Kupu-kupu Biru

Gerimis. Selalu ada tangis luruh bersamanya. Bukan saja rintik di sudut mata, tapi juga ruang hati. Gelap. Tertutup awan yang tiba-tiba saja datang seolah tak mau kalah dengan butiran hujan.

Kumatikan rokokku pada asbak kayu berhiaskan pecahan kulit telur yang ada di sampingku. Sekilas kulirik seseorang yang masih mematung bersandar pada daun pintu, perempuanku. Setidaknya menurutku.

Perempuan cantik, yang meskipun kalah cantik dari ibunya, tapi memiliki aura yang lebih kuat. Perpaduan sempurna Jawa – Italia. Mungkin waktu yang bersekutu dengan ujian telah menguatkannya. Tak ada gurat kesedihan sama sekali di wajahnya yang tirus.

“Kamu mau aku buatin kopi?”

“Nggak usah.”

Singkat. Selalu seperti itu. Tatapannya masih lekat pada sekumpulan mawar. Mawarku. Seharusnya seperti itu, dan aku yang akan jadi kupu-kupu biru. Air yang tercurah begitu saja, membuat dahannya bergerak-gerak. Sama persis dengannya saat ini.

Tiba-tiba saja keheningan ini menyiksaku. Hening yang hanya bisa diterjemahkan oleh hujan sebagai sesaknya rongga dada. Sebaris kalimat memecahkan kebisuan nyata antara dua manusia, tanpa tatap mata, tanpa suara.

“Eh…Nin. Coba, deh, kamu perhatikan mawar itu!”

Nindy mengikuti arah telunjukku pada sekuntum mawar yang mulai layu dengan tatapan yang sama. Kosong. Pandangannya terpaku pada mawar yang beberapa kelopaknya tampak sudah gugur.

“Emang kenapa dengan mawar itu, Ar?”

“Menurutmu, udah berapa kupu-kupu yang menghinggapinya?”

“Penting, ya?”

“Nggak juga, sih. Aku hanya pengin tahu aja, kok. Itu juga kalau kamu nggak keberatan untuk menjawab.”

Aku mencuri pandang ke arahnya. Nindy menghela napas. Kulihat tangannya meremas kertas menjadi gumpalan. Aku tak mau tahu entah kertas apa itu.

“Ar…dengan cara apa lagi aku harus meyakinkanmu kalau aku baik-baik aja? Apa kata-kataku tidak cukup membuatmu mengerti? Aku tak peduli dengan apa yang terjadi pada mawarku yang sudah mekar itu. Entah berapa kupu-kupu atau kumbang atau apalah yang sudah menghinggapinya. Aku hanya peduli pada ayahku. Titik.”

Rasanya semakin lama aku memahami bahwa buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Watak Nindy sama persis dengan ibunya, nyonya Astari, perempuan yang telah mengajariku arti ketabahan tersebab kehilangan. Aku selalu memilih diam saat pembicaraan mulai menjurus ke arah Tuan Antonio, ayahnya. Bagaimanapun juga itu adalah wilayah pribadi Nindy. Dan, aku hanyalah seorang penjelajah waktu menjelma kupu-kupu biru, hinggap dari mawar satu ke mawar lainnya. Entah sampai kapan.

 

NB: #FFBerantai dimulai dari “Senin” (@rin_hapsarina) – “Sekeping Puzzle” (@momo_DM) – “Mawar yang Mekar” (@rin_hapsarina) –

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *