Jika ada pilihan, ke manakah hati akan kembali? Ke masa lalu atau harapan yang lebih pasti?
Angelica
Lima menit sebelum jam istirahat. Ada harapan, hari ini akan sama seperti kemarin. Kamu tahu apa? Iya. Rajendra mengunjungiku. Baru membayangkan kejadian kemarin saja, aku bergegas merapikan jilbab. Kemarin, hanya beberapa hari sejak Rajendra memutuskan untuk break denganku, dia kembali menemuiku.
“Lagi sibuk?”
“Enggak juga, si, Raj. Kenapa?”
“Ke musala, yuk!”
“Iya. Duluan, deh. Entar aku nyusul,” kataku sambil mengalihkan pandangan dari matanya.
Sejenak kemudian, aku kembali menyibukkan diri dengan merapikan beberapa berkas. Pura-pura tepatnya. Sebenarnya dalam hati, aku merindukan saat-saat seperti ini. Saat dengan halus dia mengajakku keluar untuk cari makan siang sebelum bulan puasa.
Sampai sekarang aku heran pada diriku sendiri. Apa alasanku menolaknya kemarin? Apa aku tidak ingin kembali berhubungan baik dengan Rajendra? Atau memang ini adalah perasaanku yang sebenarnya? Tidak ingin bersama Rajendra lagi?
“Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam. Eh… Raj. Mari masuk.”
Deg!
Detak mendadak berubah menjadi debar. Tak beraturan. Aku gugup. Terlebih saat dia berdiri tepat di depan kubikelku. Mematung. Aku kian salah tingkah saat dia memberikan selembar kertas kecil berwarna merah muda padaku. Aku terima. Tatapan mataku tertuju pada sederet tulisan rapi milik Rajendra.
“Entar abis tarawih aku jemput, ya?”
Aku tidak habis pikir, setelah dia kembali menemuiku, lalu begitu caranya berkomunikasi. Apa dia tidak menghargaiku yang masih mau menemuinya?
Aku paham. Ini adalah cara Rajendra untuk menghindari pertengkaran. Seperti biasanya. Kuambil pulpen lalu kutuliskan jawaban di bawahnya.
“Ke mana?”
Kulihat Rajendra tersenyum membaca pesan dariku. Dia kemudian tampak sibuk menuliskan sesuatu di lembaran baru dengan spidol birunya.
“Toko buku. Mau?”
Lembaran itu ditempelkannya di bagian dalam kubikelku. Aku mengerutkan kening berusaha mengeja setiap kata yang ada. Tidak memakai kaca mata adalah penyebabnya.
Kuambil beberapa lembar kertas notes yang disodorkannya. Kutuliskan sebaris kalimat dan kutempelkan kertas berperekat itu di bagian luar kubikel.
Rajendra akhirnya memutuskan meninggalkanku, setelah dia mendapat jawaban dariku. Seperti ada yang menggerakkan kakiku untuk mengikutinya keluar. Sampai di pintu ruangan, aku menghentikan langkahku. Di lorong lantai dua itu, Rajendra melangkah hendak menuruni tangga, bersama seseorang yang kukenal. Kamu pasti mengenalnya juga, kan?
Rajendra
Jam istirahat kugunakan sebaik-baiknya untuk benar-benar istirahat dari keriuhan hidup duniawi. Kubulatkan tekad untuk bisa tetap seperti ini, bahkan setelah Ramadan usai. Duduk diam di musala. Berdoa, berzikir, dan membaca Al Quran. Sungguh aktivitas spiritual yang menenangkan. Dua sikap yang berbeda nyata-nyata ditunjukkan oleh dua orang perempuan dalam pikirannya. Angelica yang sepertinya enggan kembali dan Naomi yang bersikap aneh padanya sejak tragedi mawar biru kemarin pagi.
“Enggak papa, kok, Pak. Saya bisa mengerti. Bapak juga enggak perlu ngakuin kalau udah ngirim bunga mawar biru ke ruangan saya.”
“Naomi… ”
“Udah, Pak. Mungkin lebih dekat dengan Bapak adalah cara saya untuk kembali merasakan hangatnya cinta.”
“Naomi… ”
Aku sama sekali tidak bisa mencegah saat Naomi tiba-tiba mengungkapkan perasaannya padaku. Perasaan yang katanya sudah dia rasakan sejak dulu. Jauh sebelum aku mengenal Angelica. Dan, selama itu, aku sama sekali tidak pernah peka untuk menangkap sinyal-sinyal darinya. Sementara aku, lebih memilih dekat dengan Angelica. Kedekatan yang bermula dari rasa iba pada segala hal dalam kehidupannya.
Satu ayat, dua ayat dan seterusnya membuatku tenang. Di rumahNya, aku merasa kembali menjadi diriku sendiri. Aku yang tak pernah bimbang dalam mengambil keputusan, dan aku yang bisa mengintrospeksi kesalahan diriku sendiri. Dua tahun lebih bersama Angelica, aku tak pernah membahas tentang pernikahan. Bukan tidak berani berkomitmen. Hanya saja, masih ada ganjalan dari orang tua. Restu. Dari awal aku berhubungan dengan Angelica, Papa dan Mamaku memang tidak pernah setuju. Mereka beranggapan kalau Angelica tidak bisa berubah. Tapi, aku memiliki keyakinan, bahwa pada saatnya Angelica akan kembali menemukan dirinya yang sebenarnya. Dan, sesuai janjiku, aku akan membuktikannya pada kedua orang tuaku.
Waktu istirahat pun habis. Aku kembali ke ruang kerjaku. Kepalaku begitu saja bersandar pada kursi yang nyaman itu. Kutekan sederet angka, lalu terdengar nada sambung. Telepon pun diangkat dan terjadilah obrolan singkat setelah salam.
“Nanti malam saya ke sana.”
“…”
“Habis tarawihlah.
“…”
“Oke. Terima kasih, ya.”
Kututup dengan ucapan salam. Tekadku sudah bulat. Kali ini aku tidak boleh kembali gagal.
Adam
Sesiang ini aku hanya duduk di sofa dekat kasir. Sepi. Pelangganku yang rata-rata mahasiswa masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sementara pelanggan yang bekerja, sesiang ini masih banyak yang berjibaku dengan pekerjaannya. Di deretan rak buku anak, terlihat seorang ibu muda yang sedang memilihkan buku untuk anaknya. Selain itu, tak ada lagi kerumunan. Saat bulan Ramadan ini memang biasanya toko ramai saat mendekati waktu buka puasa atau selepas tarawih.
“Mas Adam kenapa, si? Rani liatin dari tadi bete gitu?”
“Enggak papa, Ran.”
Aku terpaksa berbohong. Tidak etis rasanya mengumbar masalah pribadi pada orang lain. Ini adalah perasaanku. Aku sendiri yang akan menyelesaikannya.
“Udah, Ran. Mending kamu salat dulu, gih! Gantian sama Nani.”
“Iya, Mas.”
Rani pun berlalu ke musala kecil di belakang toko buku. Sebuah ruangan yang menyambung dengan ruang baca, si, sebenarnya. Meskipun begitu, tetap nyaman. Pak Ahmad yang membereskan segala sesuatunya.
Aku beranjak saat ponselku berdering. Panggilan masuk. Ini adalah telepon masuk kedua yang kutunggu setelah sebelumnya ada panggilan dari orang yang sebenarnya tidak kutunggu. Aku berharap semoga kali ini benar. Sudah hampir sepuluh kali aku menghubungi, tetapi tak pernah bisa menyambung. Mataku menjelajah layar sentuh ponselku. Tertulis nama yang membuatku menghela napas kecil. Bukan yang kutunggu.
“Kak…”
“Iya.”
“Entar aku enggak buka di toko. Ada undangan buka bersama di kantor.”
Kututup panggilan dari Ronald. Kembali aku menekuni laptop di mejaku. Beberapa daftar judul buku tampaknya harus segera diupdate untuk memenuhi pelanggan. Awal Ramadan ini banyak sekali buku bagus yang terbit. Beruntung kerja samaku dengan penerbit buku Islami masih berlanjut hingga sekarang. Hal ini memudahkanku untuk update buku terbaru.
Belum sempat aku membalas email yang masuk, ponselku kembali berdering. Secara tak sadar, senyum pun terkembang. Aline, yang kutunggu selama ini.
“Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Gimana kabar elo, Dam?”
“Alhamdulillah baik, Lin. Kamu sendiri?”
“Alhamdulillah, malam amalnya berjalan lancar.”
“Alhamdulillah. Berarti waktumu udah longgar, kan? Kita udah bisa ketemu, kan?”
Sepi. Aline tak segera menjawab pertanyaanku. Hanya desah halus yang terdengar di seberang sambungan. Tanpa menjawab pun sebenarnya aku sudah tahu. Ronald telah memberi tahu aku sebelumnya. Tentang agenda malam amal di pulau Sumbawa. Nanti malam. Dan, aku tahu kalau saat ini sebenarnya Aline sudah berada di pulau Sumbawa.
“Ya udah. Enggak papa. Kamu yang semangat, ya?”
“Thanks, Dam.”
Sambungan telepon terputus, meninggalkan sesak di dada karena rindu. Aku tahu, ini bukan keinginan Aline, tapi kemauan Jasmine, atas dasar profesionalisme. Aku sendiri sebenarnya ingin bertemu Jasmine untuk sekadar memastikan keadaan bibiku, ibunya. Tapi, keadaan memaksaku untuk kembali bersabar dalam penantian yang hingga entah kapan.
Aline
Pertama kalinya gue secara maraton. Dari kota satu ke kota lainnya untuk kegiatan yang sama. Apa lagi kalau bukan peragaan busana dalam rangka amal. Bersyukur ibu pejabat sangat baik. Dia memberikan pelayanan yang memuaskan gue sama Jasmine. Bahkan, lebih bagus dibandingkan ibu pejabat di kota besar yang pernah gue kunjungi bareng Jasmine.
Gue buka koper dan mengatur beberapa potong baju di gantungan lemari. Sebuah baju muslim berupa terusan panjang berwarna orange dipadu dengan batik Sasambo. Anggun.
“Lin… ”
“Iya. Bentar, Jas.”
Gue buka pintu kamar dan membiarkan Jasmine masuk.
“Hei! Elo kenapa, Jas? Tumben kusut gitu?”
“Entahlah, Lin. Gue mendadak bingung sama diri gue sendiri.”
“Maksud elo?”
“Entahlah, Lin. Gue cuma ngerasa apa yang gue lakuin selama ini sangat egois.”
“What a hell are you talking about?”
Gue terkejut, dong, pastinya. Tumben Jasmine ngomong kayak gini. Dan, anehnya lagi di saat dia harus menyelesaikan proyek amal ini.
“Are you okay, Jas?”
“I don’t know, Lin. Gue ngerasa aneh aja.”
“Aneh gimana?”
Jasmine pun akhirnya buka mulut tentang apa yang dirasakannya. Inti pembicaraannya adalah, bahwa dia ingin segera kembali ke Mataram untuk berkumpul dengan keluarganya.
Keluarganya?
Hei! Wait! Wait! Wait! Berarti mereka adalah Ronald dan… Hmm… Adam. Iya. Hanya mereka keluarga Jasmine di Mataram. Tapi, kenapa tiba-tiba Jasmine ingin berkumpul sama mereka? I don’t know. Yang gue tahu, gue bahagia. Itu artinya gue bisa bertemu lagi sama Adam. Ah! I can’t wait! Really really can’t wait!
*** bersambung ***
~ mo ~