Macet. Panas. Bercampur aduk jadi satu. Tak beda jauh dengan hatiku saat ini. Entah rasa apa lagi yang ikut bercampur mempercepat detak jantungku. Rasa yang baru kali ini benar-benar membuatku seperti berlari di padang tandus berduri. Dan, itu berasal dari tatapan penuh makna seorang laki-laki di trattoria. Bukan menatapku, tapi Nindy.
Aku bisa membaca dari sorot mata yang selalu hadir dalam cerita Nindy. Penuh kerinduan.
‘Damn it!’
Aku hanya bisa merutuk dalam hati sambil terus mengemudikan mobil tua hendak meninggalkan kawasan Kemang. Sementara Nindy masih terdiam di sampingku. Aku bisa merasakannya seperti saat aku mengamati selembar foto yang kutemukan di bawah meja trattoria.
Belum satu detik, aku memutar balik meninggalkan rumah yang tampak sepi dan aman-aman saja itu.
“Mau kemana lagi, sih, Ar?”
“Tenang, Nin. Nanti kamu juga tahu sendiri kita akan kemana.”
“Tapi ayah, Ar!”
Aku tak memedulikan perkataan Nindy dan terus meluncur ke Soriano Trattoria. Terdengar suara berdecit saat mobil terparkir sempurna di areal depan trattoria itu.
“Turunlah, Nin. Nggak baik kita pulang bawa kenangan.”
“Ta…ta…tapi, Ar?!”
Aku membekap mulut Nindy dengan lembut. Tatapan mata tak bisa dihindarkan. Tatap mataku jauh merasuk ke bola mata Nindy. Aku menyelam dan berusaha menemukan ‘sesuatu’ di dalamnya. Terbaca masa lalu yang aku sendiri tak tahu pasti seperti apa itu. Aku hanya menemukan labirin dan Nindy tengah berlarian ke sana ke mari, sendirian. Sama seperti yang ada di mataku, kalau Nindy bisa menemukannya.
“Nin, selagi ada kesempatan, temukan pintu keluar dari labirin masa lalumu,” ujarku sembari mengecup keningnya.
Nindy hanya diam dan terpejam saat kulepaskan tanganku dari bibirnya. Detik berpacu dengan detak jantung yang semakin tidak teratur. Perlahan kudekatkan bibirku ke arah Nindy. Sama sekali tak ada penolakan dari Nindy.
Tidak kurang dari satu milimeter jarak antara bibirku dengan bibir Nindy, aku mengurungkan niatku. Ah! Ini tidak boleh kulakukan pada Nindy. Kulepaskan kedua tanganku dari pipi Nindy. Aku kembali bersandar pada jok empuk di belakang kemudi. Nindy pun kembali ke tempat duduknya semula. Diam. Datar. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Entah apa yang akan dilakukannya saat ini.
#FFBerantai (baca berurutan, ya?! 🙂 )
- “Senin” (@rin_hapsarina)
- “Sekeping Puzzle” (@momo_DM)
- “Mawar yang Mekar” (@rin_hapsarina)
- “Kupu-kupu Biru” (@momo_DM)
- “Selembar Foto” (@rin_hapsarina)
- “Labirin di Bola Mata” (@momo_DM)
- … .
jiah.. ga jadi dicium 😛
labirin di bola mata bagus judulnya 🙂
Makasih, ya. 🙂