.:. Menunggu Lampu Hijau .:.

Sumber: @is_nna

“Gimana, Arini?”

“Maafkan aku, Arion. Apa yang sudah kuucapkan adalah kepastian.”

Aku terdiam. Pandanganku menerawang menatap awan yang mulai berarak di langit Minang. Pun, dengan Arini yang duduk di sebelahku, diam bersandar pada pagar pembatas jam gadang. Aku dan Arini tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kualihkan pandanganku pada beberapa badut yang lalu lalang di hadapanku.

Ada kegetiran saat melihat mereka tertawa tanpa beban. Winnie the Pooh tetap dengan keceriaannya. Teletubbies berlarian menawarkan kebahagiaan. Kontradiktif dengan hatiku saat ini. Hatiku bahkan sudah lupa cara tersenyum, sejak seminggu yang lalu aku mengutarakan isi hatiku pada Arini. Sampai saat ini belum ada jawaban. Entah kapan lampu merah akan menjadi lampu hijau. Mungkin harus menunggu detak waktu jam gadang berhenti mendetik.

“Rin…,” aku berkata  lirih.

Arini menoleh ke arahku. Dingin.

“Arion… Bukannya aku tak mengerti perasaanmu, tapi aku masih butuh waktu untuk melupakan masa lalu.”

“Rin… Aku tahu tentang luka lamamu, aku hanya ingin menjadi penyembuh lukamu. Masa depanmu. Itu aja. Enggak lebih.”

“Sabarlah, Arion. Jangan paksa aku memutuskan hal yang sebenarnya tak ingin kuputuskan.”

Aku berusaha mencerna kata-kata Arini. Ada satu hal yang tidak dia tahu, tentang aku yang siap menjadi orang kedua setelah masa lalunya. Tapi bagaimanapun juga aku tetap menghargai keputusannya. Untuk kali ini aku kembali mengalah, tetapi aku masih cukup kuat untuk menyerah.

Kurasakan jemari Arini menggenggam erat jemariku. Ada keyakinan dalam setiap tautannya, bahwa Arini sebenarnya juga menyimpan perasaan yang sama. Perlahan senyumanku pun terkembang dalam harapan. Tipis. Aku berusaha menikmati setiap momen bersama Arini tanpa memedulikan orang yang mulai lalu lalang di sekitar jam gadang yang bernilai sejarah itu. Ini hanya tentang waktu dan cerita masa lalu, Arini dan kenangannya, aku dan perasaan ingin memilikinya.

“Arion… aku pamit, ya?”

“Kamu mau kemana, Rin?”

“Aku mau pulang. Besok kita ketemu lagi di sini. Di tempat aku biasa mengenang masa laluku.”

Aku melepas genggaman tangan Arini yang sesaat kemudian perlahan menghilang di tengah kerumunan orang lalu lalang. Suasana sore semakin ramai. Perlahan aku beranjak dari sandaranku. Membalikkan badan dan menatap tepat di jarum pendek jam gadang. Hampir satu jam aku di sini.

Jam gadang masih kokoh berdiri, aku telah lebih dulu terjerembab dalam dunia imajinasi. Aku menutup cerita yang belum selesai kutulis dan mematikan perangkat tablet-ku. Berharap kekasih imajinerku tahu, bahwa aku masih menunggu lampu hijau darinya untuk melanjutkan kisah bersamanya lagi, esok hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *