Ada kalanya melupakan adalah meraih kebahagiaan terbaik. Tapi, apakah melupakan cinta bisa semudah itu?
Ronald
Sepagi ini saya sudah duduk di pembatas pantai Loang Baloq. Saya sengaja pergi ke sini selepas salat Subuh hanya untuk memandang gunung Agung di kejauhan. Gagah. Seharusnya saya juga bisa seperti itu. Tapi, kenyataannya tidak. Saya tak segagah gunung Agung. Saya hanyalah seorang kerdil yang terlalu tinggi bercita-cita hendak memeluk gunung.
Suara orang-orang di sekitar saya masih terdengar riuh. Orang-orang yang mengunjungi pantai Loang Baloq pada bulan Ramadan sangat ramai. Dengan bermacam-macam tujuan pastinya. Seperti saya yang sedang berusaha melupakan seseorang.
Pandangan mata saya menumbuk sebuah bayangan yang sepintas lewat.
“Are you serious? Kamu udah pikirin masak-masak, Ron?”
“Udah, Mbak.”
“Hei! Come on, dude! You’re too young to falling in love with her.”
“Emang kenapa, Mbak?”
“Ronald… My bro. You know... Gue sama sekali enggak ngelarang elo untuk jatuh cinta. But… ”
“Tapi, kenapa, Mbak?”
Saya merasakan pelukan hangat Mbak Jasmine. Selalu seperti itu. Bahkan, saat saya sudah sebesar ini, pelukannya tidak pernah berubah.
“Forget her! Bukan untuk siapa-siapa. Ini untuk kebaikan elo sendiri, Ron.”
“Iya, Mbak.”
“Apalagi elo udah liat sendiri saat dia bersama Bos elo. She’s not choose you. Inget itu!”
Saya masih ingat betul dengan pesan Mbak Naomi sebelum berangkat ke Sumbawa. Pesan yang saat ini ingin saya lakukan, meskipun saya tahu ini tidak mudah. Ini adalah pertama kalinya saya jatuh cinta sejak saya putus dengan Ibu Ramona, dosen saya yang memiliki sifat-sifat seperti Mama. Ah! Mama. Saya mendadak mellow ingat itu semua. Betapa saya rindu dengan Mama. Rindu yang tak mungkin membuat saya lupa, bagaimanapun juga dia adalah Mama saya.
Saya hanya duduk dan membiarkan sepasang kaki dengan sepatu sport menggantung begitu saja menempel tembok pembatas. Pantai pagi ini begitu tenang. Mungkin seharusnya hati saya juga bisa seperti ini. Tapi, sayangnya tidak. Hati saya bergemuruh oleh badai besar. Sangat besar. Kata-kata Mbak Jasmine tentang Mbak Naomi mungkin ada benarnya. Saya harus melupakannya. Bisakah?
Naomi
Aku benar-benar gamang. Di satu sisi aku merasa bersalah, tapi di sisi lain aku tak bisa memungkiri, bahwa hatiku sudah ada yang memiliki. Meskipun itu versiku sendiri, si. Sebab kenyataannya aku sama sekali tidak bisa mendapatkan keinginan hatiku. Kedekatanku dengan Pak Rajendra selama ini hanya sebatas rekan kerja. Tak lebih. Meskipun, sebenarnya aku berharap lebih. Salah? Rasanya tidak. Di usiaku yang tak lagi muda, aku benar-benar butuh seseorang yang serius dalam sebuah ikatan pernikahan. Salah? Aku rasa tidak juga. Setiap perempuan pasti punya pemikiran yang sama denganku. Diakui atau tidak, keinginan itu pasti ada. Dicintai oleh orang yang dicintai.
Rajendra adalah harapanku. Selain mapan, dia adalah panutan di kantor. Seorang penceramah ulung yang bahkan sudah dianggap sebagai ustaz oleh orang-orang kantor. Tutur katanya, tingkah lakunya adalah cerminan seorang imam sejati. Itu yang membuatku tidak mudah untuk melupakan semua perlakuannya padaku. Meminta maaf saat dia merasa menyakitiku adalah tindakan seorang lelaki sejati, bagiku.
“Naomi… Maafkan saya. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Hanya saja, saya tidak ingin kamu berprasangka, bahwa aku yang telah mengirimkan kamu bunga.”
“Saya mengerti, Pak.”
Seperti itu. Hanya seperti itu dan aku bisa menilai lelaki macam apa dia. Seandainya saja saat ini aku sedang bersamanya. Mungkin sepagi ini aku takkan bingung menentukan langkah. Dan, sialnya langkah kaki hari ini harus menuju ke arahnya — di kantor. Terbayang, kan, bagaimana perasaanku saat harus bertemu dia?
Kulempar sebuah batu kecil. Tak sampai ke tengah. Hanya sebatas di bibir pantai. Bahkan nyaris tanpa riak yang ditelan oleh buih ombak begitu saja. Matahari belum tinggi saat aku meninggalkan pantai berpasir hitam itu. Kubersihkan sisa-sisa pasir yang menempel, lalu kembali ke area taman air. Setelah menyeberangi sungai kecil yang dangkal, aku mendongak ke arah pembatas.
“Sialan! Ngapain itu bocah pagi-pagi udah nongkrong di sini?”
Bergegas aku mengenakan alas kakiku. Dengan langkah cepat aku menjejak jalan kecil berlapir batu warna-warni yang ada di sepanjang sisi pembatas. Ada harapan dia tidak akan melihatku. Dan, sesampainya di parkiran, barulah aku bernapas lega. Tanpa pikir panjang kularikan motor keluar area taman air. Sejenak kemudian aku sudah berbaur dengan pengendara motor di sepanjang jalan besar itu.
“Mbak kenapa?”
Sial! Sial! Sial! Kata-kata itu mendadak memenuhi pikiranku. Hampir saja sebuah motor menyenggolku seandainya aku tidak segera mengembalikan kesadaranku. Motor maticku terus melaju. Dengan berdebar-debar, aku tiba di rumah. Rasa bersalah dan ketakutan sepertinya sedang mengejar-ngejarku. Rasa yang mendadak muncul setelah insiden beberapa hari yang lalu.
“Nih! Makan tuh bunga!”
Kulempar seikat mawar biru tepat di mukanya. Dia berusaha berkelit. Tidak berhasil. Beberapa bunga tampak rontok dan jatuh di teras pos satpam. Aku melihat dia hanya terpaku bengong menatap ke arahku.
“Mbak kenapa?”
Sampai sekarang aku tak pernah menjawab pertanyaannya karena memang aku tidak ingin menjawabnya. Tapi, semakin aku berusaha melupakan, ingatan tentang rasa bersalah semakin kuat mencengkeram.
“Aku kenapa?”
Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Ada sesuatu yang membuatku sulit untuk melupakan Ronald dan Rajendra juga tentunya.
Rajendra
Di kantor, aku mendadak berubah. Sepertinya ada yang salah. Aku bukan lagi seorang Rajendra. Entah berapa orang yang sudah aku marahi sepagi ini. Mulai dari office boy, tukang sapu, dan tak terkecuali Ronald yang hari ini tumben datang terlambat.
Atas saran Naomi, aku pun beranjak ke musala untuk salat Dhuha. Ketenangan hati kembali menghampiriku. Aku kembali menjadi Rajendra seperti dulu lagi. Di dinding belakang musala aku bersandar. Tanpa kusadari, Ronald telah duduk di sampingku.
“Kamu enggak jaga di depan?”
“Gantian jaga sama Roy untuk salat Dhuha, Pak.”
“Oohhh…”
“Maafin saya karena udah terlambat tadi pagi, ya, Pak.”
“Udah. Udah saya lupakan. Enggak papa. Asal besok-besok enggak lagi-lagi.”
“Iya, Pak.”
Anak muda keturuan Tionghoa itu pun akhirnya bersiap untuk salat. Kugerakkan tangan untuk mempersilakannya. Sementara aku, sengaja bersandar di dinding. Siapa tahu dengan bercerita, semua akan baik-baik saja.
“Ron… ”
“Iya, Pak.”
“Kamu udah punya pacar.”
“Yah! Bapak. Mana ada cewek yang mau sama seorang satpam merangkap sopir.”
“Heh! Enggak boleh gitu. Pekerjaanmu kan pekerjaan mulia. Jadi enggak boleh merendah gitu. Semua pekerjaan itu sama asal halal.”
“Iya, Pak. Maaf.”
Kulihat Ronald tersenyum. Obrolan pun berlanjut sampai tentang seseorang yang mendadak hadir dalam pikiranku.
“Ron… Kamu tahu Naomi, kan?”
“Oh… Mbak Naomi? Saya tahu, Pak. Tahu banget malah.”
“Menurut kamu, dia itu gimana, sih?”
“Mbak Naomi orangnya baik, kok, Pak.”
Aku menghela napas. Bagiku penilaian baik terhadap seseorang punya standar yang berbeda. Dan, baik menurut Ronald belum tentu menurutku. Tapi, setidaknya aku punya gambaran. Mendadak aku ingin tahu segalanya tentang Naomi. Aku hanya berharap, memikirkan Naomi bisa membuatku lupa, bahwa Angelica telah membuatku sakit hati karena mengingkari janjinya untuk bersamaku ke toko buku selepas tarawih dua malam lalu. Tak ada lagi cara untuk memperbaiki hubunganku dengan Angelica, sepertinya.
Angelica
Di kubikelku aku terdiam. Beberapa berkas yang harus kuperiksa hanya aku lihat saja tanpa menyentuhnya. Bosan. Bosan pada kehidupan percintaanku sendiri. Hidup dalam cinta yang membuatku seakan gila. Bayangkan saja! Saat ada kesempatan untuk melupakan kesalahan dan memperbaiki kesalahan, tetapi ternyata ada hati lain yang mendadak hadir. Mengacaukan segala yang hampir tertata. Membunuh harapan yang baru saja kembali menetas.
Selembar tisu teronggok di atas meja. Basah.
Apa yang kutangisi?
*** bersambung ***
~ mo ~