Senin, 15 Juli 2013
Naomi
Di gerbang masuk kantor, aku menemukan sebuah pemandangan yang aneh. Seorang brondong berdiri di dekat pos satpam menatap ke arahku.
“Dasar bocah tengik.”
Aku membuang muka, meninggalkannya yang langsung bengong. Aku yakin senyumnya seketika langsung menghilang. Tak sampai sepuluh menit, aku sudah sampai di ruangan. Aroma wangi menguar dari segala penjuru. Menenangkan. Sepagi ini sudah ada yang harus kukerjakan. Tanpa alasan sedang puasa, pekerjaan tetaplah pekerjaan. Meskipun masih sepi, tapi bukan alasan untuk menenggelamkan diri dengan kemalasan.
Aku berhenti tepat di samping meja kerjaku. Ada sesuatu yang membuatnya tampak berbeda. Seikat bunga mawar biru, teronggok begitu saja di sana. Ini bukan pertama kalinya memang. Tapi, tetap saja membuatku terkejut. Terakhir kali aku mendapatkannya sebelum aku putus dengan Randy — sekarang sudah menikah dengan teman kantornya — setahun lalu. Tangan kananku refleks meraih bunga itu. Mawar biru. Bunga yang sepagi ini telah membangkitkan mood booster-ku. Tanpa kusadari, aku pun tersenyum. Hanya seperti itu. Selebihnya, aku memilih langsung mengutak-atik beberapa berkas aplikasi baru sisa hari Jumat yang lalu. Belum sempat aku proses, karena memang waktunya mepet.
Setelah menyelesaikan satu aplikasi baru dari customer, iseng kuteliti kartu yang terselip di antara batangnya. Tak kutemukan apa-apa, selain ucapan selamat beraktivitas. Tanpa nama pengirim. Hanya inisial saja. R. Iya. R. Entah mengapa, ingatanku tertuju pada Pak Rajendra.
“Thanks atas sarannya, ya.”
“Nevermind, Pak.”
“Pilihanmu emang enggak pernah salah.”
“Itu juga hanya sepengetahuanku saja, Pak.”
“Iya. Tapi, serius. Buku puisi yang kubaca kemarin di Al-Hidayah itu keren banget.”
“Dalem banget maknanya, ya, Pak?”
Aku mendengar Pak Rajendra tertawa kecil di seberang sambungan. Dia menutup pembicaraan.
Bisa jadi, mawar ini adalah ucapan terima kasihnya padaku. Aku tak lagi bisa menyembunyikan senyumku. Kebahagiaan seketika membuncah. Kalau memang ini adalah cara Pak Rajendra meminta maaf, aku ikhlas, meskipun aku tahu, hatiku akan tersakiti oleh kebaikan sikapnya padaku.
“Entar pas jam istirahat ajalah.”
Satu per satu berkas selesai aku periksa. Tepat sebelum waktu istirahat. Kesempatan ini akan aku gunakan untuk menemui Pak Rajendra. Sebab aku tahu, pada saat puasa seperti ini, Pak Rajendra memilih i’tikaf di musala kantor untuk mengisi waktu istirahat. Dengan wajah berbinar, aku melangkah ke ruangannya, di deretan ruanganku juga.
“Assalamu’alaikum.”
Tak ada sahutan. Salam kembali kuucapkan. Masih tak ada balasan juga. Sampai salam ketiga terucap, aku bermaksud meninggalkan pintu ruangannya saat kudengar ada langkah kaki mendekat. Pak Rajendra, baru saja keluar dari ruangan Angelica, menuju ke arahku. Aku menunduk saat dia berdiri tepat di depanku.
“Naomi? Kamu ngapain?”
“Sa… Saya mau nganterin berkas ini, Pak.”
“Oh… Ayo masuk!”
Aku mengikuti langkah panjang Pak Rajendra. Aku tak menyangka, Pak Rajandra sangat pandai menutupi kenyataan yang ada. Bahkan, setelah apa yang sudah dia lakukan padaku tadi pagi. Kejutan yang manis. Meskipun, sebenarnya aku sama sekali belum paham, kenapa Pak Rajendra mendadak sangat baik padaku. Tidak seperti biasanya. Apa mungkin dia sedang ada masalah dengan Angelica. Rasanya tidak. Buktinya barusan dia keluar dari ruangan Angelica.
“Silakan duduk.”
“Makasih, Pak,” jawabku singkat sambil menyodorkan berkas-berkas yang harus dia tanda tangani.
Tak lama, berkas-berkas itu telah berpindah ke tanganku lagi. Senyum pun akhirnya berbalas saat aku hendak angkat bicara.
“Oya, Pak. Makasih. Makasih juga untuk bunga mawar birunya. Saya seneng banget nerimanya.”
“Tapi… ”
“Tenang saja, Pak. Saya tidak akan menceritakan hal ini pada Angelica.”
“Bukan begitu maksudnya… Saya… ”
“Iya, Pak. Saya bisa paham, kok. Kalaupun Pak Rajendra akhirnya tetep bersama Angelica, saya ikhlas menjadi yang kedua.”
“Naomi! Kamu ngomong apa, si?”
Bahuku sedikit terangkat saat Pak Rajendra membentakku. Aku tahu, bagaimana menghadapinya. Senyum termanis sengaja kulukiskan di bibirku.
“Pak Rajendra enggak usah malu-malu. Saya tahu, kok, kalau sebenernya Pak Rajendra juga ngerasain kebahagiaan yang sama kayak saya.”
“Naomi!”
Aku terkejut oleh bentakan Pak Rajendra untuk kedua kalinya. Aku benar-benar menyerah.
“Asal kamu tahu. Saya sama sekali tidak paham sama omongan kamu tentang bunga mawar biru atau apalah itu.”
“Jadi… ”
Aku bergegas pamit. Merah di pipiku tak bisa kusembunyikan lagi. Dan, sebentar lagi akan menjadi air mata. Keikhlasan pun berujung kesedihan. Jangan-jangan…
Ronald
Saya tersenyum-senyum sendiri di dalam mobil Pak Rajendra, menunggu sampai dia pulang. Puasa seperti ini, memang paling enak ‘ngadem’ di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, saya tersenyum. Hari ini saya sukses menyampaikan isi hati pada seseorang yang diam-diam saya kagumi. Mungkin kamu bisa menebak siapa gadis itu, kan?
Benar. Mbak Naomi. Memang, si. Sebenarnya saya tahu, saya bukanlah tipenya Mbak Naomi. Siapalah saya dibanding Pak Rajendra yang begitu digilainya. Saya hanya menebak saja, si, sebenarnya. Saya tahunya ya waktu itu, saat Mbak Naomi saya ajak ngobrol di pos satpam tentang Pak Rajendra. Saya tahu persis bagaimana perubahan wajah Mbak Naomi waktu itu. Kaget nyaris cemburu.
Cemburu? Tahu apa saya tentang cemburu. Mungkin ini perasaan yang saya alami sekarang. Mbak Naomi sepertinya tidak pernah berhenti berharap bisa mendapatkan Pak Rajendra. Padahal dia tahu, Pak Rajendra sudah menjadi kekasih Mbak Angelica. Tapi, namanya cinta. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Mungkin bisa jadi suatu saat sayalah orang yang dipilih oleh Mbak Naomi. Lhah?! Siapalah saya.
“Ron… Kamu kalau jatuh cinta itu mbok yang realistis.”
“Realistis gimana maksudnya, Kak?”
“Lihatlah dirimu? Kamu masih muda. Baru juga dua puluh dua tahun. Mbok ya cari yang seumuran. Lha ini, malah cinta sama Mbak-mbak yang udah hampir empat puluh tahunan.”
“Emang kenapa, Kak? Salah?”
“Salah, si, enggak. Yang salah itu, kamu enggak peka sama sikap Mbak itu ke kamu. Baru juga diajakin ngobrol, dikira jatuh cinta. Hahaha… ”
Memang, si. Setelah dipikir-pikir benar juga apa yang dikatakan Kak Adam waktu itu. Selama ini saya yang terlalu berharap. Padahal, sejauh ini, Mbak Naomi biasa-biasa saja bersikap.
Hmm…
Tetapi ini masalah hati. Saya benar-benar tidak paham dengan hati dan perasaan saya sendiri. Apa memang begini yang namanya jatuh cinta? Bisa jadi. Sudahlah. Siapapun yang saya cintai, tetap saya syukuri. Itu artinya saya masih punya cinta. Tapi, apa itu cinta? Entahlah. Mungkin perjuangan saya untuk mendapatkan hati Mbak Naomi bisa menjawabnya.
Rajendra
Sial! Kenapa aku memikirkan Naomi, ya?
*** bersambung ***
~ mo ~