“Lo enggak pengin nengokin makam bokap sama nyokap lo, Bos?”
“Ogah! Yang udah mati, biarin sih mati. Ditengokin juga enggak bakal hidup lagi, kan? Lagian gue juga udah lupa kampung halaman gue tuh di mana.”
Ini bukan pertama kalinya Ferdi, sahabat dan asisten pribadi sekaligus wakilku, bicara seperti itu. Dan, pembicaraan selalu saja berujung pada sebuah ceramah panjang tentang keluarga lengkap dengan silsilah dan keturunannya. Sebuah topik yang selama ini tidak pernah ada dalam daftar kamus kehidupanku. Aku tak pernah keberatan saat ia membuka topik tentang itu. Sepuluh tahun kedekatan sejak aku memimpin perusahaan ini telah menghapus jarak antara aku dan dirinya. Beruntung Ferdi bisa profesional saat menjadi asisten pribadi atau sahabat.
Keluarga?
Apa itu keluarga? Sekumpulan orang yang mencariku saat mereka butuh bantuan dana? Iya? Menurutku, keluarga tidak seperti itu. Aku punya deskripsi sendiri tentang apa itu keluarga. Sekumpulan orang yang bisa diajak berbagi tawa saat aku melakukan perjalanan ke luar negeri. Salah jika aku punya deskripsi seperti itu? Tentu tidak. Bebas, kan?
Deskripsi buatanku sendiri itu menjadi pegangan hidup setelah tahu bahwa aku tidak pernah mengenal kedua orang tuaku. Setidaknya seperti itu kebenaran yang diceritakan oleh mendiang ayahku, pemilik travel agent di Jakarta yang saat ini kukelola.
“Lo enggak boleh ngomong gitu, Bos! Gimanapun juga, mereka tetep orang tua kandung lo. Bisa kualat lo entar.” Telunjuk jari Ferdi mendadak tepat berada di depan hidungku.
“Hahaha…”
Sesat setelahnya, di atas sebuah kursi kayu, tubuhku sedikit berguncang. Tawaku menggema di sudut kafe, salah satu unit usahaku juga yang bersebelahan dengan kantor utama. Suasana kafe yang sepi karena sudah jam pulang membuat tawaku terdengar membahana.
“Ferdi… Ferdi… Masih percaya aje lo sama begituan. Mitos itu. Enggak ada istilah kualat di zaman sekarang,” kataku sambil memukul-mukul meja bundar dari kayu jati di hadapanku. Beberapa benda dari kaca terdengar beradu menimbulkan suara denting tak beraturan.
“Bos… Kualat enggak kenal zaman, lho!”
Aku melihat tatapan serius di kedalaman mata Ferdi. Tidak seperti biasanya.
“Udah, Fer. Mending lo siepin aja deh untuk keberangkatan gue ke Athena.”
Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan untuk sedikit menenangkan debar yang mendadak singgah. Aku juga berusaha meredamnya dengan meneguk air putih hangat hingga tandas. Setelahnya, gelas bening berukuran besar itu beradu dengan permukaan meja kayu.
“Bos… Bos… Ke luar negeri muluk mainnya. Sekali-kali jelajah Indonesia napah?” Ferdi bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kayu.
Aku tidak segera menanggapi pertanyaannya. Ia juga sudah seringkali melontarkan pertanyaan yang sama setiap aku memintanya untuk menyiapkan perjalananku ke luar negeri. Biasanya aku hanya diam untuk menjawabnya. Namun tidak kali ini.
“Hahaha… Jelajah Indonesia? Apanya yang mau dijelajahi, Fer? Korupsinya? Carut-marut hukumnya? Intoleransinya? Hahaha…,” aku terus tertawa sampai akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kata-kata, “Fer… asal lo tau, ya. Dana traveling gue di bank khusus masih cukup buat seneng-seneng di luar negeri. Untuk apa aku menjelajahi Indonesia? Males gila liat sampah berserakan di mana-mana. Males juga liat masyarakat enggak sadar sama sekali sama kondisi wilayahnya. Cukup masa kecil gue doang yang begitu bangga sama Indonesia. Sekarang sih ogah banget gue, Fer.”
Ferdi sepertinya tidak mau menyanggah pernyataanku. Ia tahu betul aku masih memiliki jawaban atas sanggahan yang akan diberikannya. Seperti saat-saat sebelumnya. Namun kali ini aku salah mengira. Ferdi telah menyiapkan jurus yang sama sekali tidak kuduga.
“Lalu kenapa lo enggak pindah kewarganegaraan aja sekalian, Bos? Timbang bolak-balik. Lumayan, kan, ongkos pesawat bisa buat buka usaha travel agent di sono.”
Deg!
Kali ini giliranku terdiam. Aku tidak pernah punya pemikiran seperti itu. Bagiku jalan-jalan ke luar negeri hanya untuk bersenang-senang. Bukan untuk tinggal selamanya atau sekadar melebarkan sayap usaha. Tidak. Sama sekali tidak ada niat ke arah sana. Sebab itu artinya aku harus kembali memulai dari nol. Dan, tanpa mendiang ayah angkatku, aku bisa apa. Aku tidak bisa apa-apa. Aku tahunya hanya bisa bersenang-senang. Bahkan untuk memikirkan strategi marketing pun, aku harus berkonsultasi dengan Ferdi. Bagaimanapun juga, usia Ferdi lebih matang dari aku sepuluh tahun. Ia telah berpengalaman dalam dunia travel agent selama bertahun-tahun di usianya yang ke-35. Lagipula bisnisku di Jakarta prospeknya sangat menjanjikan. Dibukanya berbagai tujuan wisata baru yang booming di Indonesia adalah alasan utamanya. Banyak yang penasaran lalu berkeinginan untuk mengunjunginya. Namun tidak bagiku. Aku tetap memilih luar negeri sebagai pilihan liburanku. Sebenarnya… Itu bukanlah alasan utamaku untuk (terpaksa) tetap tinggal di Indonesia. Ada satu pesan sebelum ajal menjemput mendiang ayah angkatku.
“Ziyaad… kamu harus mengembalikan ini kepada pemiliknya. Jangan biarkan ayahmu ini tidak tenang di akhirat hanya karena hutang yang tidak seberapa,” kata ayah angkatku sambil menyodorkan kotak kaca berisi gulungan selembar uang kertas sepuluh ribuan berpita merah kecil, sebelum akhirnya melanjutkan kembali kata-katanya, “ayahmu ini pernah meminjam uang ini saat mau membawamu kemari dari seorang perempuan yang telah me… .”
Yang kuingat hanya sampai di situ saja ia berkata padaku. Sesaat setelahnya hanya kata-kata samar yang tidak pernah aku pahami. Hanya beberapa kata saja yang masih agak jelas terdengar dan kuingat. Lahir. Nama. Kampung. Hanya tiga kata itu saja. Sepeninggal beliau, aku berusaha menemukan teka-teki dari tiga kata itu. Tidak ada petunjuk jelas yang kudapatkan, selain peta sebuah pulau yang beberapa bagiannya sudah tidak begitu jelas terbaca serta barang-barang lainnya. Aku juga mendapatkan beberapa cerita serta informasi, tetapi aku gagal merangkainya dan akhirnya memilih menyerah. Namun kata-kata Ferdi membangkitkan kembali ingatan tentang tugas yang harus kuselesaikan. Sendiri.
“Fer… rasanya gue harus pulang sekarang,” kataku sambil beranjak dari kursi.
“Wait! Terus gimana persiapan ke Athena, Bos?” Ferdi berusaha menahan langkahku yang menjauh.
“Lanjut! Jangan lupa kontak Juan, yes?” kataku singkat sambil bergegas meraih tas kerja dan melangkah menuju pintu keluar kafe tanpa memedulikan ekspresi Ferdi.
Di dalam perjalanan, pikiranku mengembara ke banyak cerita dan informasi. Bukan tentang objek wisata di Yunani ataupun resto-resto yang menawan di sana. Pun pusat hiburan yang akan kukunjungi. Bukan. Bukan tentang semua itu. Ini tentang mengumpulkan berbagai cerita dan informasi yang berkelindan menjelma rimbun pikiran yang tak beraturan.
Setiba di rumah, aku bergegas menuju ruang penyimpanan. Seketika, beberapa barang yang berhubungan upaya pencarian terkumpul menjadi satu. Sebuah kotak kaca berisi gulungan uang kertas, peta, pensil, buku tulis, kapur tulis, dan buku pelajaran. Kedua tanganku sibuk membolak-balik barang-barang tersebut satu per satu. Kosong. Aku sama sekali tidak menemukan petunjuk. Hanya sekeliling terasa berputar yang kudapatkan.
Aku memaksakan diri membuka lebar-lebar peta sebuah pulau. Untuk menjawab rasa penasaran, aku buka aplikasi peta digital di smartphone-ku. Berhasil. Aku mengenalinya sebagai peta pulau Lombok. Dengan teliti aku berusaha mencari nama lokasi yang diberi tanda merah agak buram di peta kertas. Berkali-kali aku berusaha mencocokkan dengan nama yang ada. Dan, seringkali aku salah dalam menerjemahkan lokasi. Belum selesai usaha mengenali lokasi, sekali lagi sekelilingku kembali berputar.
Aku hampir saja mengacak-acak peta kertas ketika telingaku menangkap suara nada dering. Kulempar peta tersebut begitu saja dan meraih smartphone-ku.
“Sori, Bro! Kayaknya gue enggak bisa nemenin lo selama di Athena.”
Aku melangkah keluar ruang penyimpanan menuju ruang tengah. Di sofa empuk berwarna coklat, kuempaskan tubuhku yang sebenarnya penat sambil terus berbincang dengan Juan, sahabatku sejak zaman kuliah yang sekarang tinggal dan kerja di Athena.
“Soalnya sekarang juga gue harus balik ke Jakarta. Ibu sedang kritis di rumah sakit. Gue cuti lama di kantor. Oya, kalau lo masih tetep berencana ke sini, entar ada asisten gue yang siap anterin lo.”
Klik! Telepon ditutup.
Aku tidak lekas bangun dari sofa. Sengaja kubiarkan anganku mengembara. Ke Athena tanpa ditemani Juan? Itu artinya aku akan keliling sendirian. Dan, sementara aku bersenang-senang di Athena, Juan harus sendirian menunggu ibunya di rumah sakit. Sahabat macam apa aku ini?
Ibu? Apakah aku punya ibu? Siapa ibuku?
Demi ibunya, Juan rela melakukan perjalanan pulang dari luar negeri. Begitu berbaktinya ia sebagai anak. Sementara aku? Sekadar mengunjungi makamnya yang jelas-jelas di Indonesia pun aku enggan. Anak macam apa aku?
Deg!
Secepat kilat aku telepon Ferdi untuk membatalkan perjalananku ke Athena. Aku memutuskan untuk melakukan perjalanan terpanjang sepanjang hidupku – pulang. Pulang? Ke mana? Apakah masih ada rumah ternyaman untuk aku pulang yang bernama pelukan ibu? Entahlah.
Keputusanku sudah bulat. Aku harus segera menemukan tempat seharusnya aku pulang. Di depan sebuah laptop, jemariku menarikan kata demi kata. Aku telah menemukan beberapa kata kunci untuk diketik di kolom pencarian berdasarkan barang-barang petunjuk yang ada. Sekolah. Terpencil. Lombok.
Di peramban yang kubuka, muncul berbagai informasi tentang sekolah terpencil di Lombok. Aku menemukan nama sekolah di wilayah Praya. Untuk memastikan, kucocokkan dengan peta. Tidak ada kecocokan sama sekali. Bukan. Berarti bukan wilayah Praya.
Aku memutuskan mengganti kata kunci. Sekolah. Pelosok. Lombok. Sama seperti sebelumnya. Pandanganku tertuju pada urutan pertama hasil pencarian. Muncul debar yang berbeda. Beberapa titik di peta menunjukkan letak yang sama. Apakah di sini rumahku?
“Fer… Tolong atur perjalananku ke Lombok. Segera! Thanks!”
Kututup telepon tanpa memedulikan protes dari Ferdi di seberang. Setelahnya aku telah selesai merapikan barang-barang yang merupakan petunjuk bagiku untuk menjelajah. Selanjutnya aku tinggal menunggu konfirmasi dari Ferdi sambil membebaskan angan-angan. Bayangan-bayangan gelap satu per satu bergantian. Wajah Indonesia tampak berubah-ubah dalam sempitnya pikiranku. Kegelapan. Kesunyian. Kesemrawutan. Ketertingalan. Kejahatan.
“Akhirnya mau tidak mau aku menjelajah Indonesia juga,” batinku sambil tersenyum getir.
Seperti dugaanku. Tidak sampai hitungan jam, Ferdi membuyarkan puzzle potongan wajah Indonesia yang hampir selesai kususun. Ia mengabarkan telah menyelesaikan tugasnya. Aku tinggal berangkat.
Dan, tanpa terasa kakiku pun berpijak juga di Bandara Internasional Lombok, bumi yang mungkin adalah tanah kelahiranku. Aku tidak yakin. Hanya saja keinginan kuat telah membutakan kenyataan bahwa aku sama sekali tidak tahu tentang Lombok. Bagiku, dua jam penerbangan terasa menjadi waktu terlama yang pernah kutempuh. Sebab ini adalah perjalanan dalam negeri pertamaku. Sebelumnya? Sekadar niat saja bahkan tidak ada.
Di jalur keluar bandara, berkali-kali aku menengok ke segala arah sambil memegang kedua tali ransel. Kali ini aku sekadar menunaikan janji lalu kembali menikmati hedonisme lagi.
Kenyataannya? Berawal dari tatapan mata pada sebuah papan bertuliskan namaku yang dipegang seorang pria bertubuh gempal. Dang! Ferdi memang bisa diandalkan. Saat aku tidak tahu siapa yang harus dihubungi selama di Lombok, ia telah memilihkan seorang pemandu wisata untukku.
“Nginep di mana, Bang?” Lelaki berambut gondrong yang diikat rapi itu memecah kesunyian mobil Avanza hitam yang disopirinya.
“Gue enggak tau, Bang. Emang Ferdi bilang apaan sama lo?” tanyaku balik sambil melirik ke arah wajahnya yang brewokan.
Pemandu wisata yang kuketahui bernama Ahmad itu hanya diam. Ia tetap fokus mengendarai mobilnya di sepanjang by pass dari arah bandara. Sebuah bisu yang mau tidak mau mengganggu pikiranku.
“Waduh! Jangan-jangan Ahmad ini enggak kenal sama Ferdi.”
“Astaga! Jangan-jangan Ahmad ini mau nyulik gue.”
“OMG! Jangan-jangan Ahmad ini mau ngrampok gue.”
“God! Tolong selametin gue sekarang juga!”
Aku mendekap tas ransel kuat-kuat untuk menyembunyikan kecamuk dalam hati. Aku hanya tidak ingin perjalanan ini berubah menjadi malapetaka. Beruntung akhirnya Ahmad menghentikan mobilnya di depan sebuah hotel di tengah kota. Aku pun pamit untuk beristirahat.
Keesokan harinya, Ahmad telah membukakan pintu mobil untukku sambil berkata, “Jadi ke mana kita hari ini, Bang? Saya siap mengantarkan.”
Aku menjawab pertanyaan itu dengan senyuman sampai akhirnya aku dan ia duduk berdampingan di bagian depan mobil. Hawa sejuk diiringi dengan lagu-lagu band indie yang setahuku berasal dari Jogja.
“Mau diganti lagunya, Bang?” tanya Ahmad sambil menjulurkan tangan kea rah perangkat audio di bagian dashboard mobil.
Aku menggeleng sambil berkata, “Enggak usah panggil Bang, ah! Panggil aja Zi. Keknya kita seumuran, deh. Bukan begitu… Ahmad?”
“Right, Bang! Eh…. Zi. Jadi ke mana tujuan kita? Bang Ferdi enggak pernah ngomong apa-apa sama saya soalnya.” Ahmad berkata sambil menarik kembali tangan dari dashboard dan meletakkannya di kemudi.
“Ahmad anak Lombok asli, kan?” tanyaku sambil membuka ritsleting tas dan mengeluarkan peta pulau Lombok.
“Iya, Zi. Kenapa?” Kulihat mata Ahmad penuh tanda tanya saat melihat peta yang sudah kubuka di pangkuanku.
“Berarti tahu daerah ini, dong?” Kali ini aku memusatkan pertanyaan dengan telunjuk kananku. Sekilas kulirik Ahmad berusaha menemukan lokasi yang kumaksud. Setelahnya ia menganggukkan kepala.
Perjalanan pun berlanjut dengan candaan Ahmad yang hampir mendekati garing. Meskipun demikian, aku cukup terhibur hingga hampir sampai lokasi. Menurutnya, jalan menuju kampung tidak bisa dilalui mobil. Satu-satunya cara adalah dengan naik sepeda motor atau berjalan kaki. Dan, petualangan pun dilanjutkan. Aku memilih berjalan kaki karena memang suka. Langkahku pun akhirnya melewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditumbuhi pepohonan rimbun dan tinggi. Tidak sampai di situ saja. Petualangan berlanjut ketika aku harus dibantu Ahmad untuk menyeberangi sebuah sungai kecil berbatu. Beberapa kali aku hampir terjatuh.
Hingga akhirnya…
“Itu kampung yang situ cari, Zi,” kata Ahmad sambil menunjuk ke arah pemukiman saat ia berdiri sejajar denganku.
Aku tak menanggapi perkataannya. Aku lebih memilih membiarkan rasaku berkelana. Campur aduk. Andai benar seperti itu adanya, apa yang akan kulakukan? Jika tidak demikian kenyataannya, aku harus bagaimana? Dan, pertanyaan-pertanyaan lainnya berlomba memenuhi ruang pikirku. Penuh. Demikian tiba-tiba kurasakan. Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar. Meningkatnya kuantitas dan intensitas pertanyaan beradu dengan keletihan akhirnya membuatku tumbang. Gelap untuk beberapa saat.
“Zi…”
Mendengar panggilan samar itu, aku berusaha membuka kedua kelopak mataku. Berat. Semuanya serba tidak jelas. Tidak kerumunan di sekitarku yang kudengar di sekitar dengan bahasa yang sama sekali tidak kupahami. Tidak juga dengan jalan pikiranku yang sepertinya sudah buntu.
“Zi…”
Suara yang sama kembali terdengar. Bukan suara Ferdi, Ahmad atau siapapun yang kukenal. Ini suara seorang perempuan. Siapa? Entahlah.
“Ibu?” Aku menggumam lirih dalam setengah sadarku.
Di tengah hal-hal yang serba tidak jelas, aku berusaha membuka mata kembali. Gagal. Sekitarku lebih dulu berputar-putar sebelum aku bisa menerjemahkan semuanya sebagai bayangan di retina mata. Aku hanya butuh waktu mengatasi vertigo ini.
Tak seberapa lama kemudian, aku bisa membuka mata. Perputaran sekeliling tak lagi begitu menyiksa.
“I… Ibu siapa?” Aku bertanya sambil mendelikkan mata sekaligus memastikan suara yang kudengar adalah milik seorang perempuan.
“Ibu pemilik rumah ini, Zi. Panggil saja Ibu Zaenab. Barusan ada seorang anak muda yang mengantar kamu ke sini. Dia bilang namamu Zi sebelum pergi karena harus mengantar tamu ke bandara. Oya, bagaimana keadaanmu? Masih pusing?”
Aku mengangguk ke arahnya. Sejenak kemudian aku melihat perempuan yang kutaksir berusia sekitar lima puluh tahun itu mengambil segelas air putih dari atas lemari kayu. Tak jauh dari tempatku berbaring. Ia kemudian membantuku bangun dan meminumkan air tersebut. Dengan bersandar di tembok, aku dan Ibu Zaenab pun terlibat perbincangan hangat. Dari bertuturnya, aku menyadari bahwa keenggananku selama ini untuk berinteraksi dengan masyarakat pelosok adalah sebuah kesalahan besar. Sungguh sebuah ketakutan yang berlebihan. Terlebih setelah dua minggu kondisiku berangsur membaik. Aku telah mengabarkan pada Ferdi tentang keputusanku untuk tetap tinggal bersama keluarga besar Ibu Zaenab. Kehangatan Ibu Zaenab dan seorang cucunya bernama Rini yang masih sekolah di SD terdekat membuatku berani membuka diri. Kuceritakan tujuan kedatanganku.
“Maaf, Bu,” kataku sambil membuka kotak kaca berisi gulungan uang kertas sebelum akhirnya melanjutkan kata-kata, “saya ditugaskan mendiang ayah angkat saya untuk mengembalikan uang ini. Beliau enggak ngasih tahu apa-apa tentang kepada siapa saya harus mengembalikan uang ini. Ayah hanya memberikan beberapa petunjuk.”
“Boleh Ibu melihatnya, Zi?” Ibu Zaenab menatap ke arah kotak kaca dan beberapa barang petunjuk yang telah kusodorkan sesaat sebelumnya.
“Silakan, Bu. Saya sudah enggak tahu lagi harus bagaimana memecahkan petunjuk-petunjuk ini,” kataku sambil sedikit memalingkan wajah dari arah Ibu Zaenab yang menekuni barang-barang tersebut.
“Kamu kenapa masih menyimpan uang lama ini, Zi?”
Aku memalingkan muka ke arah Ibu Zaenab dan melihatnya sedang memegang uang sepuluh ribuan edisi lama bergambar pahlawan wanita. Aku sejenak terdiam untuk mengatur pernapasan.
“Atas permintaan ayah angkat saya, Bu. Katanya uang ini yang akan menuntun saya pulang ke pelukan ibu kandung saya.”
Sudut mataku menangkap Ibu Zaenab yang sedang membolak-balikkan uang kertas tersebut. Sesekali keningnya tampak berkerut. Sepertinya ia sedang berpikir tentang sesuatu.
“Uang ini bergambar R.A. Kartini. Hmm… Bisa jadi nama ibu kandungmu itu Kartini, Zi.”
Goblok!
Kenapa aku tidak pernah berpikiran ke arah sana? Kenapa?!
“Bisa jadi, Bu. Lalu buku tulis, kapur, buku pelajaran SD itu maksudnya apa, Bu?” tanyaku sambil menggeser posisi duduk mendekat Ibu Zaenab.
“Gampang itu, Zi. Ibu yakin ibu kandungmu adalah seorang guru. Dari mana Ibu tahu? Tentu Ibu tahu. Sama halnya dengan ibumu, Ibu juga memakai barang-barang ini untuk mengajar anak-anak di SD filial di atas bukit kampung ini.” Ibu Zaenab meletakkan kembali barang-barang yang dipegangnya di atas dipan tempatku berbaring.
Aku melihat perempuan berkerudung itu menatap ke arah dinding kamar tepat di bagian kananku. Aku mengikuti arah pandangannya. Foto dalam pigura? Bukan. Hiasan dinding? Bukan juga. Lalu apa? Jika aku beri tahu, kamu mungkin tidak akan percaya. Yang ditatap Ibu Zaenab tidaklah menempel di dinding dalam arti yang sesungguhnya. Namun ini adalah perempuan bertubuh mungil yang tiba-tiba bersandar di dinding. Tubuhnya tampak lelah.
“Sudah pulang sekolah, Rin?” tanyaku sambil beranjak bangun dari dipan sebelum akhirnya melanjutkan kata-kata, “tumben cepet banget lo pulang sekolah? Ada rapat?”
Kuncir dua di kepala anak perempuan kelas dua SD tersebut bergoyang-goyang pelan. Sesaat kemudian anak perempuan tanpa baju seragam dan alas kaki itu terdiam. Mengetahui kondisi Rini, aku memaksakan diri untuk bangun. Belum sempat berdiri sempurna, anak perempuan bertahi lalat di dagu itu lebih dulu menghampiriku.
“Kakak Zi istirahat saja dulu. Rini enggak papa, kok. Kita dipulangkan karena atap kelas bocor. Untuk sementara kita disuruh belajar di sini. Kakak Zi mau liat kita belajar?”
Dengan bantuan Ibu Zaenab aku pun berdiri dan melangkah pelan menuju ruang depan. Tampak olehku beberapa anak sedang berkumpul. Sebagian ada yang tertawa-tawa di pojokan. Sebagian lagi tampak menulis di buku masing-masing.
Dengan sikap berdiri yang menurutku masih tegap, Ibu Zaenab mengajak anak-anak berdiri dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Meskipun beberapa terdengar sumbang, aku yakin mereka menyanyikannya dengan sesungguhnya cinta. Mendadak aku merasa kerdil di hadapan mereka. Terlebih saat menyaksikan Rini begitu menghayati setiap lirik yang dinyanyikannya. Bagaimana bisa mereka seperti itu sementara aku tidak? Ke mana perginya patriotisme yang dialirkan ibu dalam darahku? Ah! Mungkin sedikit demi sedikit telah terbawa arus kesombongan. Bisa jadi juga telah tersumbat oleh gelimang harta yang hanya kuanggap sebagai recehan di salah satu bank.
Kekuatan hatiku perlahan mengendur dan membuatku beringsut dari ruang tengah. Suara hati anak negeri perlahan menghilang. Pun barisan rapi anak-anak yang mencintai ibu pertiwi. Gambaran itu telah hilang saat aku tiba di kamar. Kini gambar itu menjelma seorang perempuan di selembar uang sepuluh ribuan. Pahlawan emansipasi bernama R.A. Kartini. Nama yang sama seperti nama ibuku, pendiri SD filial yang saat ini kondisinya semakin mengkhawatirkan. Begitu diceritakan Ibu Zaenab, teman baik ibuku, sebagai jawaban atas teka-teki yang diberikan mendiang ayah angkatku.
Hingga sebulan kemudian, aku bisa memahami cinta, sebagai patriotisme yang berkobar dalam dada. Terima kasih, Ibu. Untuk jiwa sosial yang kaualirkan di dalam darahku. Terima kasih, Rini. Untuk cinta yang kaukenalkan sehingga aku bisa kembali berkenalan dengan Indonesiaku. Terima kasih juga, Ibu Zaenab. Untuk segala cinta dan kepedulian sehingga SD filial peninggalan ibu kandungku bisa dibangun dengan uangku. Keputusanku mengalokasikan uang di bank untuk melakukan perjalanan adalah tepat. Meskipun kali ini, bukan lagi perjalanan ke luar negeri, tetapi perjalanan hati atas nama cinta untuk ibu pertiwi.
Untuk terakhir kali, kutatap wajah dan kubaca nama perempuan di mata uang sepuluh ribuan sebelum akhirnya benar-benar terkubur tepat di makam ibu kandungku.
“Aku mencintaimu,” bisikku.
***
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com