa melepaskanku dari jerat ingatan tentang Angelica adalah jalan-jalan. Kuputuskan untuk ke toko buku ‘Al-Hidayah’. Aku yakin akan ada koleksi yang layak baca. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan diri. Masih banyak waktu sebelum harus buka puasa.
Kupacu sepeda motorku menuju toko buku yang tak jauh dari rumahku. Dari kejauhan, kulihat pintu toko buku itu terbuka. Setelah kuparkir sepeda motor, kakiku menjejak pelataran berlapir paving block bercat hijau. Pelan tapi pasti, aku memasuki toko buku yang ramai pengunjung yang kebanyakan mahasiswa. Ada yang berpasang-pasangan, dan ada yang sendirian, seperti aku. Aku menyusuri rak-rak dengan buku yang diatur rapi sesuai jenisnya. Aku memilih ke toko buku ini dibanding ke toko buku dengan nama besar yang baru saja dibangun di Lombok. Ada alasan khusus, selain koleksi buku tidak kalah lengkap, toko buku ini menawarkan konsep yang Islami. Setidaknya aku tahu di belakang toko buku ini ada musala yang bersih dan di halaman belakang ada ruang baca terbuka yang disekat, untuk laki-laki dan perempuan. Pelayanan tak diragukan lagi. Bahkan tukang parkir di toko buku ini, tahu nama-nama pengarang buku yang terkenal. Entah program apa yang diterapkan oleh pemilik, sehingga semua yang berada dalam lingkaran toko buku ini sedikit banyak paham dengan dunia literasi. Aku suka.
Sampai di deretan kedua, aku belum menemukan bacaan yang kucari. Toko buku ini memang unik. Menyediakan buku sewaan sekaligus menjual buku-buku baru. Di deretan ketiga, aku menemukan sebuah buku ringan. Sebuah kumpulan puisi.
“Sepertinya ini akan menentramkan hatiku.”
Aku bergerak ke arah pintu belakang menuju ruang baca. Kurebahkan tubuhku di bantal yang ada di karpet ruangan terbuka dengan aroma wangi itu. Benar-benar surgawi. Aku mulai membaca dan terhenti pada halaman lima. Puisi singkat tentang kisah cinta yang diberkati Allah. Aku menerawang menatap ke hamparan rumput jepang. Hijau saat musim hujan. Mungkin seperti itu cinta yang dirahmati. Tumbuh saat keduanya saling butuh. Ah!
Adam
Dari kejauhan, di kursi dekat kasir, aku memerhatikan laki-laki itu. Lebih tua dariku. Kulepaskan pandangan saat dia menghilang di halaman belakang. Aku tahu, dia pasti sedang di ruang baca.
Aku tahu kebiasaannya. Tapi, sayangnya aku tak pernah ada keberanian untuk sekadar menyapanya lebih dulu. Ronald yang mengenalkannya padaku. Dia adalah bos Ronald.
Untuk menghilangkan kesan sok akrab, aku pun mengurungkan niat untuk menyusulnya ke belakang. Aku kembali menatap sederet kalimat di ponselku. Pesan singkat dari Aline. Kekasih yang hingga saat ini belum bisa aku temui.
“Dam… Aku masih ada show malam ini. Kita akan segera ketemu.”
Pesan singkat dan percakapan lewat telepon tidak menyembuhkan kerinduan. Aline tidak pernah menyebutkan di mana dia menginap. Aku tahu, dia sedang tidak bisa diganggu. Aku juga tahu, dia tidak ingin Jasmine mengetahui hubunganku dengannya. Kabar yang kudapat dari Ronald, mereka sedang ada job penting dari istri pejabat.
Ah! Aline… Kalau memang ini cinta, kenapa sulit sekali untuk bertatap mata?
Aline
Dam… Maafin gue. Gue belum bisa ketemu sama elo. Gue sudah ada deal sama Jasmine tentang job selama di Lombok. Gue enggak ada maksud untuk ngelupain elo.
Bayangan di cermin mendadak berkedip. Gue tersadar.
“Shit!”
Gue, kan, harus berdandan untuk show malam ini. Kenapa malah melamun? Gue tutup bekas airmata tipis di bawah kelopak mata.
Lhah?! Kenapa gue jadi mellow kayak gini, si. Tujuan utama gue ke Lombok, kan, memang untuk kerja. Kerja. Kerja, Lin. Kerja. Gue berusaha menguatkan diri dengan mengembalikan pikiran untuk fokus sama pekerjaan. Pekerjaan? Kesenangan, si, lebih tepatnya.
“Aline… Where are you?”
“Gue di kamar, Jas.”
Gue tutup sambungan telepon, lalu melangkah pelan ke arah lobi hotel. Jasmine telah menunggu di sana.
“Hei… What’s up? Elo abis nangis?”
“It’s okay, Jas. Gue baik-baik aja, kok.”
“Come on! Tonight is ours!”
“Iya, Jas. Gue ngerti. Enggak papa, kok. Serius.”
“Okay! So, let’s go! Kasihan Ibu Samudra kelamaan nunggu tuh!”
Gue mengikuti langkah kaki jenjang milik Jasmine menuruni tangga lobi. Agenda. Iya. Agenda. Bukankah selama ini hidup gue tergantung agenda Jasmine? Toh, selama ini gue enggak pernah punya agenda untuk diri gue sendiri, kecuali golden book yang gue miliki sejak SMP. Oh, God!
*** bersambung ***
~ mo ~