Aku masih di sini. Mengeja rindu sebagai lembaran-lembaran puisi bisu. Entah lewat kata-kata yang seperti apa bisa membuatmu larut di dalamnya. Tapi, tidak perlu khawatir. Puisiku selalu saja tentang kamu. Bahkan, meskipun bisu, itu tetaplah kamu.
Aku masih di sini. Mengeja rindu menjadi doa-doa yang diam-diam menghangatkanmu. Awalnya aku tak tahu apa itu rindu. Sampai akhirnya lebam biru di dadaku mendetakkan kepergian namamu. Sejak saat itu, aku tahu rindu itu kamu.
Aku masih di sini. Melantunkan simponi pohon bambu pagi hari. Berderak ke sana kemari dalam sebuah melodi. Perlahan tapi pasti, akan rebah di dadamu yang nyeri. Serupa itu rindu tentangmu melukai. Menjerit sendiri oleh angin malam sunyi.
Aku masih di sini. Memeluk sunyi yang mengalir dalam nadi. Tentangmu adalah pisau belati. Mengiris nadi sunyi, membelah kepala sepi. Setelah itu, rinduku mati di pelukanmu — abadi.
Aku masih di sini. Menapak jejak pada anak tangga, hendak mendekap rindumu yang tinggi, terkurung dalam raung tangis di ruang tunggu — hendak menujumu.
~ mo ~