Purnama datang lagi. Sekali lagi binarnya semburat di sepanjang nadi. Tanpa henti hingga kembali menuju hati. Ini hanyalah sebuah pertanda. Bukan apa-apa. Aku sudah bosan dengan kelam kehidupan. Hidup yang selama ini aku jalani dalam sebuah alur balas dendam tak berkesudahan.
Mungkin terlalu menyeramkan jika disebut balas dendam. Sebab ini sejatinya hanyalah kisah yang sama dengan tokoh yang berbeda. Kali ini bukan ayahku yang biadab saat aku berusia lima tahun, tetapi aku yang telah berusia tiga puluh tahun. Biadab jugakah? Ah! Entahlah! Bisa jadi. Tapi, biadab jugakah namanya jika didasari suka sama suka? Bagi sebagian mungkin tetap saja sama. Sebab yang kulakukan tetaplah melanggar norma dan juga aturan yang ada.
Aturan? Apa itu? Aku bahkan tidak pernah untuk berusaha mengetahuinya. Bukankah dulu ayah juga seharusnya paham tentang aturan itu? Lalu kenapa dia tetap memaksakan kehendaknya padaku? Aku. Iya. Aku yang bahkan tidak pernah paham dengan apa yang telah terjadi waktu itu. Hanya tangisan dalam lautan merah yang bernama darah. Lahir dari perih dan meninggalkan pedih. Saat itu yang kutahu hanya satu, diam lalu memilih pergi bersama Ibu dengan ayah baruku.
Ada harapan perih tak lagi menjelma sedih. Tidak semudah itu. Sebab hingga usiaku beranjak lima belas, rembulan di langit tidak pernah sekalipun merona merah. Kata ibu, itu mungkin penyakit yang harus segera dibasmi agar musnah. Di sebuah negeri yang teknologi kedokterannya sangat maju, aku pun menurut pada Ibu. Berdua akhirnya melaju di antara deretan sakura, menuju rumah sakit ternama.
“Semua baik-baik saja. Hanya saja diperlukan usaha untuk lebih menenangkannya,” kata seorang dokter muda selesai memeriksa.
Ibu mengangguk. Paham. Setelah sepuluh tahun memendam, yang berarti lima belas tahun lalu, aku pun akhirnya bersuara tentang segala awal mula. Ibu tetap berusaha tegar, meskipun gejolak amarahnya tidak bisa disembunyikan. Bagi Ibu yang terpenting adalah aku bisa kembali seperti sedia kala.
Hingga akhirnya ayah baruku wafat. Aku menjadi pewaris tunggal segala kekayaan, termasuk stasiun televisi kenamaan. Beruntung aku memiliki asisten yang bisa diandalkan dan Ibu yang mengarahkan. Hanya saja, Ibu tampak kesepian. Berkali-kali kutawarkan pilihan, dia menolaknya. Siapa saja yang penting dari Indonesia, katanya.
Sedangkan aku, sama sekali tidak ada ketakutan saat langkah kakiku adalah kesendirian sebuah petualangan. Kali ini berbeda. Aku sengaja meninggalkan deretan sakura dan berencana menggantinya dengan pohon kelapa. Tempat pertemuan yang mungkin paling romantis dengan seorang lelaki yang kusebut kolega. Seorang lelaki dewasa yang pernah kutolak pinangannya. Seorang lelaki yang kuinginkan mempunyai status yang berbeda. Bukan sebagai suamiku tentunya.
Kau tahu? Deretan pohon kelapa itu berada tepat di kota kelahiranku. Tempat segala kesedihan berasal. Di tempat itu, untuk pertama kalinya aku dijamah dalam pasrah karena ancaman dan juga rasa amarah.
Jejak-jejak ingatan dua puluh lima tahun silam tercetak jelas. Kamar kecil warna-warni berpendar di setiap sisi ruang ingatan. Kepalaku mendadak berputar saat melihat boneka bermata biru di atas meja belajar. Stacy… Aku merindukanmu. Masihkah kau di situ?
Kutinggalkan bandara lalu menuju suatu tempat dengan kenangan di dalamnya. Di depan sebuah lahan kosong, aku terpana. Rumah dinas itu sudah tidak lagi ada. Kabar yang kuterima, sengaja dipindahkan sejak ada kejadian bunuh dirinya seorang walikota dua puluh lima tahun sebelumnya.
Ayah. Semoga kamu tenang di sana. Mungkin kau heran kenapa aku bisa memaafkannya. Tidak mudah memang, tapi menurutku menyimpan dendam sudah tidak ada manfaatnya. Bukankah dia telah menemukan balasan yang sudah seharusnya.
Langkah kakiku menjauh dari lahan kosong itu. Kali ini bergerak pelan naik ke sebuah taksi berwarna biru. Aku tahu ke mana harus menuju. Bingarnya aku tahu dari internet di ruanganku. Zaman sekarang tentu tidak sulit menemukan informasi letak surga, bukan? Dan, kali ini aku menemukannya di tanah kelahiranku.
Kau mungkin tidak tahu di mana aku berada saat ini. Tidak penting juga. Tapi, tidak ada salahnya aku berikan sedikit informasi saja agar kau tidak tersesat karenanya. Saat ini aku berada di sebuah surga dengan deretan pohon kelapa di sepanjang pantai indahnya. Jika kau belum tahu juga. Mungkin kau hanya perlu membuka kembali buku sejarah dan geografi untuk mengetahuinya. Atau mungkin sebaiknya kau tidak tahu saja, agar semua rahasia tetap terjaga di antara kita. Begitu lebih baik sepertinya. Kau bisa mengira-ngira keberadaannya. Kau pun juga bisa menentukan sendiri di mana aku berada. Sebagai tokoh, aku juga berhak memberikan kesempatan kepadamu untuk menjelajahi ruang bersama. Ikutlah denganku, lalu larutkan diri dalam ruang tak bernama yang hanya dirimu sendiri yang tahu. Impas, kan?
Di sini, saat ini. Aku memutuskan tinggal untuk sementara guna menemukan surga pembalasan melalui pencarian talent baru untuk program televisiku. Aku yakin hal ini akan sangat mudah. Selain keterbukaan masyarakat, di sekitar tempatku menginap banyak sekali berkeliaran nafsu syahwat. Apa susahnya. Tinggal membusungkan dada, perhatian akan tertuju padaku semua.
Senja merapat. Di kursi panjang di atas pasir putih, aku mengumbar syahwat. Pakaian renang two pieces merah menyala menggoda. Dan, benar saja. Dalam hitungan detik seorang pria berkulit gelap jatuh dalam pesona. Dia perlahan mendekat, lalu menyorongkan dada bidangnya. Tergodakah aku? Iya. Tentu saja. Tetapi bukan dia yang aku cari. Aku punya standar sendiri, maksimal tiga belas tahun di bawahku. Aneh? Ah! Aku rasa tidak. Toh, di usiaku yang sudah tiga puluh tahun tak ada kerutan yang menandakan usia. Jadi, biasa saja.
Lelaki kedua kali ini berbeda. Raut wajahnya seperti tidak berdosa. Sama persis dengan usianya. Dari bibir tipisnya aku tahu dia sedang membutuhkan lembaran uang dengan nominal yang cukup untuk membeli seragam sekolahnya.
“Kamu kelas berapa?” tanyaku sambil membiarkan jemari menari di sela-sela rambut ikalnya.
“Kelas dua SMA.”
Sesuai perkiraanku. Dia yang aku cari. Otak besarku pun menyusun rencana. Di kamar penginapanku, dia menjelma kerbau yang dicocok hidungnya. Pukulan, hantaman, dan cambukan meninggalkan bekas di tubuhnya, melahirkan kepuasan dalam rongga dada. Seperti itu dulu ayah memperlakukanku.
Dan seperti yang aku duga sebelumnya. Begitu mudah menaklukkan gelora jiwa muda. Permainan usai sudah. Kuselipkan lembaran rupiah ke dalam celana dalamnya yang basah. Lalu setelahnya, aku kembali sendiri. Ada yang tidak biasa dalam aliran darah. Benar. Rembulan merah mendadak muncul dari sebuah celah. Ini memang saatnya.
Menit meretas detik, pun hari meretas jam dan menit demi menit. Seminggu petualanganku telah ada tujuh lelaki berusia lima belas hingga tujuh belas tahun menjadi santapan cambuk dan alat sejenisnya dengan kedok audisi. Sementara di sebuah celah, rembulan merah kembali tersenyum.
Hingga akhirnya, rembulan merah pasrah. Tepat setelah tiga puluh lelaki segar menjadi santapan di penginapan ini, aku ingin menutupnya dengan hal yang berarti. Seorang lelaki, yang benar-benar sudah menjadi lelaki sejati, datang menghampiri. Dia berasal dari kota dengan bangunan megah sebagai tanahnya dan kepalsuan sebagai langitnya. Kau pasti tahu tempatnya.
Malam ini dia datang sendiri. Membawa berkas-berkas dengan pakaian rapi. Aku tahu itu adalah cara mengelabui anak dan istri. Kali ini bukan untuk audisi, tetapi menyiapkan sebuah kerjasama stasiun televisi.
“Silakan duduk.”
Aku melepas jas hitamnya, lalu menggantungkannya di lemari. Menjadi satu dengan baju-bajuku yang tertata rapi. Setelahnya aku kembali menghampiri.
“Mau minum apa?” tanyaku membuka mini bar di bawah pesawat televisi.
“Air putih saja.”
Jawaban singkat yang membuatku menghentikan niat membuka kulkas berukuran mini. Kepalaku berubah posisi. Kali ini menatap lekat lelaki yang merebahkan diri. Kedua tangannya membentang dengan kaki mengangkang. Kancing bajunya sudah terbuka setengah.
Kau pasti heran kenapa dia seperti itu. Jelas saja. Ini bukan pertama kalinya. Berhubungan dengannya sekian lama sebagai relasi, membuatku dan dirinya dekat. Dan, tak perlu kuceritakan sedekat apa. Cukup kau tahu saja cara dia menurunkan ritsleting celana panjangnya.
“Kamu tidak berubah, George. Masih saja menyukai air putih.”
“Kamu juga tidak berubah, Merry. Masih saja mencintai lelaki beristri ini.”
“Enak saja!”
Aku menyodorkan segelas air putih dalam senyuman. Sekali tegukan selanjutnya berganti ciuman. Begitu saja. Jika kau berharap lebih, kau salah besar. Mencintainya bukan berarti aku menyerahkan segalanya. Kau tahu kenapa? Sebab jika aku terlena, bisa saja rembulan merah enggan keluar dari celah meskipun saat seharusnya sudah tiba. Itu yang kutakutkan. Berbeda halnya hubungan dengan lelaki berusia lima belas sampai tujuh belas tahun. Aku tidak melakukan sepenuhnya. Hanya sekadar menyiksa tanpa rasa cinta. Itu sebabnya, rembulan merah setia menemani hingga berakhir masanya dia pergi.
“Ikutlah bersamaku. Kamu belum pernah melihat sakura, kan?”
Dia menggeleng di sandaran ranjang. Sementara di depannya, tubuhku perlahan meliuk dalam tarian. Kau jangan heran. Ini adalah salah satu kesepakatan kerjasama. Tanpa sentuhan yang sama-sama menguntungkan.
“Untuk apa? Bukankah kau masih ingin berteman dengan rembulan merah yang muncul di celah?”
Aku menghentikan liukan tubuhku. Menggantinya dengan posisi menunduk menumpukan kedua tangan di ujung ranjang, di dekat kedua kakinya yang mengangkang.
“Setidaknya kamu tidak perlu lagi repot bekerja dan mengurusi anak dan istrimu tercinta.”
Dia memajukan tubuhnya. Kali ini wajah bersihnya tepat berada di depan wajahku dan berkata, “Begitulah cinta seharusnya. Kau tahu apa itu cinta? Hahaha…”
Tawa kemenangannya menggema saat tubuhnya kembali rebah di ranjang.
“Sialan!”
Aku menghentikan gerakan dan memasang kembali lingerie-ku.
“Terlambat, Merry! Aku sudah punya keluarga. Hahaha…”
Aku memilih beringsut. Di depan kaca besar kamar mandi, aku mengamati wajahku. Tidak terlalu buruk untuk mengenal cinta, dari dan untuk lelaki.
“Tidak perlu!”
Rembulan merah muncul dari celah. Sesaat kemudian berbentuk sempurna dan melanjutkan kata-katanya, “Lelaki tidak pantas mendapatkan cintamu. Ingat! Siapa yang sudah menghancurkan hidupmu hingga Randy meninggalkanmu di malam pertama pernikahanmu? Ayahmu! Dia lelaki, bukan?”
Aku termangu membenarkan kata-kata rembulan merah tanpa amarah. Keputusanku sudah bulat untuk tidak lagi mengikutsertakan cinta saat saling jamah.
Kini, di sampingku George sudah pulas. Aku pun menyusul dengan posisi membelakanginya. Keberhasilan menuntaskan keinginan semacam dendam pada lelaki berusia belasan melahirkan sebuah kekalahan. Telak.
“Maaf. Aku gagal membawa George untukmu, Bu.”
Setelahnya, kutetapkan kisah rembulan merah tidak akan pernah berakhir hingga masanya tiba dia tidak lagi hadir.
~ mo ~